Seseorang berdiri menyandarkan punggungnya ke kusen pintu ruangan dapur G Cafe & Resto. Ia fokus memerhatikan tiga orang karyawannya yang tengah bercengkrama hangat di ruangan itu. Cukup lama ia memerhatikan dan mendengarkan percakapan itu.
“Ehem ... ehem ....” Reinald mendehem.
Ke tiga wanita yang asyik berbincang, seketika menghentikan pembicaraan mereka. Mereka bertiga menatap ke arah sumber suara.
“He—eh ... ada pak Reinald? Ma—maaf, Pak.” Ke dua rekan Syifa menunduk dan segera berlalu dari tempat itu. Mereka kembali ke pekerjaan mereka masing-masing.
Reinald mendekat ke arah Syifa, “Syifa, kamu sehat?”
“Memangnya kenapa, Pak?” jawab Syifa, ia jengah.
“Kamu terlihat murung, apa ada masalah?”
“Ti—tidak, Pak. Saya hanya merindukan ke dua orang tua dan kakak perempuan saya satu-satunya.” Syifa menunduk.
“Kalau begitu kembalilah bekerja dengan baik.” Reinald tersenyum sesaat lalu membalikkan tubuhnya dan mulai melangkah keluar dari ruangan itu.
Baru saja Reinald melangkahkan kakinya sebanyak tiga langkah, “Pak, tunggu!”
Reinald berhenti dan menoleh ke arah belakang, “Ada apa Syifa?”
Syifa mendekat, “Ma—maaf, bolehkah saya menemui bapak di ruangan bapak? Ada sesuatu yang penting yang ingin cara bicarakan.”
“Tentu, saya tunggu kamu di ruangan saya.” Reinald tersenyum hangat.
“Apa ada lagi?”
Syifa menggeleng.
“Kalau tidak ada lagi, saya akan segera pergi.”
“I—iya, Pak.”
Reinald kembali membalik badannya dan mulai melangkah beberapa langkah. Sesampainya di pintu, Reinald kembali menatap Syifa, “Syifa, kalau kamu memang ingin menemuiku, aku tunggu sekarang. Satu jam lagi, aku harus pergi.”
Syifa mengangguk dengan sopan, sementara Reinald akhirnya benar-benar menghilang dari pandangannya.
Syifa berjalan menuju loker tempat ia menyimpan tas dan barang-barang pribadinya. Ia mengambil sebuah pouch dan membawanya ke ruangan Reinald.
“Syifa, kamu mau kemana?” tanya salah seorang rekan Syifa karena melihat wanita itu keluar dari ruang dapur.
“Aku mau menemui pak Reinald sebentar. Beliau ingin membahas masalah royalti resep kopi jahe yang sudah aku berikan kepada beliau.”
“Owh ... sukses ya, Syifa. Kamu hebat, baru masuk tapi sudah mendapatkan kepercayaan si Bos. Di tambah kamu memiliki resep istimewa yang sekarang sudah menjadi salah satu menu andalan di kafe ini, pasti pak Bos semakin memerhatikan kamu.”
“Aku juga bersyukur dan tidak menyangka jika kopi jahe yang merupakan resep turun temurun dari nenekku, begit diminati banyak orang.”
“Syifa, kenapa kamu gak tawari aja resep kamu itu ke brand terkenal? Pasti kamu akan dapat untung lebih banyak.”
“Nggak ah ... lagi pula aku sudah terikat kontrak dengan pak Reinald. Oiya, aku harus segera menemui beliau, jangan sampai beliau menunggu terlalu lama.”
“Ya sudah, sukses ya Syifa ....”
Syifa tersenyum dan segera melangkahkan kakinya meninggalkan ruangan itu menuju ruang milik bos besar..
Sesampainya di depan pintu, Syifa mulai sedikit berdebar. Ia merapikan scraft yang melingkat di atas kepalanya. Ya, gadis itu memang hobi melilitkan scraft di atas kepalanya. Poninya ia biarkan sedikit keluar. Penampilan seperti itu membuat Syifa terlihat lebih muda dan segar.
Tidak lama, Syifa pun mulai mengetuk pintu ruangan Reinald.
“Masuk.” Terdengar jawaban dari dalam.
