Network Love - 4

1645 Kata
Aji                   “Bengong aja, mas!” satu tepukan pelan mendarat di pundak kananku. Aku menoleh, ternyata Danu. Dia datang membawa satu piring nasi yang terlihat penuh beserta lauk-pauknya. “Nasinya banyak bener, Nu? Nggak makan berapa hari?” “Satu abad, mas!” kelakarnya santai, lalu segera duduk di sebelahku.                 Ngomong-ngomong saat ini kami sedang berada di halaman belakang. Rumah rasanya sepi sekali setalah Dek Una menikah. Memang Danu masih suka berisik, tapi tanpa Una, dia jadi lebih banyak diamnya karena tidak ada partner adu mulut. “Nggak ada Dek Una, rumah rasanya sepi banget ya, mas?” ucap Danu sembari menyendokkan nasi ke mulut. “Iya, soalnya jadi nggak ada suara ribut orang berantem.” Danu langsung tertawa dengan mulut penuh makanan. “Oh iya, Nu. Ngomong-ngomong, pandanganmu tentang Eza gimana? Beberapa hari ini aku jadi kepikiran. Dek Una bahagia nggak, ya? Ya meskipun Eza ini temanku, tapi kan awalnya Una nggak kenal. Dia kenal Eza setelah Eza jadi dosen pembimbingnya.”                    Mendengar itu, Danu menghentikan makannya. “Sejujurnya aku sempat marah waktu dikabari Dek Una tiba-tiba nikah, tapi setelah tahu kalau suaminya itu Mas Reza, tiba-tiba aku mendadak jadi tenang. Nggak tahu juga kenapa. Aku memang belum terlalu kenal sama Mas Reza, tapi aura dia itu kayaknya bagus aja kalau dilihat.” “Dari segi mana pun, Eza memang baik. Dia juga nggak neko-neko. Cuma karena aku ini tahu sedikit masa lalunya, tiba-tiba aja aku khawatir.” “Memang Mas Reza punya masa lalu apa, Mas?” “Dia ada trauma sama perempuan. Panjang ceritanya.” “Tapi bukan aib besar, kan?” tanya Danu lagi. “Aib besar, tapi bukan aibnya Eza. Itu aib mantannya. Di sini Eza justru kena dampaknya, makanya dia punya trauma psikis.” “Tapi kayaknya Mas Reza keliatan baik-baik aja tuh, Mas?” “Ya memang, dia sudah agak sembuh. Cuma nggak ada jaminan juga kalau suatu saat traumanya bisa kembali.” “Berarti kita banyak doa aja, Mas. Semoga pernikahan Mas Reza sama Dek Una akan selalu baik-baik aja.”                 Aku mengangguk. “Amin.”                 Untuk beberapa saat lamanya, suasana di antara aku dan Danu mendadak agak hening. Danu sibuk dengan makanan di piringnya, sementara aku tiba-tiba saja kepikiran dengan perempuan yang datang ke kondangan waktu itu.                 Tanpa sadar, perlahan senyumku mengembang. Kalau diingat-ingat lagi, perempuan itu cukup unik. Bisa-bisanya dia datang kondangan, tapi dia tidak tahu sama sekali dengan nama mempelainya. Tapi bagus sih, setidaknya dia jadi tidak tahu kalau hari itu mempelai perempuan diganti.                 Drrrt!                 Tiba-tiba saja, ponsel di saku celana bergetar. Aku segera mengambilnya, dan langsung membuka kotak pesan. “Selamat malam, Mas Aji. Ini saya, Lia. Saya mau mengembalikan sepatu sendal milik luna yang waktu itu saya pinjam. Harus dikembalikan kemana, ya?”                 Panjang umur sekali. Baru juga aku tak sengaja teringat dia, tapi dia justru sudah mengirim pesan. Aku bahkan hampir lupa kalau Dek Una memberikan nomorku padanya. “Malam juga. Bisa dikembalikan ke saya, di toko yang pernah kamu kunjungi waktu itu.”                 Read...                 Typing... “Siap, Mas Aji. Terimakasih. Besok saya kabari lagi kalau sudah otw.” “Y.”                  Aku kembali memasukkan ponselku ke dalam saku celana, lalu pamit masuk rumah lebih dulu, meninggalkan Danu yang masih belum selesai dengan makanannya. *** Lia                 “Y? Huruf ‘ye’ doang?”                 Aku melongo, manatap pesan dari kakaknya Luna, maksudku Mas Aji. Bisa-bisanya hari gini masih jawab pesan dengan begitu singkatnya?                 Y? Oh ya ampun!                 Aku melemparkan ponselku ke arah tempat tidur, lalu buru-buru keluar menuju dapur untuk mengambil air putih. Persediaan air putih di kamar habis, jadi mau tidak mau aku harus turun untuk mengisinya. Aku ini tipe yang sering kebangun malam-malam hanya karena kehausan. Jadi wajib sekali sebelum tidur aku harus sedia air putih. “Itu Lia!”                 Aku berjengit kaget ketika tiba-tiba namaku di sebut, bahkan saat ini aku baru menuruni anak tangga ketiga. Aku menoleh ke arah ruang tamu, dan saat itu juga badanku seketika kaku di tempat.                 Manusia itu lagi!   “Selamat malam Om Aris, Tante Ulin, dan – eee, Mas Rico.” Suaraku memelan ketika menyebutkan nama terakhir. “Malam, Lia...” sapa mereka bertiga hampir bersamaan.                 Aku menundukkan kepala sejenak untuk sekedar basa-basi, lalu segera pergi menuju dapur tanpa berniat bergabung dengan mereka. “Li,” “Iya?”                 Ternyata Ibu, beliau datang menyusulku ke dapur. Melihat ekspresi ibu saat ini, aku langsung bisa menebak kira-kira apa yang akan beliau bicarakan. “Apa kamu masih belum mau juga sama Rico?”                 Nah, kan! Lagi dan lagi, ibu membahas itu lagi, itu lagi! “Bu, harus berapa kali aku bilang? Aku nggak mau sama Mas Rico. Aku nggak pernah pasang standar calon suamiku haru gimana-gimana. Tapi tolong, Bu. Jangan Mas Rico. Itu saja.” “Dia sudah berubah—“ “Dari mana ibu tahu kalau dia sudah berubah?”                 Ibu terdiam. “Tuh, kan? Ibu diam juga karena sebenarnya ibu nggak yakin. Bu, menikah itu seumur hidup. Aku nggak mau menghabiskan sisa umurku bersama laki-laki macam Mas Rico.”   Rasanya aku hampir frustasi ketika lagi dan lagi harus berdebat hal yang sama dengan Ibu. Aku tidak bermaksud durhaka karena terus membantah permintaan beliau, tapi aku punya alasan kuat kenapa aku kekeuh menolak.                 Jadi, sebelumnya mari kuberitahu siapa Mas Rico. Mas Rico itu adalah kakak kelasku jaman SMP, yang kebetulan juga anak tunggal dari teman Ayah. Dulu sekali, tepatnya kenaikan kelas dua SMP, aku hampir saja ternodai di tangan Mas Rico dan dua temannya. Andai waktu itu tidak ada tukang bakso keliling memergoki, aku hampir saja dilecehkan mereka bertiga. Dan itu membuatku trauma sampai bertahun-tahun.                 Meski ibu bilang sekarang Mas Rico sudah berubah, sampai kapan pun aku tidak bisa melupakan kejadian itu. Mau sekarang Mas Rico adalah lulusan luar negri lah, mau punya usaha lah, mapan lah, atau apapun itu, aku tidak peduli. Bahkan andai ibu bilang Mas Rico sudah pernah masuk pesantren sekalipun, aku tetap tidak akan rela menyerahkan hidupku pada laki-laki itu. Untungnya tidak, aku akan lebih percaya kalau anjing makan rumput, daripada Mas Rico masuk pesantren. “Kamu nggak kasihan sama ayah dan Ibu, Li?” Pertanyaan itu lagi. Ibu hampir selalu menanyakan hal yang sama kalau masalah ini mulai dibawa-bawa. “Bu, mungkin gajiku sekarang masih sangat sedikit dan sangat jauh untuk membatu pelunasan hutang Ayah. Tapi aku janji, aku bakal bantu lunasin semuanya.” Mendengar itu, Ibu menghela napas panjang, lalu akhirnya balik badan meningalkanku.                 Tahukah kalian? Kanapa ibu terus memaksaku untuk menerima Mas Rico padahal beliau tahu aku pernah hampir dinodai laki-laki b***t itu? Ya, jawabannya adalah karena Ayah masih punya hutang dengan Ayah Mas Rico. Alasan yang sangat klise, bukan? Sekitar dua tahun lalu, usaha ayah terancam bangkrut. Disaat ayah kesusahan, Ayah Mas Rico datang menawarkan pinjaman untuk menopang keuangan perusahaan. Waktu itu, Ayah menanggung kurang lebih lima belas karyawan, dan ayah tidak punya pilihan selain menerima pinjaman itu karena ayah harus menggaji para karyawannya. Belum lagi, waktu itu Ayah juga belum membayar tagihan pajak dan lain sebagainya. Meski saat ini perusahaan ayah sudah mulai membaik, tapi hutang itu belum juga lunas. Kalau tidak salah ingat, masih ada sekitar seratus dua puluh lima juta yang belum terbayar.  Ayah Mas Rico memang tidak pernah terang-terangan menagih, tapi aku tahu, hutang itu justru digunakan sebagai alat agar anaknya bisa meminangku. Tahu sendiri kan, kalau punya hutang hawanya pasti tidak enak hati ketika lihat orang yang menghutangi? Ya Alloh, di mana aku bisa dapatkan uang sebanyak itu dalam waktu dekat? *** Keesokan hari... “Terimakasih banyak, Mas Aji,” ucapku sembari menyerahkan paper bag berisi sepatu sendal milik Luna yang sebelumnya sudah kucuci terlebih dahulu. “Sama-sama.” “Salam buat Luna,” lanjutku yang langsung dibalas dengan anggukan.                 Saat ini aku dan Mas Aji sedang duduk berhadapan di salah satu cafe yang berjajar di sebrang tokonya. Awalnya kami memang mau ketemu di toko saja, tapi karena hari ini adalah hari minggu, kebetulan tokonya sedang sangat rame pengunjung, jadi kami memutuskan untuk bertemu di sini. “Iya, nanti saya sampaikan.”                 Aku menyeruput jus alpukat di depanku, dan Mas Aji juga melakukan hal yang sama. Sejujurnya ini canggung sekali, tapi mau bagaimana lagi? Tiba-tiba saja Mas Aji bilang kalau dia sudah menungguku di sini. Aturan aku yang traktir karena aku yang merepotkannya, tapi ini malah kebalik. “Saya duluan ya, ... Lia?” “Ah, iya, Mas. Silahkan. Maaf ya, sudah mengganggu waktunya. Sekali lagi, terimakasih banyak.”                 Mas Aji mengangguk, lalu dia segera berdiri dan pergi meninggalkanku. Tak berselang lama, aku juga ikut berdiri dan menyusulnya pergi dari cafe itu. Namun, baru saja aku sampai di motorku yang terparkir di ujung halaman, langkahku seketika terhenti ketika melihat ada Mas Rico di seberang jalan.                 Kali ini mataku langsung melebar ketika melihat Mas Rico melambaikan tangannya, seperti menyiratkan kalau aku jangan kemana-mana. “Dia lihat aku?” “Lia, berhenti!”                 Mas Rico meneriakiku begitu dia berhasil menyebrang. Tanganku langsung gemetaran ketika Mas Rico semakin mendekat. Padahal di sini area ramai orang lalu lalang, tapi tetap saja badanku reflek gemetar tiap kali berhadapan langsung dengan Mas Rico tanpa ada orang lain di sampingku.   “Jangan mendekat!” seruku sambil mundur satu langkah. “Boleh kita bicara?” “Enggak!” aku langsung menggeleng keras, sambil terus mundur pelan-pelan. “Aku sudah bukan Rico yang dulu, Li. Aku—“ “Jangan mendekat, aku bilang!” potongku yang akhirnya membuat Mas Rico berhenti.                 Mas Rico memang berhenti, tapi sebelah tangannya mengusap jok motorku dengan senyum aneh yang terlihat sangat mengerikan di mataku. “Kita bicara sebentar saja, ya? Susah sekali ngajak kamu ngobrol berdua. Mumpung kita di sini.” “Nggak mau!” “Lia,” Mas Rico mulai berjalan mendekat lagi, kali ini sebelah tangannya hendak meraih tangan kiriku.                 Aku tersentak kaget, ketika tiba-tiba ada tangan lain yang lebih dulu meraih tanganku dan menarikku ke belakang.  “Dia bilang nggak mau, jangan dipaksa.” “M-mas Aji?” ***  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN