"Jangan beritahu mamak."
Itu pesan ayahnya soal uang yang dipinjam pada Eshal untuk ke sekian kalinya. Memang bukan kali pertama. Biasanya kan ngomong langsung. Itu karena ia biasanya ada di sana--kampung halaman. Kalau sekarang kan sedang jauh.
Ia mengecek sisa saldo dari tabungan satu-satunya. Berapa yang ia punya? Hanya sisa 10 juta rupiah. Wah dari sekian tahun ia bekerja, ia hanya punya uang tabungan segitu? Ya realitanya begitu. Makanya ia mulai agak tertekan nih. Dalam waktu kepepet ditambah kurang dari dua bulan nanti mudik. Ia akan butuh banyak uang. Uang 5 juta bisa ludes untuk sekali mudik. Memang ia dapat THR satu kalo gaji, tapi ia tetap hanya bisa menambah tabungannya sedikit dong. Ya kan?
Disaat ia sedang memijit kepalanya, bos kumis malah muncul. Hasyeem! Ia lupa kalau sedang bekerja sekarang.
"Kamu selesaikan deadline ini. Pak Thoriq sudah menelepon barusan."
Ia mengangguk. Walau tak yakin lagi. Sungguh ia tak bisa berhenti berkonsentrasi. Ia menoleh pada Selina. Ah Selina sih enak hidupnya. Cewek itu justru kesal karena ayahnya maruk sama yang namanya uang. Tapi selagi ayahnya bisa menghasilkan banyak uang walau terkesan serakah bukan kah tak masalah? Dari pada ayahnya yang bisanya meminuskan uang keluarga. Ia hitung-hitung lamanya bekerja. Ia sudah bekerja selama hampir 4 tahun loh di sini dan uang tabungannya hanya 10 juta? Waaaah!
Makin emosi kalau dipikirin.
"Lo kenapa sih? Dari tadi diem aja. Mana hampir ketabrak angkot lagi."
Ia hanya nyengir. Mereka sudah pulang. Sekarang masih di pinggir jalan untuk naik angkot. Ya memang sih. Pikirannya ke mana-mana. Pusing jadinya.
"Gara-gara lo, gue jadi kepikiran buat S2 juga tahu. Lo tahu tahun kemarin nyoba SIMAK UI, tapi gagal lagi."
"Gak lanjut di IPB aja?"
Karena dulu ia kuliah di sana. Lanjut S2 di sana harusnya tak jadi masalah.
"Ya sih. Tinggal minta surat rekom juga beres. Gak perlu tes segala apalagi ada cerita gagal. Tapi gue pengennya UI, Shal."
Eshal terkekeh. Ia yang alumni justru tak mau lagi kuliah di sana. Ya minimal UGM lah kalau di dalam negeri. Kenapa? Mau menikmati suasana Jogja? Betul. Tapi ia juga lihat biaya kuliahnya sedikit lebih murah dibandingkan UI. Eh banyak sih murahnya. Mungkin ada beda 10 juta atau bahkan lebih. Memikirkan ini jadi membuatnya ingin menargetkan tahun depan harus sudah kuliah. Kalau masuk Juli nanti, uangnya jelas mustahil terkumpul. Apalagi kalau niatnya ingin keluar dari pekerjaan. Jujur, ia stres di kantor. Mana si bos kumis kan suka minta deadline dimajuin, belum lagi kelakuannya yang patuuh dan manuut banget sama si klien. Mau hasilnya dimanipulasi juga gak masalah. Kesal banget kan?
Tiba di kos, ia jadi teringat dengan tawaran tahun lalu. Ia kan memang semasa kuliah sering jadi editor penulisan begitu lah. Dulu banyak juga penghasilannya di sana. Ya untuk ukuran anak kuliah lah. Jadi, ia coba mencari dan mengumpulkan beberapa loker yang sedang buka. Tentu untuk pekerjaan sampingan. Targetnya, ia hanya punya tabubgan minimal 60 juta dalam waktu....haah begitu melihat kalender ternyata waktunya tak sampai satu tahun.
Ia punya target ingin kuliah awal Januari tahun depan. Sekarang sudah lewat banget. Bahkan ketika ia cek ya pendaftaran untuk bulan Juli ini sudah dibuka. Tapi ia tak mungkin kan. Tak ada uang. Jadi ia harus realistis. Walau ekspresi wajahnya tak meyakinkan sih. Bisa kah?
Akhirnya, demi target itu, di sepanjangalam, ia sibuk mengirim CV ke beberapa perusahaan asing. Ya coba-coba saja. Siapa tahu ada yang mau terima kan? Sembari mencoba menjadi ghost writer. Ia mencari pekerjaan sampingan di bidang itu.
"Rezeki bisa dicari."
Itu adalah mottonya. Ia sudah semangat. Semua sudah ia selesaikan untuk pekerjaan sampingan. Ya nanti akan ia sambung di kantor. Paginya, ia sudah bersiap saat ya menerima telepon dari ibunya. Ibunya tak ke kantor kah?
"Ayahmu itu menghutang lagi. Mamak gak tahu siapa lagi yang kasih pinjeman. Uang nunggak Pegadaian udah lunas. Mobil gak jadi ditarik. Tapi hutang pasti nambah itu!"
Ia hanya bisa meneguk ludah. Itu uangnya, maaaa! Hiks. Uangnya habis selama ini untuk menanggung hutang ayahnya. Ia tak mau memberitahu ibunya karena takut ibunya dan ayahnya bertengkar. Tapi ia malah ikut stres memikirkan keuangan. Ya karena ia tahu meski ayahnya bilang meminjam padanya itu sama dengan meminta. Tak akan pernah dikembalikan. Ia sudah hapal. Sudah terjadi sejak ia mulai bekerja.
Awalnya ia tak masalah. Karena ya orangtua kan? Tapi makin lama kok gak beres ya. Ia tak pernah bertanya pula selama ini.
"Memangnya uang bapak ke mana aja sih, mak?"
Ia jadi ikut pusing. Ikut ditagih-tagih orang yang tak ia kenal. Dan mungkin karena anaknya sudah sebesar ini, ibunya tampak tak bisa mengerem mulut lagi. Ibunya tak pernah loh menjelekan ayahnya. Tapi mungkin sudah tak tahan juga kali ini.
"Bapakmu itu gak pernah nabung, Shal. Gajinya dulu waktu masih kerja di kantor sebelumnya bisa sampai 8 hingga 9 juta per bulan. Itu waktu kamu masih kuliah kemarin. Dua jutaan pasti ditransfer ke kamu. Yang dikasih ke mamak itu cuma 5 jutanya. Sisa dua juta buat dia sendiri, tapi anehnya gak pernah cukup. Padahal kantor jauh lebih dekat dibandingkan mamak. Tapi bapakmu kan tengsin kalau bawa motor. Rela bawa mobil meski bensinnya lumayan. Dan uang itu gak pernah cukup sama dia. Jadi pasti minjem ke mana-mana. Kadang sama tantemu, adik-adiknya yang lain juga, temen-temennya. Banyak, Shal. Mamak ini sampai malu karena kalau gak sengaja lewat aja depan rumah adik-adik bapakmu itu pasti akan disindir. Kan mamak kerja juga. Masa masih suka ngutang? Mana bapakmu itu kalau ngutang, alasannya ya mamak lah kamu lah, adik-adik kamu lah. Padahal kita tuh hidup lebih dari cukup."
Ia mengerutkan kening. Rasanya gak percaya saja. Tapi setelah berpikir lagi ya mungkin saja. Karena beberapa kali ia juga dihubungi teman ayahnya kan? Diminta bayar hutang. Haaah. Ia memijit keningnya karena pusing kepala.
"Makanya, uang pensiun dari kantor sebelumnya ya abis gitu-gitu aja."
"Kebun sawit gak jalan, mak? Kan nanam sawit tuh pakek uang pensiunan."
"Kalau jalan, harusnya mamak gak pusing nyuruh dia kerja lagi dua tahun terakhir kan? Soalnya bapakmu itu sempet gak mau kerja abis pensiun kemarin. Gafa-gara kamu udah kerja. Ya mamak marah lah. Kamu tuh anak, bukan tanggung jawab kamu buat bantu keluarga dan adik-adik. Selagi dia masih sanggup, dia yang harus kerja. Enak bener. Satu tahun setelah pensiun aja mamak bairin dia gak kerja. Mamak pikir bisa duduk diem aja di rumah. Eh malah ngutang lagi ke mana-mana. Pusing kepala mamak!"
Ibunya jadi emosi. Karena tak mau menambah obrolan jadi panjang, ia pamit pada ibunya karena harus berangkat kerja juga kan?
"Pusing pala gue."
Belum juga bertemu bos kumis, ia sudah pusing kepala.
"Gue juga pusing!"
Ia terkekeh. Eshal baru hendak mengunci pintu kamarnya saat Selina berhenti di depan kamarnya. Gadis itu juga sudah siap berangkat.
"Kenapa lagi? Bos kumis gangguin lo pagi-pagi?"
"Kagak sih. Bukan soal itu. Emak gue tahu gak?"
Ia tersenyum tipis. Keduanya berbicara sambil berjalan menuju pinggir jalan untuk menunggu angkutan umum seperti biasanya.
"Kenapa lagi?"
"Minta duit ke gue 40 juta. Lo tahu buat apa?"
"Beli tanah lagi?"
Ia hanya menebak-nebak. Karena Selina sering mengeluhkan hal itu.
"Kali ini mau beli rumah KPR gitu. Yang cicil bulanan sih emak gue. Gue cuma ngasih buat DP. Tapi yang gak gue terima itu, itu rumah bukan buat gue!"
"Lah? Buat emak lo?"
"Mending kalo buat emak gue. Itu buat adek gue yang cowok! Gilak gak tuh? Enak aja gue yang bayarin, rumahnya malah buat dia. Gue yang kerja kayak kuli bangunan, dia yang nikmatin hasilnya. Keterlaluan tahu gak emak gue!"
Eshal menghembuskan nafas. "Gue juga heran. Emak-emak loyal banget sama anak cowoknya. Emak gue juga gitu, Sel. Waktu gue kuliah ya, pelit banget tuh emak gue. Cuma mau beliin gue laptop 3 juta. Itu aja bisa dibilang buka laptop. Lo pikir aja 3 juta! Dan lo tahu adik cowok gue pas masuk kuliah kemaren dibeliin yang 14 juta! Asem banget!"
Selina terbahak. Itu cara Eshal biar ia tak merasa bernasib buruk sendiri. Walau ya menurut Eshal, memang lebih menyedihkan Selina sih. Karena adik cowoknya benar-benar dimanjakan. Sekarang ya adiknya sudah jadi pengusaha, tapi modal bapaknya semua.
"Tapi tetep aja keterlaluan tahu gak. Mana alasannya karena gue gak di Medan pula dan adek gue di sana jadi lebih gampang urusnya. Ya tetep aja lah gue marah!"
Ya ia tetap marah lah. Eshal terkekeh. Ya sih. Lebih ngenes Selina. Bayangkan, uang 40 juta itu bukan hal mudah untuk ditabung. Eeh diambil begitu dan malah jadi milik orang lain.
"Emak gue emang gak pernah mikirin gue. Sama aja kayak bapak gue. Yang dipikirin mereka tuh cuma anak-anak cowoknya sama kakak gue yang bermasalah!"
Eshal terpingkal dan disaat itu lah keduanya lengah. Karena dari kejauhan, dua pemotor sudah memincingkan mata melihat keduanya berdiri di pinggir jalan. Mau apa?
Ohooo. Motor itu melaju kencang. Yang dibonceng sudah bersiap. Tetap nekat mengebut walau jalanan di depan sana mulai macet. Ya jalan lingkar UI kan tak begitu jauh. Memang sudah biasa macet juga. Kalau dua orang ini kan kantornya di sekitar Depok Cimanggis lah. Jadi tak akan msuk lingkar UI. Namun tetap saja menjadi masalah ketika lengah dikala berdiri di pinggir jalan begini. Eshal mungkin aman. Ia hanya menenteng bungkusan tempat nasinya. Ya hanya nasi. Lauk nanti dibeli di dekat warung kantor. Si Selina yang berisiko tinggi sih. Ia memang hobi menenteng hape. Biar bisa dimainkan kalau sudah masuk ke dalam angkot. Tapi sialnya, angkotnya belum datang. Yang datang dan sempat berhenti sepersekian detik di depan mereka adalah pemotor tadi. Kontan saja Selina berteriak begitu hapenya direnggut. Dibawa kabur oleh pemotor itu.
"COPEEEEEEEEEETTTTT!"
@@@