Dengan perasaan yang semakin berdebar, Syifa mulai masuk ke dalam ruangan Reinald. Gadis itu memang kesulitan untuk mengendalikan perasaannya setiap bertemu dengan Reinald. Ia sudah mengagumi pria itu semenjak lama.
“Syifa ... silahkan duduk.”
“Terima kasih, Pak.”
Syifa pun mendudukkan bokongnya dengan baik ke kursi yang ada di hadapan Reinald.
Reinald menatap wanita itu. Syifa jengah tatkala mengetahui Reinald menatap dirinya.
“Ada apa, Syifa? Katanya ada perlu denganku?”
“Hhmm ... ma—maaf, Pak. Ini ....” Syifa gugup.
“Syifa, mengapa kamu tiba-tiba gugup? Memangnya apa yang ingin kamu sampaikan? Ingin minta kenaikan gaji? Atau minta kenaikan royalti?”
“Bu—bukan, Pak. Bukan itu, aku tidak minta hal yang seperti itu.” Syifa dengan cepat membantah perkataan Reinald.
“Lalu ada apa?”
“Ini ... maaf, ini agak pribadi.” Syifa kembali tertunduk.
Reinald memundurkan kursinya, menatap gadis itu lebih dalam. Beberapa pertanyaan mulai bercokol di pikiran Reinald.
“Maaf, Syifa. Bisa to the point?”
Syifa masih saja gugup. Ia mengambil pouch yang ia letakkan di atas pahanya. Sebuah pouch berwarna hijau muda yang sudah ia bawa selama dua tahun. Benda itu masih terlihat bersih dan terawat karena Syifa memang menjaga benda itu dengan baik.
Perlahan, ia memberikan pouch itu kepada Reinald. Tangan Syifa bergetar.
“Apa ini, Syifa?”
“I—ini ... Hhmm ... lebih baik anda buka saja, Pak. Saya rasa, anda pantas untuk melihat isinya.”
Reinald menerima benda itu, tapi matanya masih menatap ke arah Syifa. Sementara Syifa masih terus menunduk.
“Apa ini?” tanya Reinald sebelum membuka isi dari pouch itu.
“I—itu ... itu hanya sebuah diary dan kenang-kenangan dari kakak saya.”
“Memangnya siapa kakak anda? Apa kami saling mengenal?”
“Tentu, kalian saling mengenal bahkan kalian berteman baik dulunya. Anda bahkan pernah menyelamatkan hidupnya. Hal itu yang membuat kakakku memutuskan hidup sendiri hingga maut menjemputnya dua tahun yang lalu.”
“Maksudmu?” Reinald semakin tidak mengerti.
“Silahkan anda buka saja, Pak. Anda bisa melihat isinya dan membacanya sendiri.”
“Hhmm ... okay, saya akan membukanya.” Reinald mulai membuka pouch yang kini sudah berada di tangannya.
Sesekali ia mengarahkan pandangannya ke wajah Syifa. Syifa semakin berdebar.
“Anita? Bukankah ini Anita? Apa ini benar Anita?” Reinald memegang sebuah foto yang terdapat di dalam pouch itu. Ia masih mengingat jelas wajah teman satu sekolahnya dulu. Gadis yang pernah hampir di renggut kehormatannya oleh Fedrik.
“Iya, Pak. Dia adalah Anita, kakak kandung saya. Orang yang masih setia menunggu pangerannya hingga maut menjemputnya. Pangeran yang hanya ada dalam khayalannya saja.” Syifa tidak mampu menahan dirinya. Suaranya mulai bergetar dan sepasang netra itu mulai mengeluarkan tetesan bening.
Reinald meletakkan pouch itu ke atas meja. Ia juga meletakkan foto Anita di atas meja. Reinald berpikir sejenak, mencoba mencerna perkataan Syifa.
“Ma—maaf, Pak. Jika anda berkenan, silahkan anda buka dan baca isi diary yang sudah saya berikan tadi. Mbak Anita sudah menyimpannya dengan baik selama ini.”
Reinald hanya diam. Ia pun mengambil pouch yang ada di atas mejanya dan memerhatikannya sesaat sebelum membukanya. Berkali-kali pria itu mencuri pandang ke arah Syifa lalu menatap benda yang kini ada di tangannya.
Reinald mengambil sebuah buku kecil yang ada di dalam sana, membuka buku itu dan mulai membaca lembaran demi lembaran. Ada dua buah buku diary yang ada di dalamnya, namun hanya satu yang dibuka oleh Reinald.
Reinald hanya membaca beberapa halaman, lalu mengembalikan buku itu ke tempat semula. Reinald merenung sejenak lalu menyeka wajahnya dengan telapak tangan kanannya.
“Maaf, Syifa. Bisa anda ceritakan apa yang terjadi dengan Anita?”
“Hhmm ... semenjak mbak Anita lulus SMA, kami memutuskan pindah ke Cimahi karena ayahku punya tanah di sana. Namun semenjak saat itu, mbak Anita sering merenung setiap pulang kerja. Bahkan ia selalu menggigau dalam tidurnya. Ia terlalu mencintai anda, Pak.”
Reinald kembali menyeka wajahnya. Ia tidak habis pikir, bagaimana bisa Anita mencintainya terlalu dalam. Itu baru beberapa halaman yang ia baca, belum semuanya.
“Jadi Anita sudah meninggal? Kenapa?”
“Beliau meninggal karena kecelakaan, dan ia membawa cintanya sampai ke kuburnya. Mak Anita tidak pernah ingin menikah sebab tidak bisa membuka hatinya untuk pria lain. Ia terlalu memuja anda, Pak.”
Reinald menyimpan kembali semua itu ke dalam pouch dan mengunci benda itu, lalu ia memberikannya kembali kepada Syifa.
“Syifa, sebelumnya saya minta maaf. Saya sudah menikah dan saya menikah dengan wanita yang begitu saya cintai. Bahkan saya sudah memuja wanita itu semenjak kami masih belia. Jadi maaf, tolong simpan lagi benda ini. Saya tidak ingin istri saya melihatnya dan menjadi salah paham.” Reinald berkata lembut.
“I—iya, Pak. Saya juga minta maaf ... Saya hanya ingin menyampaikan pesan mbak Anita. Sebelum ia meninggal dunia, ia meminta saya untuk mencari anda dan menyuruh saya memberi tahukan semuanya.”
“Syifa, saya turut berduka cita. Saya tahu betul siapa Anita. Ia adalah gadis yang sangat baik dan juga cantik. Banyak pria yang menyukainya dan mengincarnya, namun Anita selalu menolak mereka. Salah satunya adalah sahabat saya, Toni. Saya tidak menyangka jika Anita sudah menyimpan perasaan itu sedari SMA.”
“Iya, Pak. Setiap saat, mbak Anita hanya menceritakan tentang diri anda. Ia begitu mengagumi anda.”
“Ya ... sekarang semuanya telah usai. Anita sudah tenang dan aku juga sudah menikah dengan wanita pilihanku. Apa ada lagi yang ingin kamu sampaikan, Syifa?”
“Ti—tidak, Pak. Saya hanya ingin menyampaikan hal ini. Sebab, sebelum saya mengatakannya, maka hati saya tidak akan pernah bisa tenang.”
“Baiklah, kalau tidak ada lagi. Saya mohon undur diri sebab satu jam lagi, saya ada pertemuan dengan calon investor. Sekali lagi saya minta maaf, Syifa. Semoga harimu menyenangkan.”
Reinald menjulurkan tangannya untuk menyalami Syifa. Syifa membalas uluran tangan itu. Jantungnya kembali berdetak dengan cepat, ketika tangan halus Reinald menyentuh tangannya yang lentik. Syifa seakan tidak ingin melepaskan tangan itu selamanya. Ia ingin tangannya tetap menempel di sana selamanya.
Reinald segera menarik tangannya, “Baiklah, Syifa. Aku harus segera pergi. Assalamu’alaikum ....”
Syifa mengangguk dan menjawab dengan suara pelan, “Wa’alaikumussalam ....”
Reinald pergi sementara Syifa memeluk pouch miliknya seraya meneteskan air mata.
===
======
Hai man teman yang baik ...
Akhirnya, BHT mulai up setiap hari juga, hehehe
cerita ini akan UP setiap hari jam 9 pagi (sama kayak emaknya) dan aku rencanakan akan UP 2 sampai 3 bab sehari. Tapi hari ini 1 bab dulu ya, hehehe ...
semangat Minggu, kiss ..