Lia
“Roti tawarnya kak, mumpung promo,” ucap petugas kasir ketika siang itu aku mampir indomaret dekat sekolahku untuk membeli minuman.
Sebelumnya perkenalkan namaku Dwilia Almira Kevlar, biasa dipanggi Lia. Aku adalah seorang guru Matematika di salah satu SMA swasta elit yang terletak di dekat tempat tinggalku.
“Nggak mbak, makasih,” tolakku sopan. Setelah menerima uang kembalian, aku segera menelfon Rava, adikku, untuk segera datang menjemput.
Sembari menunggu Rava datang, aku duduk di kursi yang ada di teras indomaret. Sesekali aku tersenyum membalas senyuman para siswa yang kebetulan lewat dan melihatku.
“Loh, kok kamu, Dav?” tanyaku heran begitu beberapa menit kemudian yang datang menjemputku justru si Dava, adikku satunya lagi.
“Rava tadi disuruh mama buat nganter ke rumah Tante Ani, ya udah jadi aku yang gantiin.”
“Ohhh.” Aku segera menghampiri Dava lalu naik ke motornya.
“Udah mbak?”
“Udah.”
“Kalau udah, turun.”
“Ih, nggak lucu. Buruan ah, mbak habis ini mau ke rumah temen.” Dava hanya terkekeh sebentar sebelum akhirnya menyalakan mesin motor lalu kami bergegas pulang.
“Eh Dav, mampir bentar ke toko kayu di ujung jalan, ya?” ucapku ketika kami sudah di tengah perjalanan.
“Toko kayu? Mana ada?”
“Itu loh, yang jual barang-barang dari bahan kayu. Mbak mau ambil pesenan di sana.”
“Oh toko itu. Yaelah, bukan toko kayu itu namanya.”
“Terus apa dong? Orang semua yang di jual di situ berbahan dasar kayu?”
“Ya tetep aja namanya bukan toko kayu. Kalau toko kayu, orang mikirnya tokonya jualan kayu mentahan. Duh!”
“Ya pokoknya toko itu, yang jual banyak barang berbahan dasar kayu.”
“Terserah apa kata Mbak Lia aja deh.”
Dava akhirnya menghentikan motornya tepat di depan toko yang barusan aku maksud. Entah apa namanya, intinya toko itu menjual barang-barang yang kesemuanya terbuat dari kayu. Ada meja, kursi, rak, lemari, figura, miniatur, dan masih banyak lagi.
“Siang mbak, ada yang bisa saya bantu?” sapa salah seorang karyawan laki-laki begitu aku masuk ke toko itu.
“Oh itu mas, saya mau ambil pesanan saya minggu lalu. Dua figura sama satu miniatur atas nama Dwilia,” jawabku sambil tersenyum ramah.
“Sebentar, biar saya carikan dulu ya, mbak.”
“Oke mas.”
Sambil menunggu pesananku, aku berkeliling untuk sekedar melihat-lihat. Jujur, aku cukup kagum dengan toko ini. Toko ini belum lama di buka, tapi perkembangannya sangat pesat. Nggak heran sih, barang-barang yang di jual di sini sangat unik. Selain menjual barang siap ambil, toko ini juga melayani pesanan pre order. Contohnya ya kaya aku ini, aku pesan minggu lalu dan hari ini sudah bisa di ambil.
“Ada yang bisa saya bantu, mbak?” Aku langsung menoleh ketika ada orang yang menanyaiku lagi.
“Enggak mas, tadi udah ada yang---“ kalimatku terhenti begitu melihat siapa laki-laki yang saat ini berdiri menjulang si depanku.
“Kamu?” serunya kaget. Tampaknya laki-laki itu juga mengingatku. Ya, dia adalah laki-laki yang waktu itu tak sengaja kutabrak mobilnya.
“Hehe. Ketemu lagi sama masnya.” Aku meringis sambil menggaruk pelipisku. Laki-laki itu hanya mengangguk dengan wajah datarnya.
“Mau beli atau—“
“Saya sudah pesan dan lagi diambilin. Nggak tahu kok ini lama. Hehe.”
“ Oh gitu.”
“Masnya kerja disini?” tanyaku sekedar basa-basi. Nggak enak juga kalau tiba-tiba diem, padahal sepertinya laki-laki ini belum ada niatan segera pergi.
Jujur, aslinya aku ingin sekali menanyakan mobilnya yang lecet, tapi aku takut. FYI, laki-laki ini tidak menghubungiku lagi meski sudah kukasih kartu namaku. Apakah bisa kusimpulkan kalau laki-laki ini sudah tidak mempermasalhkan ganti rugi?
“Iya.” jawabnya.
Wah, dia cuma karyawan di toko ini tapi punya mobil sebagus itu? Aku masih ingat betul, mobilnya kemarin tergolong mobil yang harganya nggak murah.
“Bagian apa?“ tanyaku lagi.
“Loh, bos---“
“ Ssssst!” laki-laki itu mengisyaratkan karyawan yang tadi mengambil pesananku untuk diam.
Bos?
“Saya permisi dulu. Terimakasih, sudah mau mampir ke toko ini,” ucap laki-laki itu sambil berlalu meninggalkanku. Untuk sejenak aku hanya melongo.
“Mbak, ini pesanannya.”
“Oh iya, mas, terimakasih banyak. Uangnya sudah saya bayar di muka, ya?”
“Iya mbak. Terimakasih banyak. Saya permi---“
“Eh, sebentar mas,”
“Iya, gimana mbak? Ada yang bisa saya bantu lagi?”
“Yang barusan itu siapa? Kok masnya manggil bos?”
“Oh itu namanya Mas Aji, mbak. Yang punya toko ini.” Karyawan itu tersenyum sambil menoleh melihat laki-laki tadi, lalu menoleh kearahku lagi.
“Eh, iya?” tanyaku agak kaget.
“Iya, mbak. Mbaknya kenalannya atau gimana?”
“Bu-bukan, mas. Saya---“
“ Mbak Lia! Lama benerrr. Keburu panassss!” Tiba-tiba saja, Dava sudah berdiri tidak jauh dariku dengan ekpresi kesalnya.
“Iya, iya. Ini udah. Permisi ya mas, saya sudah ditunggu adik saya. Sekali lagi, terimaksih banyak.”
“Iya mbak, sama-sama. Terimakasih kembali.”
Sebelum benar-benar keluar dari toko itu, aku sempat menoleh ke belakang dan meilihat laki-laki tadi sedang bergurau dengan salah satu karyawannya.
Ngomong-ngomong, senyumnya manis banget. Sumpah!
***
Aji
“Dek, antara dua cewek ini, cantikan yang mana?” tanya Danu sambil menunjukkan ponselnya di depan wajah Dek Una.
“Enggak dua-duanya. Soalnya masih cantikan gue. Haha!”
“Serius gue, dek!” tukas Danu tampak kesal.
“Tumben banget lo punya foto cewek? Lo kan penyuka batangan.”
“ Anjirrrr! Mulut lo perlu gue kasih sajen lagi kayaknya ya!”
“ Woy! Sakit mas!”
Aku hanya bisa geleng-geleng kepala ketika melihat Danu dan Dek Una mulai saling serang. Sehari tidak bertengkar sepertinya terlalu rugi buat mereka.
“Lo emang adik nggak guna. Gue nanyanya serius loh, padahal.” Setelah mengatakan itu, tiba-tiba Danu melompat ke arahku dan duduk tepat di sampingku.
“Mas, cantikan yang baju merah atau hitam?” tanya Danu sambil menunjukkan ponselnya ke arahku.
“Hitam.”
“Oke. Yang merah aja berarti.” Danu terkekeh lalu kembali ke tempat duduknya.
“Lah! Terus lo kenapa pake tanya Mas Aji, kang cilokkk! Heran bener gue, punya abang kok nggak ada warasnya!”
“Ya terserah gue dong. Pendapat kalian emang penting, tapi pendapat gue yang peling penting.”
“TERSERAH!” Setelah mengatakan itu, Dek Una tiba-tiba berdiri lalu berjalan ke arahku.
“Ada apa, dek?”
Dek Una tidak menjawab malah memilih untuk duduk bersandar di bahuku.
“Skripsi lagi?” tanyaku menebak.
“Iya. Masak ya mas, pembimbingku itu beneran jadi ganti. Padahal aku mulai nyaman sama pembimbing yang lama. Apes banget, asli,” ujarnya dengan wajah ditekuk.
“Kenapa kok diganti?” tanyaku lagi, kali ini sambil menepuk pelan kepala Dek Una.
“Ibuknya mau pindah ikut suami ke Manado.”
“Oooh. Ya udah nggak papa, ntar lama-lama kamu juga bakalan terbiasa sama pembimbing yang baru.”
“Ih tapi mas, tau nggak sih penggantinya itu siapa?”
“Siapa emang?”
“Dosen baru. Eh, ya nggak baru banget, sih. Tapi aku belum pernah diajar soalnya dosen baru rata-rata ngajar mahasiswa semester awal. Dan yang bikin aku males nih, wajahnya lempeng kaya jalan tol. Eh jalan tol masih kebagusan ding, tembok kampus kali, ya?” Mau tak mau aku tetawa mendengar penuturan Dek Una.
“Emang ada ya, dosen kaya gitu?”
“Nggak ada lah, mas! Itu Dek Una aja yang lebay! Lo bilang kemarin kalau tuh dosen wajahnya ganteng. Kok sekarang lo bilang wajahnya kaya tembok kampus? Nggak konsisten!” Danu ikutan nimbrung.
“Ya emang ganteng, tapi judes bukan main! Malesin banget!”
“Udah nikah belum?”
“Nggak tau dan nggak mau tau.”
“Jangan-jangan belum, dek? Kan lo bilang dia masih muda. Lo gaet aja mendingan, sapa tau jadi berubah.” Danu terbahak di ujung kalimatnya.
“Gaet pala lo!” Dek Una mendelik horor sementara Danu semakin terbahak.
“Sssst, Dek Una nggak boleh ngomong kasar. Danu juga, berenti godain adikmu. Udah otewe jadi bos juga, harus bisa mulai dewasa.”
“Ya Mas Danu itu loh, mas. Dia itu sukanya—“
“Udah, berhenti. Aku tinggal naik kalau mau berantem terus.”
“I-ya,”
Akhirnya Danu kembali fokus dengan ponselnya, sementara Dek Una tampaknya masih belum selesai curhat.
“Mas Aji, ini gimana, dong? Aku nggak bisa kalau pas bimbingan dijudesin mulu. Sampai rasanya nih, aku kaya pengen ngecat wajah temboknya biar--”
“Deeek, udah! Nggak baik ngatain dosen sampai kaya gitu. Ntar kualat,” potongku sebelum Dek Una menyelsaikan kalimatnya.
“Tapi mas—“
“Udah ya, pokoknya udah. Sekalipun pembimbing barumu itu judes atau apalah itu, tapi kamu butuh ilmu beliau. Jadi nggak boleh terlalu menjelekkan gitu. Nggak baik.”
“Beliau? Dia masih muda, mas. Berasa tua banget deh dengernya kalau dipanggil beliau.”
“Ya mau tua atau muda, pokoknya udah, ya? Nggak baik kalau jelekin dosen sendiri kaya tadi. Apalagi sampe ngatain.” Kali ini kuusap kepala Dek Una beberapa kali dan akhirnya Dek Una mengangguk paham.
“Ya udah, iya. Aku diem.”
Tak berselang lama setelah Dek Una selesai curhat, tiba-tiba aku mendengar ponselku bergetar.
Eh, dari Eza? Tumben banget, telfon?
“Hallo, Za?” sapaku begitu sambungan kami terhubung.
“Ji, besok aku main ke rumahmu, ya? Aku jadi terima perjodohan yang diatur ibu. Dan besok aku mau kasih undangannya.”
“HAH? SECEPAT INI?”
Tanpa sadar aku memekik, dan itu membuat Danu dan Dek Una langsung menoleh ke arahku.
***