Resign!

2573 Kata
Namanya Selina. Panggil saja begitu. Gak usah tanya-tanya marga Bataknya karena gaya bicaranya sudah lama berubah menjadi se-Sunda-an sejak kuliah di Bogor hampir sepuluh tahun silam. Jangan tanya umur juga, ia sangat sentimen. Apalagi soal pacar. Ia lebih galak dari macan yang ada di kebun binatang. Jauh lebih sensitif dikala datang bulan ditambah kalau gajinya terlambat masuk rekening bulanan. "Shal! Gue duluan!" Ia lewat begitu saja di depan kamar sahabatnya sejak SMA itu dengan langkah terburu-buru. Mulutnya tak berhenti komat-kamit. Ya memaki bos tua mereka yang sungguh s****n itu. Bayangkan! Ia baru ditelepon satu jam yang lalu. Ia diminta untuk segera menemui klien baru mereka tepat jam 9 pagi ini di Jakarta Selatan. Apesnya, ia baru bangun jam 7 pagi. Jadi terbayang kan? Ia hanya mandi seadanya. Dan dikala ia sedang buru-buru menuruni tangga... "SEL, LO KAGAK NUNGGUIN GUE?!" "KAGAK! GUE DISURUH BOS BUAT NEMUIN KLIEN BARU!" Ia masih mendengar Eshal berhah ria. Cewek itu pasti baru saja selesai mandi. Ia tentu hapal jadwal Eshal. Selalu mandi jam 7 pagi dan kamarnya sudah bersih. Kalau kamarnya? Jangan tanya! Ia sensi tahu! Ia berjalan agak cepat. Ya lebih tepat mungkin disebut setengah berlari? Melintasi jalanan raya Margonda yang macet sepagi ini. Asap knalpot bersatu oadu dengan debu jalanan. Kompak sekali membuatnya bau padahal baru juga keluar dari g**g rumah kosnya. Oke, ia sudah bersahabat dengan jalanan Depok sejak pertama kali bertugas di sini. Yang entah, harus ia syukuri atau kah tidak. Jujur, ini pengalaman kerja pertamanya dan ia masih betah bekerja di sini selama hampir heum...mungkin 5 tahun? Atau kurang dari itu? Ah entah lah. Ia masih ingat kali pertama melakukan wawancara dengan bos tuanya yang sekaligus mempunyai konsultan di mana ia bekerja. Ia datang ke sebuah mall. Mampir ke food court dan wawancara di sana. Lucu kan? Mana Detos pula yang dipilih sebagai lokasi wawancara. Itu loh Depok Town Square. Apa gak bisa ya mall yang di seberangnya saja? Mall Margonda maksudnya. Tapi ah sudah lah. Ia masih polos dan cupu karena baru lulus. Tergesa-gesa ingin segera bekerja yang akhirnya yeah entah ia harus syukuri atau kah tidak. Ia ngos-ngosan ketika akhirnya sampai di Stasiun UI. Ya tadi harus masuk g**g Kober. Melintasi jalanan sempit yang ramai lalu berlarian menaiki tangga penyebrangan rel yang tangganya super banyak. Harus waspada dengan pencopetan karena temannya, si Eshal, pernah apes kehilangan hape di sana. Dan tiba di stasiun dengan ketek yang mulai basah. Ah lengkap sudah penderitaannya. Padahal ini bahkan masih pagi bukan? Kereta yang ditunggu datang. Tapi ya ramai, penuh, dan agak sesak. Ia tak punya pilihan lain selain ikut mengumpankan diri untuk masuk ke dalam gerbong khusus wanita. Menurutnya, jauh lebih aman dibandingkan gerbong lainnya. Berhimpitan dengan cowok-cowok? Uurrgh, ia pernah merasa pantatnya dipegang-pegang, tapi s**l tak tahu pelakunya siapa saking ramainya saat itu. Pagi ini? Ya sama sih. Ia hanya mencoba berdamai pada pekerjaan ini. Berhadapan dengan bos yang cukup membuatnya stres setengah mati. Selalu sukses membuatnya hipertensi. Untuk mengusir sepi, ia mencari ponselnya. Menyambung pada headset. Mencoba mendengarkan lagu sambil memandang pemandangan padat Jakarta dari dalam kereta. Ya ditemani pesan-pesan yang baru saja berdatangan dari Eshal. Heh! Lo beneran ketemu klien? Bukan ada inteview kerjaan baru kan? Ia ingin tertawa. Haaah. Boro-boro. Ia bahkan tak punya waktu untuk mencuri waktu mengirim CV ke tempat lain. Dan ya, keributannya dengan Eshal memang tak jauh-jauh dari rasa saling curiga berupaya kabur dari konsultan di mana mereka bekerja. Karena sama-sama muak dengan bosnya. Kagak helah! Gue beneran ditelepon bos. Disuruh ketemu klien baruu wee ;p selamat ketemu boos! Ia terkekeh-kekeh. Ya jauh lebih baik ia terjebak di dalam gerbong ini dari oada harus ketemu bos sepagi ini. Itu sama dengan merusak hari tauk! Namun sialnya, kesenangannya tak berlangsung lama. Mungkin ia kualat pada Eshal karena kini bos meneleponnya. "Ya, pak?" Tak akan ada salam. Ia memang tak sopan. "Oh kamu udah di kereta, Sel?" "Y-ya, pak! Mungkin sampai di sana akan tepat waktu." Walau ia tak yakin. Tapi dalam kepalanya, ia akan turun di Manggarai dan naik ojek online. Itu jauh lebih baik sepertinya. "Ooh. Barusan klien barunya nelepon saya. Katanya gak jadi hari ini, Sel. Besok saja. Kamu balik saja. Segera ke kantor ya!" ASEEEEM! HAHAHAA. Setan Eshal pasti sedang menertawainya sekarang. Ia jelas dongkol lah. Ia melihat jalur kereta yang ditempuhnya. Ia sudah hampir sampai di Cawang tauk, paaak! Astagaaa! Mau tak mau ia keluar dong. Harus menyebrangi rel karena pindah jalur. Harus balik lagi nih. Untung saja, ia belum naik ojol kan? ASEM BOS LO! Ia mengirim pesan itu pada Eshal. Eshal belum membuka. Ia jarang membuka hape kalau sudah masuk ke dalam angkot. Suasana angkot gak ada bedanya sama suasana jembatan penyebrangan rel dekat stasiun UI itu. Ia trauma kecopetan. Selina tentu saja masih mengutuk. Walau kejadian seperti ini bukan barang baru. Ini mungkin yang paling mendingan? Ia pernah loh, sudah sampai di depan gedungnya dan bosnya baru memberitahu kalau kliennya sibuk lah jadi tak bisa ditemui. Kan asem ya! Mau nyalahin si bos tua, tapi bukan sepenuhnya salahnya. Gimana coba? "Mari tarik nafas, Selina. Nanti kamu sama tuanya kayak si bos!" Hahahaha! Ia kembali naik kereta. Tentu kembali ke Stasiun UI. Walau ia berencana memperlambat langkah kakinya nanti. Biar tak buru-buru sampai. Kini mencoba kembali menikmati perjalanan. Mari putar lagu dan jangan marah. Ya kan? Dan sekitar lima belas menit kemudian bosnya menelepon lagi. Ia menghela nafas. Apalagi kali ini hah? "Ya, pak?!" Kali ini nadanya naik satu oktaf dibandingkan yang tadi. Wajahnya bahkan sudah sangat masam. Hahaha. "Kamu jadinya ketemu sama pak Wiryo aja ya. Yang dari SGS. Masih inget kan kantornya di mana?" Waaaaaaah. Ia menarik nafas dalam. Ini bukan klien baru sih. Tapi harus banget ya dia baru bilang sekarang? "Ya, pak. Janjian sama beliau jam berapa ya, pak?" Ia masih mencoba bertanya dengan sangat sopan. Ya sesopan mungkin walau ingin sekali mencungkil matanya dari sini. Andai ia bisa menyantet, pasti akan ia lakukan! Huahahaa! "Jam 9 juga ini, Sel. Harus keburu ya kamu. Naik ojol aja biar cepat. Nanti kan ongkosnya saya ganti!" Bukan masalah ongkos sih. Tapi ini sudah hampir jam setengah sembilan dodooool! Gimana ia bisa cepaaaat cobaaaaa?! Mana terjebak di dalam kereta ke arah yang berlawanan. Kan makin asem. "Sontoloyo banget nih orang! Kebiasaan deh baru bilang sekarang! Bilang kek dari tadi! Ini gue udah mau balik lagi ke Depooook! Aseem nih orang!" Ia tak bisa menahan kesalnya. Begitu menghembuskan nafas sambil menegakan tubuh, ia baru sadar kalau ditatap banyak orang. Hahaha. Malu? Ah bodo amat lah. Ia buru-buru melompat turun. Untung saja turunnya di Pasar Minggu. Ia mengecek dulu alamat kantornya. Ya setahunya di Jakarta Selatan juga, tapi kan luas ya. Dan jarak dari stasiun ini sekitar 30 menit. Oke pas, pikirnya. Ia buru-buru memesan ojol. Begitu datang harus jalan agak jauh pula. Baru deh naik ke atas motor dan meminta si bapak agak buru-buru. Ia tak punya waktu banyak. Walau untungnya, tiba tepat waktu sih. Ia masuk tuh. Menanyakan lantai di mana kantor SGS berada. Menukar KTP dengan kartu masuk supaya bisa masuk gedung ini. Ia naik hingga ke lantai 27. Tiba di sana.... "Loh? Pak Wiryo, mbak? Pak Wiryo lagi dinas di luar kota, mbak." "Hah? Tapi, pak. Saya ada--bentar, pak!" Ia berbicara dengan si satpam, tapi dibuat bingung. Untung si bos kumis menelepon. Bos tua yang kumisan juga. "Ya, pak? Ini sa--" "Kamu di mana, Sel? Pak Wirya sudah menunggu kamu loh ini. Tapi kok belum datang-datang?" Bentar...bentar....kayaknya ada yang salah deh. "Pak Wirya, pak? Bukannya pak Wiryo ya, pak? Tadi kan bapak bilang saya ketemunya sama pak Wiryo dari SGS!" Ia gak salah loh. Kupingnya masih jelas mendengar melalui headset biarpun berada di dalam kereta. "Loh kapan saya bilang pak Wiryo, Sel? Saya bilang pak Wirya dari SBI. Kamu gimana sih? Kamu di mana sekarang?" Waaah habis sudah kesabaran Selina pagi ini! Kartu yang ia pegang bahkan sudah ia remas kuat-kuat. GUE PENGEN RESIIIIIIIIGGGGNNNNNNNNN! @@@ "Ma, Mai mau resign deh bulan ini." Entah kejadian yang ke berapa ini. Yang jelas memang bukan kali pertama. Mungkin sudah lebih dari lima kali? Anaknya gak kapok-kapok keluar-masuk pekerjaan. "Kenapa lagi kali ini?" Bertanya hal yang sama pun capek si mamanya. Dan anaknya? Tentu menceritakan apalagi yang kurang dari kantornya kali ini. Menurutnya, bekerja di sini tak begitu manusiawi. Gaji gak begitu tinggi. Pekerjaannya terlalu banyak. Ia kan menerjemah bahasa Melayu-Indonesia. Memang jauh dari jalur kuliahnya. Namun ia pikir akan menyenangkan. Di sini? Begitu menyebalkan sih. Atasan yang selalu komplain karena ia sering melakukan kesalahan. Typo lah. Kadang juga sekalipun tak ada yang salah, tetap disalahkan. Berdebat? "You tak perlu ajar I. I lebih faham daripada you!" Padahal Maira tak bermaksud mengajarkan sesuatu kok. Ia hanya meluruskan pemahamannya. Eh gak terima dong karena si manajer ceweknya ini beranggapan kan ia yang lulusan Sastra Indonesia. Begitu loh. Maira dongkol lah. Kan ia yang orang Indonesia! Gimana sih? Apa sih masalahnya? Ini sebetulnya pekerjaan yang sederhana. Tapi bosnya yang membuat rumit. Ya sengaja biar bisa menambah-nambah pekerjaan si Maira. Kemudian Maira jadi kelabakan dan tadaaa..... pekerjaan lainnya terbengkalai. s****n gak tuh? Sampai akhirnya, Maira dipanggil direktur bidangnya. Tentu saja dianggap gak becus. Padahal jadi penerjemah begini, ia sudah sering kok. Di Thailand, ia juga bekerja sebagai penerjemah Inggris-Indo dan Malay-Indo. "Dia tuh nyebelin pokoknya, ma. Udah selesai satu mih kerjaan, Mai. Ditambah lagi sama dia. Kalo lihat Mai cuma megang kerjaan dikit, bakal ditambah terus. Terus nanti deadline-nya dikacauin sama dia. Ada yang harus dimajukan seminggu eh terus gak jadi katanya dan malah minta Mai nyerahin tugas yang lain yang dia sendiri bikang kalo deadline-nya masih tiga hari lagi. Kan nyebelin, maaa!" Ia merasa dikerjain sama si manajer rese itu. Ia tahu sih sebetulnya masalah pribadi karena Maira ketahuan menggosipinya sepuluh bulan lalu. Dendamnya masih sampai sekarang. Padahal nih ya, yang menggosipkannya bukan hanya Maira. Maira saja yang apes karena itu disaat gilirannya bicara. "Pokoknya, Mai mau resign bukan ini, ma! Gak kuaaat!" @@@ "Gimana sih ini si Selina? Disuruh ketemu pak Wirya malah ke kantornya pak Wiryo!" Eshal yang sedang membuka sepatunya tentu saja mendengar suara dumelan itu. Wah pagi hari Senin, tapi pertandanya sudah tak bagus. Mana ia juga terjebak macet pula. Harusnya sudah sampai sejak jam 9 tadi. Tapi ini sudah lewat heum.....lima belas menit. Hihihihi. Mari pasang muka temboknya, Shal! "Assaalammualaikum, paaak!" Ia menyapa. Hahahaha. Omong-omong, kantornya dan Eshal ini ada tiga sebetulnya. Satu di Depok. Yang utama di Bogor. Satu lagi di Cibinong. Nah, Eshal dan Selina kebagian apes karena disuruh berkantor di Depok di mana kantornya itu ya rumah si bos kumis tua ini. Rumahnya dua lantai. Yang dijadikan kantor ya yang di lantai dua. Jadi kalau masuk tetap harus lewat pintu samping lantai satu dan langsung bertemu muka dengan bosnya yang selalu menonton di dekat pintu masuk itu. Karena langsung menyambung ke ruangan keluarga. "Lama banget kamu datangnya!" Tuh kan. Ia juga kena. Pasti gara-gara Selina nih. Ia nyengir atau perlu mencari pembelaan? "Tadi macet banget sih, pak. Pesan ojol aja, ojolnya gak mau datang saking gak bisa lewatnya!" Bisaaa aja cari alasan ya. Hahaha. Padahal ia ogah naik ojol karena ongkosnya lumayan. Mending buat beli nasi Padang 10 ribu di belakang kantor ini. Sudah kenyang tuh. "Ya sudah buruan naik ya, Shal. Banyak laporan deadline hari ini saya lihat." Ia iyakan saja. Sejujurnya sih sudah ia kerjakan. Tinggal ia kirim, tapi harus dicek dulu sama si bos kumis. Jadi kantornya ini bisa dibilang sudah lumayan gede. Harusnya untuk urusan teknis laporan, ia hanya perlu mengirim pada manajer yang kantornya di Bogor sana. Tapi bos kumis yang jadi direktur di sini gak begitu percaya sama semua karyawannya. Jadi tetap harus dikirim juga padanya. Kalau sudah oke, baru dikirim pada klien. Terbayangkan ribetnya? Sudah ada SOP tapi tak dijalankan. Harusnya direktur juga gak perlu ikut campur untuk urusan ini. Tapi ya susah. "Pagi Abdi...." Yeah rekan kerja satu lagi. Mereka hanya bertiga di lantai dua ini. Si Abdi ya cowok paling muda. Ia tinggal di lantai dua ini. Jadi tentu tak pernah terlambat. Namun kerjanya juga paling lama. "Pagi, mbak!" Ia nyengir. Mari santai sejenak Eshal. Rutinitasnya adalah menampung air panas ke dalam botol kosong yang ia bawa. Kemudian ditaruh di samping layar komputernya yang besar. Tepatnya ditaruh di sisi kiri. Di sisi kanannya ada kipas angin mini. Ia sengaja membeli kipas mini untuk menyindir bosnya. Bayangkan deh, bertahun-tahun bekerja di sini, AC pun tak mau dipasang oleh bos kumisnya yang pelit itu. Menyebalkan bukan? Dan baru saja membuka satu laporan, ponselnya sudah berbunyi. Siapa yang menelepon? Itu si bos kumis. Dari lantai bawah sana ia menelepon. Jelas saja suaranya terdengar ke lantai atas. Ngapain susah-susah nelpon coba? Hahaha! Gak jelas memang bosnya yang satu itu. "Ya, pak?" Tentu dengan nada lebih lembut dari pada nada Bataknya Selina yang jadi Sunda. "Pak Aris nelpon saya barusan. Katanya minta dikirim laporannya. Kamu kirim saja ya. Jangan lupa, angkanya gak boleh jauh dari yang bulan lalu loh, Shal." Ia menghela nafas. Masih pagi sudah disuruh manipulasi data. Ini nih yang membuatnya stres. Padahal ia suka loh bekerja di sini. Karena sejalan dengan bidang yang ia geluti. Tapi kalau caranya seperti ini ya muak juga. Tertekan juga. Ya kalau suatu hari ketahuan dan ia ikut ditangkap bagaimana heh? Belum lagi memikirkan uang yang ia dapat ini. Kira-kira halal atau haram? Dan apalah dayanya sebagai karyawan? Hanya bisa manut-manut kan? Mencoba menutup mata walau bersebrangan dengan batin. Ia hanya takut lama-lama hatinya akan ikut mati. Ia menarik nafas dalam. Sabar, Eshal. Hanya kata itu yang bisa ia ulang. Dan usai mengirim satu laporan... "Ya, pak?" Nadanya masih santai. Karena kesabarannya lebih panjang dibandingkan Selina. "Kamu gimana sih? Yang pak Alairus kan saya sudah bilang, ikut saja yang semester lalu. Jangan kamu ikut-ikut hasilnya si Rina. Kacau itu analisisnya! Ubah lagi dan minta maaf sama beliau!" Ia menghela nafas. Tiada hari tanpa dimarahi kayaknya. Kalau pun tak dimarahi nih ya alias dibaik-baikin sama bos, itu pertanda kalau ia akan diberikan pekerjaan banyak. Bahkan sering lembur sampai jam 10 malam. Ia paling benci itu. Namanya gak p********n tau gak? Karena.... "Gila! Lembur gue empat hari bulan kemarin cuma dibayar 200 ribu, Seeel!" Ya itu keluhan bulan lalu. Belum lagi bulan lalu...bulan lalunya lagi....lalunya lagi.....lagi....lagi....dan lagi....! Dan ia paling benci sih kalau harus mengubah total dari hasil analisis yang dilakukan di laboratorium. Gimana ceritanya analisisnya yang ngaco? Bukan kah itu laboratoriumnya sendiri ya? Ia yang gaji analis di sana kan? Kalau hasilnya gak dipakai, apa gunanya buka laboratorium? Cuma untuk pajangan? Mau marah juga gak bisa. Itu bosnya. SIALAN EMANG BOS LO! Hhahaa! Ia ikut mengirim pesan pada Selina yang tenru saja tak herhenti menyungut. Ia juga sedang berjuang pindah kantor untuk menemui klien yang seharusnya. Dan tepat jam 12 siang ketika Eshal baru hendak melarikan diri dari bangkunya..... "Shal, coba kamu cek dulu tuh emailnya bu Emi. Dia minta laporannya dikirim ulang tuh. Terus kamu cek revisiannya. Kangsung kerjain. Buru-buru tuh kayaknya!" Ia hanya bisa menyabarkan diri. Abdi hanya berani melirik. Ia sudah melihat asap keluar dari kepala Eshal. Takut cewek itu akan meledak. Apalagi dijam seharusnya bisa istirahat. "Ya, pak!" Ia tak mungkin menolak bos kan? Dan belum juga menuruni tangga, si bos kumis datang lagi. "Lupa saya. Sama yang si bu Shinta. Langsung kirim aja itu. Katanya juga sudah oke. Kamu cetak aja dokumennya nanti biar Abdi yang kirim ke mereka." Ia manut lagi. "Ya, pak!" Nadanya makin ketus. Dan dalam hati.... Sekali lagi lo balik......!!! "Satu lagi, Shal!" DUAAAAAAAR! Kepala Eshal yang pecah! GUE PENGEN RESIIIIIIIIIGGGGGN!!! @@@
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN