Bab IV

1012 Kata
"Ini inisiasimu. Berani, kan?" Kalimat pendek yang diucapkan oleh Rolis, si ketua kelompok dengan nada ringan namun mengandung tantangan itu tak bisa diabaikan begitu saja oleh Farhan. Dia memang anak yang tenang dan kalem. Cenderung pendiam. Tak suka ribut - ribut meskipun jiwanya lebih condong ke kekerasan. Tapi satu yang menjadi kelemahannya, dia tak bisa mengabaikan tantangan. Seringan apapun itu. Dia memiliki jiwa saing yang tinggi. Motto hidupnya adalah berjuang, dan karena dia merasa tak memiliki apapun, maka dia berpikir, tak akan rugi untuknya jika kalah karena tak ada apa pun yang akan terambil darinya. Kalau kata kerennya di sinetron yang sering ditonton Eyang, nothing to lose. Dia pernah ditantang oleh walikelasnya, jika dia bisa meraih tiga besar, satu semester sekolahnya di semester ganjil kelas satu dulu wali kelasnya yang membayar, alias gratis. Pasti wali kelasnya tak menyangka jika Farhan akan berusaha dengan giat sehingga nilai rapor kenaikan kelasnya hanya selisih lima belas point dari murid yang menjadi rangking satu di kelasnya. Hasil yang membuat wali kelasnya shock dan mau tak mau harus membebaskan Farhan dari biaya apapun selama satu semester. Saat ini pun sama. Farhan mengangkat dagunya serta membusungkan dadanya saat menjawab. "Kalau nggak berani aku nggak datang ke sini malam ini." Rolis dan Panji menepuk bahunya bangga. "Ayo mangkat! Ayo berangkat!!" Dan seolah itu merupakan komando yang mereka tunggu dari tadi, semua yang ada di sana kompak menyalakan mesin kendaraannya untuk menuju tempat yang tadi di tunjuk Rolis: Kawasan Kotabaru. "Han, ayo naik!" Farhan segera mengejar mobil pick up bodol tanpa plat nomor yang akan mengangkut beberapa dari mereka yang tak punya kendaraan, termasuk Farhan dan Panji. Farhan duduk di ujung membelakangi kabin kemudi, menyambut angin malam yang menyapu wajahnya dengan belaian sayang. Jantungnya berpacu kencang, mengalirkan darah ke seluruh tubuhnya dengan aliran cepat, membuat adrenalinnya melonjak karena antisipasi dan ekspektasi. Malam ini, akhirnya!! Senyum lebar tersungging di bibirnya. Perjalanan agak sedikit panjang karena letak daerah Kotabaru dengan daerah tempat mereka berkumpul tadi agak sedikit jauh. Hari memang sudah malam. Tapi jalanan kota Jogja tetap saja ramai. Hanya beberapa tempat saja yang terhitung sepi karena dihindari warga di malam hari. Banyak alasannya. Karena Klitih, karena banyak oknum pengacau yang mengatasnamakan suku dan kelompok tertentu, bahkan tak sedikit juga yang percaya karena di sana banyak makhluk astralnya. Jogja memang masih terkenal dengan kesan jawa klassiknya. Dan sering kali itu dikaitkan dengan hal - hal yang di luar nalar dan pikiran manusia. Farhan sendiri, pada hal - hal seperti itu dia percaya tak percaya. Dia percaya bahwa ada makhluk hidup lain selain manusia yang hidup di muka bumi ini entah apa pun namnya: setan, jin, hantu dan lain sebagainya. Tapi dia sendiri tak pernah melihatnya dengan mata kepalanya sendiri. Mereka berbelok masuk di kawasan kota batu yang rimbun dengan pepohonan. Berbeda dengan kawasan Keraton dan Kotagede yang merupakan pusat peradaban pertama di Yogyakarta, yang tentu saja suasananya mengusung tema jawa kuno, daerah Kotabaru memiliki arsitektur yang lebih modern dan banyak terinspirasi oleh gaya bangunan belanda. Di sini lah dulu pusat pemerintahan Jogja yang modern bermula. Mobil pick up brondol yang suaranya sudah tak jelas itu. Pun berhenti di antara dua gedung besar di sana. Menurunkan muatannya dan kemudian melanjutkan untuk mencari tempat strategis yang sekiranya bisa memudahkan mereka untuk langsung pergi dari sana begitu aksii mereka selesai. Saat melakukan aksi seperti ini, tak ada tenggat waktu. Kadang, ada saat begitu Turun dari kendaraan langsung dapat mangsa sehingga mereka langsung kabur begitu misi selesai bahkan tanpa mematikan mesin, ada yang sampai tak perlu turun dari kendaraan, dab ada juga saat di mana mereka bahkan harus menunggu hingga subuh untuk beraksi. "Semua bersiap di posisi, ayo! Ayo!" Rolis memberi aba - aba. "Heh, cah anyar! Rene! Anak baru, sini!" Merasa anak baru, Farhan berjalan mendekat pada seseorang yang membawa sesuatu yang panjang terbungkus selimut kulit bersama dua orang lainnya. Mungkin ini yang tadi disebut namanya oleh Rolis sebelum mereka berangkat. "Pie, Mas? Gimana, Mas?" Tanyanya Setelah dia sampai di depan si pemanggil. Dia lupa siapa namanya. Dia tak bisa menghafal satu persatu nama yang tadi dikenalkan oleh Panji dan Rolis padanya. "Kalian ikut aku. Udah ambil senjata belum?" Farhan mengeluarkan pisau belati kecil, senjata terkecil yang tadi diambilnya, satu orang lainnya memperlihatkan bilah sembilu, bilah bambu yabg tipis, dan satu lainnya menyodorkan goloknya. "Bagus. Itu nanti senjata kalian. Ayo, sambil tunggu aba - aba dari pengintai." Farhan dan dua orang lainnya yang ditunjuk sebagai eksekutor malam ini mengekor di belakangnya. Dari wajah - wajahnya sekilas bisa dia simpulkan bahwa dia adalah anggota termuda di kelompok ini. Tapi itu sama sekali tak membuatnya minder. Rupanya selain tiga orang anak baru yang namanya di sebut oleh Rolis, mereka akan ditemani oleh satu anggota senior. "Target datang!" Seruan lirih tertahan itu di lanjutkan secara estafet hingga sampai pada mereka bertiga. Farhan menggenggam belatinya dengan erat. Sudah waktunya. Itu lampu kendaraannya. Selesaikan dengan cepat, oke?" Farhan mengangguk paham, walaupun teknis cepat yang dimaksud itu nanti eksekusinya sama sekali tak dia tahu. Motor mendekat. Cahaya lampunya mengenai sesemakan yang mereka gunakan untuk berlindung. Target menaiki motor dengan kecepatan sedang antara empat puluh kilometer per jam. Senior yang menunggu bersamanya melempar benda panjang yang sedari tadi dipegangnya hingga mengenai velg motor si target, membuat motor target oleng dan menjatuhkan pengemudinya di jalanan yang gelap. "Sekarang!" sebuah suara yang ditunggu - tunggu Farhan berseru memberikan aba - aba. Farhan dengan lincah meloncat keluar dari balik sesemakan tempat dia bersembunyi dengan membawa belati yang menjadi senjatanya di tangan kanan. Dadanya bergemuruh penuh semangat dan adrenalin yang melaju deras dengan suka cita. Matanya berkilat gembira melihat korbannya yang belum sadar sedang dikepung itu masih berusaha berdiri dari posisi jatuhnya Dengan seringai tak manusiawi di bibirnya, tangannya bergerak cepat menancapkan ujung belati pada paha kanan korbannya dan menariknya turun hingga sekitar lima belas sentimeter. Suara raungan kesakitan korban mereka mengiringi rombongan yang kabur ke segala arah untuk melarikan diri, termasuk Farhan, masih dengan senyum bahagia dan puas. Satu persatu mereka pergi dari jalanan gelap di antara rimbunan pohon tersebut sebelum teriakan kesakitan targetnya memanggil masa dan pada akhirnya mendatangkan polisi ke tempat kejadian perkara.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN