Ayu. Dokter juga. Teman komplotannya Indra, Saras, Andros, Hanafi, Bani, dan Agha. Kalau Saras dan Hanafi sudah memulai hidup baru di Swiss, Andros di Belanda, maka ia, Indra, Bani, dan Agha. Masih terperangkap di Jakarta dan sekitarnya. Bani sibuk mengurus konsultan lingkungan milik ayahnya. Agha sudah mulai dilatih menjadi direktur muda rumah sakit. Walau ya masih harus menyelesaikan S2 Manajemen Administrasi Rumah Sakit. Maka Ayu dan Indra? Terjebak dalam rutinitas yang sama sebagai anak buah Agha di rumah sakit milik om-nya itu.
Kini Ayu juga sedang menyempatkan diri untuk mengambil kursus IELTS. Kursus bahasa Inggris
sebetulnya. Ia perlu nanti karena berencana mengambil ujian itu untuk persyaratan lanjut spesialis di luar negeri. Tadinya sih mau mengambil di dalam negeri. Tapi setelah ia pikirkan lagi, tampaknya akan lebih baik kalau ia mengambil keluar negeri. Jadi ia menyempatkan diri untuk ikut kursus meski kadang tak fokus. Otaknya entah ke mana arah dan pikirannya. Ya maklum, demi memgejar cuan, ia bekerja di dua rumah sakit sekaligus.
"Okay. We'll meet again next week."
Ia menghembuskan nafas. Otaknya mungkin butuh healing sejenak dari rumah sakit ini. Ia baru beranjak saat mendengar beberapa orang bisik-bisik. Ya mengatai salah satu cewek di sini yang berhijab lebar. Katanya beda kelas. Karena cewek itu ikut les di sini, tapi pergi dan pulangnya naik ojek. Gak level lah menurut mereka yang kerjanya di sekitar Pasific Palace itu. Yeah, yang gajinya pasti dua digit itu.
"Yuu! Nongkrong yuk!"
Tapi ia dimasukan ke dalam grup elit mereka. Hanya karena Ayu itu dokter lulusan UI dan punya mobil. Padahal dulu ia juga gembel. Bertahun-tahun kuliah di UI dengan beasiswa. Akhir kuliah baru bertemu kembali dengan ibu kandungnya yang sudah menikah dengan orang kaya. Ya kecipratan rezeki. Ia bukannya matre. Tapi ayah tirinya memang baik. Diberi fasilitas mobil karena tahu ia bekerja di dua rumah sakit yang arahnya berlawanan. Kalau ahrus naik ojek setiap hari ya pasti tekor juga.
"Duh! Sorry, nih. Gue harus ke rumah sakit."
Ia sudah ditelepon. Buru-buru mengangkatnya pula. Dua temannya itu berdecak kecewa. Walau ya tetap sih pergi juga. Ayu memang sibuk. Ia harus segera ke rumah sakit di Depok milik om-nya Agha itu.
"Ya, mbak. Ayu baru jalan nih. Ya semoga gak macet lah."
Ia tak tahu harus bilang berapa lama. Karena jalanan di Jakarta menuju Depok sesore ini pasti macet kan? Ia buru-buru masuk ke dalam mobil. Kemudian ya mengeluarkan mobil dari parkiran. Bersamaan dengan itu, ia melihat cewek yang jadi bahan gosipan itu tampak naik ojek.
"Apa salahnya naik ojek sih?"
Ia bicara pada diri sendiri. Heran saja. Walau ketika melihat kaca spion ya temannya tadi mengemudikan mobil tepat di belakangnya. Ya mobil bagus yang tentu saja harganya di atas 500-an juta.
"Apa gunanya kalau punya orangtua?"
Ia juga bicara pada dirinya sendiri. Ya itu juga sindiran keras untuk diri sendiri.
Jalanan Jakarta macet. Tapi masih bisa mencari celah. Alhasil ia sampai sekitar 15 menit lah. Ya tadi kan dari kampus UI Depok. Ia les di sana. Kemudian ia berlari dari parkiran menuju IGD. Lalu?
Saat hendak masuk ke ruang IGD, ia dikagetkan dengan beberapa temannyanyang duduk di depan ruangan. Ada Indra, Bara, Della, dan......
"Widiiih Ayuu!"
Masih bisa bercanda. Ia hanya menggelengkan kepala. Memilih untuk buru-buru masuk. Sementara itu, ada seseorang yang agak terperangah sih karena sudah lama tak melihatnya. Siapa?
Indra lah. Ayu kan baru memulai bekerja di sini minggu ini. Tapi jadwal mereka jarang bertemu. Ah mungkin penempatannya yang membaut jarang bertemu. Karena Indra terkadang nongkrongnya di gedung belakang. Ia banyak mengenal anak-anak koas di sana.
"Eeh awas lo!"
Ia disuruh minggir. Ayu hendak mengambil jas dokternya yang juga ditaruh di dalam basecamp khusus dokter umum seperti mereka. Ia minggir dan mau tak mau mencium bau parfum Ayu. Memangnya aneh?
Harusnya sih enggak. Cuma menurutnya Ayu beda saja dengan yang dulu. Dulu gak sewangi ini. Kalau pun pakai parfum ya paling terciumnya cuma 10 menit setelah disemprot. Ini kayaknya masih nempel? Eh tapi beda juga sih baunya. Hahahaha.
Ia kenapa jadi mengurusi bau Ayu sih?
"Awas deh! Hobi banget halangin orang lewat!"
Tuh ia diomeli lagi. Tumbennya si Indra tak membalas. Biasanya kan mereka suka berantem. Kenapa? Apa Ayu tambah manis? Ayu jadi cantik? Hahahaha! Bisa jadi sih.
Mungkin ia aneh saja melihat sosok Ayu yang ia lihat. Dikala punggung Ayu sudah tak terlihat, baru deh ia tersadar. Ah ya ada teman-temannya kan yang juga datang ke sini. Walau judulnya karena tragedi.
"Dra! Dra! Lu lihat Ayu gak tadi, Dra?"
"Sumpah cakep si Ayu, Dra! Udah gak dekil lagi!"
Mendengar itu, ia malah terkekeh. Ah ya, keanehan yang ia lihat tadi adalah Ayu sudah tidak dekil lagi. Berbeda sekali dengan zaman koas saat mereka masih perang bersama.
@@@
"Kenapa kau telpon-telpon?"
Nada suaranya sih galak. Ia kan sibuk kerja nih. Yeah ahri liburnya juga kerja. Dedikasi Selina memang luar buasa terhadap pekerjaan. Makanya, ia diberikan gaji sedikit lebih besar dibandingkan Eshal. Karena ia memang loyal dan rajin. Eshal saja mengakui. Kalau Eshal? Ogah sih menjadikan hari libur untuk bekerja. Gadis itu kan sedang keluar tuh menemui Taka. Semalam ya juga kerja sih. Tapi bukan bekerja pada kantor ya. Ia mengurus pekerjaan sampingannya di mana akhirnya dapat juga nih tawaran. Itu pun kan karena ia menghubungi teman lamanya yang dulu sesama editor. Jadi cepat tuh bisa ikutan jadi editor di kantor yang ada di Singapura lah. Ia lebih banyak menerjemahkan buku-buku fiksi di sana ke dalam bahasa Indonesia. Harus kerja cepat gak masalah. Kenetulan juga kan keahlian bahasanya Eshal juga bagus. Gajinya dolar lagi. Enak kan?
Teman lamanya itu terbahak. Ya masih teman SMA juga sih. Eshal juga kenal. Tapi mungkin gak terlalu akrab. Karena itu teman-temannya Selina sesama orang Batak. Kalau di sekolah mereka dulu, Selina ya menempel pada mereka karena setiap pelajaran Agama Islam tentu gak bisa ikut. Mereka punya kelas terpisah. Nah karena itu berlangsung selama tiga tahun, makanya ia lebih akrab dengan mereka.
"Galak amat. Nelpon gak boleh memangnya?"
"Gak boleh lah. Inget istri kau di rumah itu, Beno. Nanti dia cemburu lagi sama aku."
Beno terbahak. Sejujurnya, ia gak sendiri. Ada cowok satu lagi. Ya teman lama mereka juga. Gak mungkin Selina gak tahu. Karena orang ini pernah mengisi hari-harinya dari masa SMA hingga zaman kuliah. Ya bahkan sampai saat Selina lulus dan cowok itu masih kuliah.
"Oi! Apa kabar kau? Lama tak tahu aku kabar kau."
"Basi kau. Gak mungkin gak tahu kabar aku. Kau seringnya lihat postingan aku!"
Beno terbahak lagi. Ya memang sedang memancing Selina. Ia tak tahu kalau Selina baru membuka web media sosialnya di laman internet. Ia kan jadi kepo. Selina memang begitu. Keponya luar biasa. Ia hanya merasa aneh saja. Kenapa si Beno mendadak meneleponnya. Kalau dulu mereka memang sering berteleponan. Kan teman ya? Walau ia tahu Beno pernah suka padanya, tapi ya tak digubris dan hubungan mereka masih baik sampai sekarang. Walau Beno sudah menikah dengan cewek yang bertahun-tahun mengejarnya. Yeah yang sangat cemburu pada Selina.
"Baik kau, Sel? Di mana kau sekarang?"
"Menurutmu di mana heh?"
Beno terkikik. Ia memang tak pandai berbohong. Selina? Ohoo. Benar kan firasatnya. Ia baru saja melihat postingan stories-nya Beno menggunakan akun palsu. Ternyata cowok itu update postingan makan bersama si mantannya, Ronald. Ia ingin tertawa rasanya. Pasti mereka masih bersama sekarang kan? Okee.
"Masih di Depok kau rupanya. Pacar mana pacar, Sel?"
Tentu saja diberi u*****n oleh Selina. Beno terbahak. Cowok di sebelahnya geleng-geleng kepala.
"Lama tak ngobrol jadi lawak kau, Sel."
"Kau ada apa telepon-telepon?"
"Ya kan tanya kabar, Sel."
"Tanya kabar tanya kabar! Aku tahunya isi kepala kau."
Beno terbahak lagi untuk ke sekian kalinya. "Apa isi kepala aku, Sel?"
"Udah lah. Kalau gak ada yang penting, aku tutup aja teleponmu!"
Ia capek juga meladeninya.
"Sel! Sel! Sebentar dulu. Jangan lah kau cepat marah-marah. Makin tua kau nanti, Sel."
"Berisik!"
Beno terkekeh. "Kau udah dengar soal mantan kau, Sel?"
Ronald menyikut lengan sahabatnya itu. Beno terkekeh tanpa suara. Ya kan memang tujuannya ini loh menghubungi Selina. Mereka kan sudah bersepakat. Masa tak jadi?
"Masih hidup pun syukur dia, Ben."
Beno terpingkal. Ronald? Jelas saja menutup mulutnya menahan tawa. Wah pasti benci sekali ya? Karena ia yang memutuskan. Ia merasa egonya ternodai saat mantannya ini mengadu soal ada cewek menginap di kosnya waktu itu. Yeah di kamarnya. Ia kan bilangnya itu cewek masih saudara jauh. Ya kan Selina hanya memgonfirmasi pada abangnya Ronald. Benar gak itu saudara jauh?
Eh ternyata bukan saudara. Tapi memang kenal cukup dekat. Karena cewek itu adalah anak salah satu pembantu mereka. Ya karena pernah tinggal bersama jadi dianggap saudara. Namun abangnya Ronald tak setuju. Karena memang cewek itu agak bermasalah. Dan ketika mendengar Selina bertanya begitu ya tentu habis lah si Selina diinterogasi. Saat tahu kalau cewek itu menginap di kamar kosnya Ronald ya marah besar. Ego Ronald ternodai karena ia menganggap Selina mengadu. Sementara Selina hanya mencoba mencari tahu. Ya kan biar ia tak terus curiga. Wajar kan?
Namun ia malah diputuskan alih-alih ditenangkan. Ya cewek mana sih yang tak berpikir macam-macam kalau ada cewek yang pakaiannya seksi pula, menginap di kamar kos pacarnya. Gila apa kalau tak cemburu? Apalagi jelas gak ada hubungan saudara. Ya kan?
Kalau ingat masa lalu itu, Selina merasa bodoh dan marah sih. Karena ia pernah mengemis. Ia loh yang mengemis minta balikan setelah diputuskan. Ngenes gak tuh?
Ia merasa marah karena akhirnya sadar. Kenapa dia yang selingkuh, dia yang mutusin cobaaa?
"DASAAAR COWOK KAMPREEET!"
@@@