"Bos lo gilaaa tau gaak?!"
Selina terbahak. Lihat lah wajah kusutnya. Eshal bahkan belum sempat masuk ke kamarnya. Ia sengaja berjalan menuju kamar Selina yang terletak hampir di ujung. Yeah, dua kamar terakhir di paling pojok. Kebetulan kamar pojok juga kosong. Memang tak banyak yang tinggal di kos murah ini. Maklum, kalau hujan kan suka bocor. Apalagi kamar si Eshal. Mereka bukannya tak mampu. Hanya malas pindah. Lagi pula, kapan lagi dapat kamar murah dan ibu kos yang baik hati?
Ini sudah hampir jam 10 malam saat Eshal sampai di kamarnya. Tentu saja tak berhenti menyerocos. Ia kesal sekali pada bos mereka yang sangat banyak memberikan pekerjaan hari ini. Ditambah lagi klien yang menurutnya menyebalkan. Karena meminta laporan yang deadline-nya bukan hari ini, tapi diminta hari ini. Eshal pusing lah. Ia bolak-balik menelepon analis di laboratorium yang ada di Bogor sana. Berharap mereka dapat membantu memberikan jalan keluar. Karena laporan apa yang bisa ia buat jika hasil analisa lab bahkan belum selesai heh?
"Duh, Shal. Bukannya teteh gak mau bantu. Teteh gak berani manipulasi angka begitu. Bisa panjang urusannya."
"Please dong, teh. Samain aja deh sama yang semester lalu juga gak apa-apa."
"Duh, Shal. Kamu aja deh. Teteh kasih hasil lab yang semester lalu aja ya?"
Selina terbahak. Ya orang-orang di lab memang tak berani manipulasi. Eshal dalam keadaan terjepit. Ini salah satu hal yang ia paling benci. Yeah atasannya terlalu mengagungkan klien. Apapun kata klien harus dituruti. Sekalipun tak masuk akal. Bukan kali pertama memang kejadian manipulasi ini terjadi. Ia jelas lah makin tertekan.
"Capek gue! Tuh orang bener-bener kagak takut dosa tau gak!"
"Ya mau gimana? Dia udah biasa ngelakuin hal kayak gitu. Kalo gak gitu, gak banyak klien yang mau kerja sama kita."
Yeah manipulasi data lingkungan bukan hal umum. Bosnya selalu berdalih kalau perusahaan lain juga melakukan hal yang sama. Tapi ia tentu lah tak terima. Ia yakin pasti masih ada perusahaan yang punya integritas.
"Terus gimana?"
"Pusing gue. Mana beasiswa gagal. Apes banget deh."
Selina terkekeh. Ya kalau ia sibuk mengejar pekerjaan di kantor lain, temannya ini lebih suka mengejar beasiswa S2 demi jadi dosen. Cita-citanya memang ingin jadi dosen. Terjebak jadi konsultan ya memang niatnya ingin memperdalam praktisi dulu. Ia tak mau diremehkan hanya karena jadi dosen yang hanya tahu teori, tapi tak paham dunia kerja. Makanya, ia terjun dulu di dunia kerja seperti ini.
Sejak tahun kemarin, ia memang sudah menyiapkan untuk ikut beasiswa pemerintah Inggris. Tapi gagal bahkan ditahap pertama. Menyerah? Terpaksa harus menyerah karena ibunya juga tak setuju kalau ia kuliah di luar negeri.
"Terlalu jauh itu. Kamu kan bisa S2 di Indonesia. Kayak kemarin S1 bisa di UI. Kalau S2 lagi di UI kan bisa."
Begitu. Ia tak akan menang berdebat jika urusannya dengan ibunya. Kalau harus S2 di UI, bayarannya mahal. Kenapa gak mengejar beasiswa dalam negeri? Bukan kah ada banyak beasiswa? Salah satunya beasiswa pemerintah Indonesia?
"Kalo gue ambil LPDP, gue harus mengabdi. Ya bukannya gue gak mau mengabdi sih. Kalo gue kerjanya jadi PNS gak jadi masalah. Tapi kalo gue tetep di swasta gimana? Gak enak dong gue karena sibuk ngenyangin perut gue padahal gue udah habisin duit negara buat kuliah gue yang gak sedikit itu. Dan lagi, pertanggung jawaban duit pajak rakyat itu berat. Kalo dari pemerintah luar kan mereka gak ada ketentuan apa-apa buat awardee-nya."
Lagi-lagi urusan akhirat yang ia pikirkan.
"Terus rencana lo gimana?"
"Gue bertapa dulu deh. Capek gue. Nyebelin banget bos lo. Besok gue mau telatin diri aja dah!"
Selina terbahak. Tentu gak bisa lah. Kan mereka berangkat bersama. Tapi obrolan soal S2 ini memang agak membuatnya berpikir sih. Kalau mengecek uang tabungan yang belum seberapa ini rasanya memang mustahil. Apalagi kalau harus biaya sendiri.
"Duh....gini amat hidup gue...."
Ia malah membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur. Pusing!
Shal, minggu bisa ketemu?
Pesan yang masuk itu agak mengalihkan pikirannya.
Kenapa, Tak?
@@@
Penang merupakan salah satu negara bagian yang ada di Malaysia yang juga dikenal sebagai Pulau Pinang. Yeah jadi memang pulau-pulau terpisah. Kota ini sangat terkenal akan fasilitas kesehatannya. Makanya, tak heran kalau banyak orang Indonesia yang suka ke sini untuk berobat. Tapi, Maira tak di sini untuk berobat. Ia tentu saja sedang bekerja. Pagi ini?
Sebelum ke kantor, ia sudah sibuk jogging di pinggir pantai. Pekerjaan sebagai penerjemah gak bisa dikatakan mudah. Tapi berkat posisi itu, ia jadi punya beberapa pekerjaan sekaligus. Bahkan untuk rencana keluar dari pekerjaan ini pun, ia sudah menyiapkan cadangan pekerjaan lain. Ya hanya proyek-proyek online, tapi bayarannya juga lumayan. Tentu sangat menutupi pengeluarannya di sini yang tak seberapa.
"Cowok yang lo taksir udah nikah tauk, Shal!"
Dan pagi ini, rutinitasnya ya mengobrol sambil berlari. Eshal itu teman satu geng di UI. Mereka tentu sangat dekat.
"Hah? Siapa?"
Ia penasaran dong. Ia merasa tak menaksir siapa pun. Eeh tapi dalam jangka waktu yang mana nih? Hahaha. Ia lupa saking banyak cowok yang ia kagumi.
"Si Haikal lah. Siapa lagi coba?"
"Ya elah. Itu bukan gue yang naksir!"
Ia terbahak. Tapi seingatnya, di antara teman-teman satu geng, ada yang naksir cowok ganteng itu semasa kuliah dulu. Ah gak terasa sudah berlalu bertahun-tahun lalu. Waktu sungguh cepat sekali berlalu.
"Dia nikah sama siapa?"
Walau begitu, tetap penasaran dong. Maira terbahak. Ia sih dapat saja informasinya. Wong banyak kenalan yang lagi kuliah di luar negeri kan. Yang namanya gosip pasti menular kayak penyakit. Akan sampai ke setiap telinga. Ye gak sih?
"Nah itu lah.....lo pasti gak akan menyangka deh!"
"Sama siapa?"
Eshal makin dibuat penasaran. Cewek itu sedang bersiap-siap. Ia kan harus ke kantor.
"HAIKAL TAUK, SHAL!"
"ADOOOOOWW!"
Ia terbahak. Itu respon otomatis. Gara-gara mendengar nama Haikal, tulang keringnya tak sengaja menghantam kaki tempat tidurnya yang terbuat dari kayu itu. Jelas ngilu lah. Ia berdesis. Maira memanggil-manggilnya karena suaranya menghilang. Ye lah. Ponsel terlepas. Untung saja jatuhnya ke atas tempat tidur. Ia tak jadi menangis kan.
"SERIUSAN HAIKAL NIKAH SAMA AFINA?"
Ia muncul lagi. Teriak pula. Maira masih terkekeh-kekeh. Eshal mendorong ember berisi air. Tengah malam tadi kan hujan. Ia hampir tidur dalam kebasahan. Makanya, lantai kamar agak licin dan ia hampir terjungkal. Namun berhasil bertahan walau tulang kering harus menghantam kaki tempat tidur. Kayaknya kualat bos kumisnya. Makanya, ia gak jadi melambatkan diri hari ini.
"Ih seriusan ni? Mereka beneran nikah? Tapi di grup angkatan kita, si Afina kayaknya gak pernah ngirim undangan deh."
"Nah itu gue gak tahu deh!"
Ia angkat tangan soal itu. Ini juga masih simpang siur. Tapi 80 persen kemungkinan benar. Karena katanya ada yang bertanya langsung pada Haikal. Walau ya masih misteri juga. Apakah informasinya bisa dipertanggung jawabkan?
"Arsiny udah tahu belum? Bakal galau kayaknya tuh orang!"
Arsiny itu teman salah satu geng mereka juga. Maira terbahak sampai terbungkuk-bungkuk dan disaat itu juga, ia mendadak terdorong ke depan. Ya meleng ke kiri lah dan bahu kirinya menghantam pagar pembatas pantai. Tentu saja berhasil membuatnya kehilangan keseimbangan badan dan sedikit nyebur. Yeah, nyebur ke pinggiran pantai. Untung tak sampai terbaring. Yang nyemplung hanya betis kaki dan kedua tangannya. Persis bayi yang merangkak dengan kedua tangan dan kaki. Sungguh gak elit!
"Asem!"
Hahahaha. Setidaknya ponselnya aman di dalam saku. Earphone juga masih melekat di telinga meski terjadi guncangan pada tubuhnya. Ia masih berupaya berdiri dan....
"Sorry...."
Seseorang dari belakang muncul. Tadi ia tersikut sepeda. Yeah makanya rada apes begini. Eshal berhalo ria memanggilnya, namun tak ada jawaban. Karena ia sibuk menyelamatkan diri.
"Are you okay?"
Ia menghembuskan nafas. Baru berhasil berdiri dan membalik badan. Tadinya sih mau marah. Tapi gak enak hati juga.
"Maaf buat you jadi basah macam ni."
"Tak pe, bang."
Ia mencoba tersenyum. Agak malu sih jadi agak-agak basah.
"Apakah yang boleh I lakukan untuk membantu sebagai ganti permohonan maaf pada you?"
"Tidak perlu lah, abang. Maaf sudah memadai. I juga perlu pulang sekarang."
Ia mengangguk kecil. Ya bersikap sopan kemudian balik badan dan pergi. Sementara cowok itu?
Masih menatap walau punggungnya makin jauh.
@@@
Negara kincir.
Begitu kata orang. Ya memang negeri kincir. Ia tersenyum kecil. Sudah cukup lama ia di sini. Mungkin lebih dari setengah tahun? Tadinya ia bekerja bukan di Amsterdam. Baru minggu ini ia akhirnya pindah ke Amsterdam. Tidak lagi di pinggiran kota yang sebenarnya justru sangat menyenangkan baginya. Di sini, tak ada yang mem-bully-nya. Tak ada hal yang perlu ia sembunyikan juga. Hidupnya sudah jauh lebih baik begitu pula dengan ia bekerja di sini. Gaji yang lebih besar walau pengeluarannya juga sebanding. Tapi karena rupiah jauh lebih kecil di sini, ia bisa mengirimkan uang lebih banyak untuk kelurganya. Ya karena nominalnya dirupiahkan jadi jauh lebih banyak. Ia tidak segalau dulu lagi. Setidaknya sudah jauh lebih baik sekarang.
Kini usai berbelanja, ia kembali ke apartemen kecil yang ia tinggali sendirian di sini. Ia memasak banyak sepagi ini begitu membuka usaha baru. Sebenarnya ini adalah usaha yang ia teruskan ketika sebelum tinggal di Amsterdam. Ia bisa mengirim makanan antar kota dan targetnya sebenarnya orang-orang Indonesia yang tinggal di sini. Ya kalau ada orang luar baik Belanda atau pun negara lainnya yang memesan dan mereka tinggal di sini, ia menganggapnya sebagai bonus.
Pagi ini ia sudah sibuk membuat bakmi untuk dijual. Ini kesibukannya dihari libur bekerja. Meski baru satu minggu di sini, setidaknya kabar ia bisa membuat masakan Indonesia tentu saja dikejar banyak orang Indonesia. Hingga hari ini begitu banyak pesanan. Tapi ia hanya sanggup memasak 50 bakmi untuk hari ini. Bagaimana pun, ia harus istirahat untuk kembali bekerja besok.
Ini sebetulnya keinginannya sejak dulu. Tapi ketika berada di Indonesia, ia takut dengan anggapan orang. Kalau di sini? Berbeda pemikiran. Orang-orang di sini tak menghinanya. Justru salut.
Selesai memasak, ia menunggu beberapa orang yang katanya akan mengambil pesanan mereka secara langsung di sini. Jadi ia menunggu. Beberapa ia kirimkan melalui salah satu mahasiswa Indonesia yang memungut ongkos dari pembelinya. Ia juga memberinya satu bakmi dan sangat berterima kasih telah membantunya.
"Minggu depan buka pesanan lagi kan, kak?"
Ia terkekeh. "Tentu saja."
Baginya, usaha ini sangat menyenangkan meski lelah. Ia jadi punya banyak kenalan orang Indonesia di sini. Meski ya hingga saat ini, ia tak punya teman yang benar-benar dekat.
"Makasih yaaaa!"
Cowok itu melambaikan tangan. Ia pergi dengan sepedanya sementara itu, Lisa, yeah Khalisa, kembali ke apartemen kecilnya. Hidup di Amsterdam jelas tak mudah. Namun entah kenapa ia betah karena di sini begitu damai.
Sementara itu, dari kejauhan ada seorang lelaki yang tampak kebingungan. Ia mencari-cari gedung apartemen sederhana yang ia tuju. Untuk mengambil pesanannya dan beberapa teman. Karena ia yang sempat, jadi ia pergi mengambilnya. Sudah lama rasanya tak makan makanan Indonesia meski di sini bahkan ada restoran Padang. Tapi tentu saja akan berbeda harganya bukan
Ia sudah mengirim pesan pada si penjual nanun belum juga ada balasan. Ia sudah bertanya apakah ada yang tahu di mana toko yang ia maksud tapi tentu saja tak ada yang tahu. Akhirnya ia bertanya adakah orang Indonesia yang tinggal di sini? Dan ya ia mendapatkan jawaban.
"Lantai lima unit 5. Saya tidak hapal pasti nomor unitnya," ujarnya.
Lelaki ini mengangguk dan berterima kasih. Setidaknya ia hanya memastikan kalau ia tak salah tempat. Ia sudah tahu nomor unitnya tapi karena merasa agak bingung dengan gedung apartemennya, ia seperti kehilangan arah.
Ketika ia masuk ke dalam lift, si penjual baru membalas pesannya. Ia keluar di lantai lima seperti yang diarahkan dan yang tertulis di pesan dari sang penjual. Ia berjalan menuju apartemen paling ujung dan begitu tiba di sana, ia memencet belnya. Terdengar suara yang bertanya apakah ia yang memesan bakmi? Ia mengiyakan.
Butuh beberapa menit hingga pintu terbuka dan keduanya sama-sama terkaget.
@@@