Haikal baru saja bangun. Awal tidur di sofa, tubuhnya pegal-pegal. Tapi semakin lama, ia semakin terbiasa. Ya karena sudah beberapa bulan juga seperti ini. Ia pergi mencuci muka. Ya setidaknya solat subuh lalu berjalan menuju satu-satunya kamar yang ada di dalam flat ini. Memang hanya ada satu kamar dan bukan disengaja. Tinggal di luar asrama jelas jauh lebih mahal. Apalagi ia juga mengambil tempat tinggal yang cukup jauh dari kampus. Karena mengkhawatirkan Afina. Perempuan yang masih tidur.
Ia kasihan sebetulnya. Afina tentu masih marah padanya. Setiap hari dipenuhi kecemasan karena takut kehamilannya digunjing. Siapa sih yang mau hamil sebelum menikah? Meski itu dengan jalur kekhilafan?
Malam itu, tak ada yang benar-benar tahu apa yang terjadi. Haikal juga tak begitu ingat. Meski samar-samar, ia juga merasa teringat akan wajah Afina yang ada di dekatnya malam itu. Tragedi mengerikan yang juga tak pernah ia harapkan akan terjadi. Hingga sekarang, ia masih bermusuhan dengan teman-temannya. Sungguh marah. Marah besar. Ia dan Afina bukan orang-orang Eropa atau negara sejenis lainnya yang bisa berhubungan bebas seperti itu.
"Solat dulu," ia membangunkan. Ya agar Afina tak meninggalkan solatnya. Meski gadis itu juga belum bisa menerimanya, ya belum bisa menerima pernikahan ini, dan juga kehamilannya sendiri.
Afina memang beranjak. Ia tak pernah berkata apapun pada Haikal. Cowok itu memberesi tempat tidur untuknya. Ia juga memberesi rumah. Ia juga yang menyiapkan sarapan. Sebenarnya, Haikal baik. Hanya saja waktu yang tak tepat. Ditambah lagi dengan kejadian ini.
Ia duduk di atas tempat tidur sambil melihat Afina solat. Ia menghela nafas panjang. Baru mulai berbicara ketika Afina sudah melipat mukenanya.
"Kamu boleh marah sama aku. Tapi jangan sama anak itu," ujarnya. "Kalau kamu takut dan malu ketahuan hamil, kamu ambil cuti saja semester mendatang. Nanti aku bisa pontang-panting biayai kuliah kamu ditahun terakhir."
Tak ada jawaban. Perempuan itu hanya diam. Lalu berjalan menuju rak bukunya. Perut itu semakin lama akan semakin terlihat.
"Kalau anak itu sudah lahir, aku akan mengurusnya, Fin. Kalau kamu mau meninggalkanku, gak apa-apa. Kamu berhak punya masa depan yang lebih baik."
Ia sudah ikhlas. Dari pada memaksakan Afina untuk terus bersamanya. Walau dalam hati, memang itu lah yang ia harapkan.
Ia beranjak dari tempat tidur. Lelaki itu meninggalkannya berada di dalam kamar sendirian. Afina menangis dalam diamnya. Ia memamg marah. Tapi ia tak bisa menyalahkan Haikal sepenuhnya. Karena apa?
Bayangannya membalas ciuman Haikal malam itu sering terlintas di benaknya. Belum lagi rasa bersalah karena sejak tahu hamil, tak sekalipun ia mau memeriksakannya. Ia memang sedang berada di dalam fase belum bisa menerima kenyataan. Ia masih ingin menjkmati masa mudanya. Menikah dan hamil dalam satu waktu tak ada dalam rencana hidupnya.
Haikal juga terpukul. Ia tentu saja sulit diterima oleh keluarga Afina. Tapi setidaknya masih ada dukungan dari keluarganya sendiri yang memang tak begitu mempermasalahkan hal semacam itu. Seharusnya memang aib. Tapi ya kultur masing-masing keluarga itu berbeda bukan?
Haikal sudah sibuk menyiapkan sarapan. Bulan-bulan ini begitu dingin. Ia menyiapkan banyak makanan hangat. Terutama untuk ibu hamil seperti Afina. Sebetulnya, uang beasiswanya juga terbatas. Karena mahasiswa S2 sepertinya hanya menerima uang untuk sendiri. Belum ada untuk keluarga. Ah bahkan memang tidak ada jatahnya. Jadi, ia banyak menguras tabungannya agar bisa menghidupi Afina di sini. Sejujurnya, uang Afina bekerja sebagai asisten profesor di sini jauh lebih besar. Tapi Haikal tentu tak mau. Jadi ia masih mencari proyek pekerjaannya kantornya yang ia tinggal sementara waktu. Tadinya mau fokus kuliah tapi akhirnya ia ambil saja beberapa pekerjaan proyek itu. Ia juga harus menyimpan untuk uang melahirkan nanti. Lelaki ini memang lelaki bertanggung jawab. Hanya saja, semua dimulai dengan cara yang salah tanpa kesengajaan tentunya.
Afina mengintip dari pintu kamar. Haikal sudah rapi. Cowok itu memang selalu begitu. Setiap pagi menyiapkan sarapan lalu mandi dan duduk sembari mengerjakan sesuatu. Ia akan muncul tapi tentu saja enggan satu meja dengannya. Jadi Haikal sudah memisahkan makanan untuknya dengan ditaruh di meja makan. Sementara Haikal makan di dekat kitchen bar. Yang ditemani dengan laptop. Ia tentu bisa mendengar suara langkah Afina menuruni tangga dan berjalan menuju meja makan. Ia selalu merasa bersalah. Tapi belum bisa menerima apalagi memaafkan.
Usai makan, keduanya akan sama-sama berangkat. Meski belum jam masuk kuliah, Haikal akan selalu berangkat bersamanya. Kalau ia harus berangkat lebih dulu, biasanya ia sengaja memesan taksi untuk Afina.
Tak akan ada percakapan apapun di sepanjang perjalanan. Mereka berjalan kaki menuju stasiun. Lalu naik kereta sekitar 30 menit dan akan tiba stasiun dekat kampus. Haikal terus berjalan di belakangnya untuk menjaga. Lalu ia akan mengantar Afina hingga ke kelas baru kemudian pergi.
Banyak mahasiswa Indonesia yang tentu penasaran kapan keduanya menikah. Haikal akan berbohong kalau mereka menikah sudah jauh sebelum pertemuan itu. Namun tak mau jujur. Apakah mereka percaya?
Ya. Setidaknya begitu. Hanya itu yang bisa Haikal upayakan agar Afina tak menjadi bahan gunjingan. Ia juga tak mau Afina terbebani dengan berbagai gosip yang beredar. Apalagi perempuan itu tak pernah bisa tidur dengan tenang lagi sejak malam itu.
"Kaaal! Kumpul yook entar malem! Bawa bini lo jugaa!"
"Kapan-kapan lah. Sorry," tukasnya. Ia memang selalu menolak. Ia tahu kalau Afina tak akan nyaman. Meski mungkin orang lain juga tak akan perduli dengan apa yang terjadi pada mereka.
Ia berjalan menuju kelas setelah mengobrol dengan beberapa teman Indonesia-nya. Lalu mengangkat telepon dari mamanya.
"Mau mama kirimkan mobil? Kasihan kamu dan Afina kalau harus naik umum terus. Nanti kehamilan Afina semakin membesar, Kal."
"Jual saja mobil Haikal yang ada di rumah, ma. Haikal akan beli di sini."
"Ya sudah. Kalo nunggu penjualan mobil kan gak bisa cepet. Pakai duit mama aja dulu. Nanti diganti sama duit penjualan mobilmu."
Ia tersenyum tipis. "Ya. Makasih, ma."
Setidaknya masih ada yang menyayanginya meski Afina tak bisa melakukan itu.
@@@
"LO PIKIR YANG BENER CUMA LO DOANG DAN YANG LAIN SALAH GITU?!"
Ia memgamuk. Tapi sialnya cuma dalam khayalannya. Nyatanya ia tak berani. Ah bukannya tak punya nyali sih, tapi ia bukan tipe orang yang memang suka melawan. Walau sudah tersudutkan tanpa tahu apa masalahnya.
“Yang mana salah, mems? Boleh terangkan pada I? Jadi I boleh betulkan."
Ia bicara sopan. Padahal kepala sudah berasap. Ia hebat karena tak berlaku kasar. Hijab yang ia pakai ini sih yang membuatnya masih menahan diri untuk melampaui batas.
"Betulkan semua ni. I tak nak tengok ada kesilapan lagi. Kalau perlu, tanya rakan sekerja lain saja. I'm very busy. I tak ada masa nak terangkan. You faham?"
Waaah kalau dalam khayalannya sudah ia lempar semua dokumen itu ke wajahnya. Sayangnya, lagi-lagi hijab ini menahannya. Agamanya juga tak mengajarkan untuk membalas. Akhirnya ia keluar. Ya dari pada berada di dalam dan terus emosi kan?
"Kenape lagi, Mai?"
Teman sebelah kubikelnya sudah memangkap raut wajahnya yang menahan dongkol. Apalagi ia menghembuskan nafas kencang saat duduk.
"Akak, boleh tengok dokumen I sekejap? Akak rasa yang mana salah?"
Kening rekan kerjanya mengerut. Ia mengambil dokumen itu. Maira ikut berdiri tepat di sebelahnya. Yang kemudian dikerumuni juga oleh dua rekan kerjanya yang lain. Yeah yang duduk berhadapan dengan mereka. Keduanya nyengir. Ingin kepo saja.
"Tak de pun yang salah. Hanya typo je. You bergaduh dengan dia lagi?"
Maira menghela nafas. Ia kembali duduk di kursinya. Ia juga bingung di mana masalahnya.
"Mai tak paham apa salah dengan dia, kak."
"Semue memang salah kalau sama dia. Tak de yang pernah benar. Tah hanya awak je, Mai."
Teman yang duduk di depan si kakak turut berbicara. Cowok yang duduk di depan Maira juga mengangguk kencang.
"Ramai pekerja baru menjadi mangsa dia. Akhirnya mereka tidak selesa dan pergi, Mai."
Ia juga ingin keluar karena tak tahan dengannya. Ya coba saja lihat tadi. Dokumennya sampai dibuang. Katanya salah. Ia tanya salahnya di mana, tak mau jelaskan. Malah suruh tanya ke yang lain. Kak Ros saja bilang hanya masalah typo. Harusnya itu bukan masalah besar dong. Kan ia bisa perbaiki. Ya tanpa harus dilempar segala. Itu yang membuatnya marah.
"You nak ke mana?"
Temannya yang cowok itu menegurnya. Ia hanya memberi kode dengan mulutnya yang agak monyong menunjuk ke arah direktur bidang yang baru datang. Ia nekat ke sana. Walau sudah dipanggil-panggil oleh si cowok tadi, ia tak perduli. Ah bodo amat lah. Ia hanya perlu mengecek apa yang salah. Itu saja. Berdebat dengan nenek lampir sepertinya tak akan memberikan solusi apapun. Ya kan?
"Ada apa, Maira?"
"Saya cuma nak tanya sikit, sir. Boleh tak?"
Si direktur bidang terkekeh. Yeah tipikal bapak yang sangat kebapakan.
"Awak nak tanya apa?"
"Maaf kalau agak kurang sopan, sir. Saya cuma ingin tahu, mana satu yang salah dengan dokumen yang saya buat? Sebab saya takut keliru sikit."
"Awak keliru atau tak berani tanya manajer awak?"
"Saya dah tanya mems Muna. Tapi dia suruh saya tanya pekerja lain. Saya dah tanya juga pekerja lain, tapi saya masih tak yakin."
"Apa yang orang lain cakap?"
"Ini hanya kesilapan typo je, sir."
"Biar saya tengok sekejap. Tapi ini kali terakhir, Mai. Awak dah dekat setahun, awak asyik terjebak dengan masalah yang sama. Tak baik kan?"
Maira mengangguk. Setengah tahun pertama, kehidupannya belum menjadi neraka seperti ini. Dan begitu diperiksa oleh si bos ini....
"Tak ada apa-apa pun, Mai."
"Kalau begitu apa yang perlu saya buat, sir? Dia kata semuanya salah dan perlu diperbetulkan."
Si direktur bidang tampak menghela nafas. Ia merasa kalau permasalahannya bukan apda dokumen yanga Maira buat. Memang manajer yang satu itu sudah terkenal bermasalah. Tapi tak ada yang berani menyinkirkannya karena dia masih kerabat dekat yang punya perusahaan ini. Mereka bisa apa?
“Sebenarnya macam ni Mai. Saya tak tahu apakah ada kaitan dengan masalah ini atau tidak. Selepas setengah tahun awak berada di sini, saya dan pengarah bidang lain menyokong awak untuk dinaikkan pangkat sebagai assistant manager. Awak mempunyai potensi. Awak mempunyai banyak pengalaman bekerja di pelbagai negara. Kemahiran bahasa awak juga bagus. Tidak ada keraguan mengenainya. Tetapi kami melihat bahawa sesetengah daripada ini tidak, awak mengalami kelewatan. Adakah masalah seperti ini yang menahan awak?"
Ia hanya berpikir kalau kemungkinan permasalahan bukan pada Maira. Tapi si mems Muna selaku manajer. Perempuan itu memang agak bermasalah. Lebih tepatnya, pola pikirnya yang bermasalah.
"Saya cuma boleh tolong macam ni, Mai. Kalau awak berani, cuba laporkan kepada HR manager kita. Biar dia campur tangan. Tapi masalahnya akan panjang. Sebab itu bermakna, awak kena bersedia untuk lawan dia."
Akan panjang urusannya. Karena kalau ia mengadu pada manajer sumber daya manusia, ya dijamin permasalahnnya akan sampai ke atasan. Ia bercerita pada tiga teman yang kubikelnya paling dekat dengannya. Apa respon mereka?
"Kalau awak berani, cuba sajalah Mai. Tapi saya cuma nasihat awak, jangan cari masalah dengan dia."
Temannya yang cowok mengatakan itu. Dua teman perempuannya yang lain malah mengangguk kencang. Yeah setuju.
"Kami tahu ini seperti seorang pengecut, Mai. Kerana kami tidak mempunyai keberanian untuk melawan ketidakadilan ini. Tapi, Mai. You kena fikir masa depan you kalau masih nak kerja kat sini. Sekarang, dia dah tak suka dan buat sesuka hati. Nanti dia makin tak suka." Ia menghela nafas. Keempatnya sudah merapatkan kepala ke kubikel kak Ros. "Masalah dia cuma satu. Dia tak suka sesiapa lebih daripada dia."
Yang cowok mengangguk kuat. Yang cewek juga sama. Maira menghela nafas. Mungkin ada benarnya juga.
"HEY! SIAPA SURUH YOU-YOU PAGI NI?! YOU-YOU MASIH BOLEH REHAT? NI SYARIKAT AYAH YOU HAH?!"
Gelagapan, Maira dan kedua temannya berupaya kembali duduk. Mereka tenru saja menjadi pusat perhatian. Maira sampai terjengkang karena kursinya tak sengaja terdorong saking terburu-burunya. Teman-temannya menahan tawa. Apes sekali kamu, Mai!
@@@