BAB 8 – Sebuket Bunga

1472 Kata
Syifa meninggalkan ruangan Reinald dengan langkah gontai. Gadis itu tidak mampu menahan deraian air matanya yang membuat mata itu bengkak. Ia dengan cepat berjalan ke kamar mandi dan membersihkan wajahnya agar rekan-rekannya tidak melihat matanya yang sembab. Berkali-kali Syifa menyeka wajahnya  dan memerhatikan wajah itu dari balik pantulan cermin. Ia merutuki nasibnya, namun ia juga tidak bisa berbuat apa-apa. Ia sudah merasakan apa yang pernah dirasakan oleh Anita—kakaknya. Mencintai seseorang yang sudah mencintai orang lain. Syifa terus terisak, hingga salah seorang rekannya masuk ke dalam ruangan tersebut. “Syifa, kamu kenapa? Bukankah kamu baru saja keluar dari ruangan pak Rei? Tapi mengapa menangis begini?” “He—eh, aku tidak apa-apa ....” Syifa kembali menyeka wajahnya dan membasuhnya dengan air. “Syifa, kamu ada masalah? Kalau kamu tidak keberatan, silahkan ceritakan kepada mbak. Bukankah kamu sudah menganggap mbak ini seperti kakak kandungmu sendiri?” Rina—salah seorang rekan Syifa yang begitu dekat dengan gadis itu. Tiba-tiba Syifa memeluk Rina dengan erat, “Mbak, mengapa mencintai itu rasanya sakit sekali.” Rina membelai punggung Syifa dengan lembut. Selama ini gadis itu sudah bercerita banyak hal mengenai keluarganya, dan dirinya sendiri. Namun, Rina masih belum tahu, siapa dan lelaki seperti apa yang sudah membuat sahabatnya menjadi seperti itu. “Memangnya ada apa, Syifa? Apa kamu sudah mengungkapkan perasaanmu kepada lelaki itu.” Syifa menggeleng, “Belum, Mbak. Tapi ia sudah menikah dan katanya ia begitu mencintai istrinya.” Rina melepaskan rangkulannya, “Syifa, apakah benar apa yang mbak dengar ini?” Syifa mengangguk, ia menunduk. “Syifa, kamu itu sangat cantik dan juga pintar. Mbak mohon, jangan sama suami orang.” “Tapi, Mbak. Syifa sudah terlanjur mencintainya.” Rina membelai bahu Syifa, “Cintamu tidak salah, Syifa. Tapi jika kamu memiliki keinginan untuk memilikinya, itu yang salah. Coba posisikan dirimu menjadi istrinya, bagaimana perasaanmu?” Syifa kembali menunduk, ia menyeka air matanya yang terus keluar. “Sudahlah, sekarang kembali bekerja. Nanti kita bicarakan lagi, okay.” Syifa mengangguk dan segera keluar ruangan itu bersama Rina. Ia melupakan sejenak permasalahan hatinya dan menyibukkan dirinya dengan pesanan kopi jahe yang semakin lama semalin banyak. - - - - - Reinald melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Berkali-kali pria itu menyeka wajahnya setelah mendapatkan kabar dari Syifa. Ia kembali teringat dengan sosok Anita. Gadis cantik dan sederhana yang hampir saja dirampas kehormatannya oleh Fedrik. Tapi ada sesuatu yang menganjal di hatinya, yakni sikap Syifa. Sikap Syifa terhadap dirinya berbeda dengan sikap karyawan lainnya. Reinald merasa jika Syifa memiliki perasaan yang tidak biasa. Ah ... apa yang aku pikirkan. Aku tidak boleh berpikiran buruk tentang Syifa, Reinald kembali menyeka wajahnya. Di tengah kegundahan hatinya, tiba-tiba ponselnya berdering. Ada panggilan dari seseorang. “Halo ....” “Halo, Pak Rei. Apa kabar?” “Saya sehat, Pak Frans. Ini sedang di jalan mau ke lokasi. Bukankah hari ini kita akan membahas masalah rencana kerja sama kita?” “Maaf, Pak Rei. Justru karena itu saya menghubungi anda. Sepertinya rencana kita hari ini batal, Pak. Saya tiba-tiba ada keperluan mendadak ke Hongkong. Kembali lagi ke Indonesia sekitar seminggu lagi.” “Owh ... baiklah, pak. Tidak masalah. Kita akan bicarakan lagi perihal kerja sama itu setelah anda kembali ke Indonesia.” “Iya, Pak Rei. Saya minta maaf ....” “Tidak masalah, Pak Frans. Kalau begitu saya putar balik saja.” “Iya, Pak Rei. Sebab lima belas menit lagi saya harus segera ke bandara. Saya akan hubungi anda kembali setelah saya kembali ke Indonesia.” “Baiklah, pak Frans. Hati-hati di jalan.” Panggilan suara itu pun terputus. Reinald segera memutar kembali mobilnya. Kali ini ia ingin kembali pulang ke rumahnya. Jam di tangannya sudah menunjukkkan pukul lima sore, Reinald ingin cepat-cepat menemui istrinya. Reinald melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang mendekati tinggi. Diperjalanan, ia melihat ada sebuah toko penjual bunga. Reinald mampir ke toko itu untuk membelikan satu buket bunga untuk istrinya. Ia pun menepikan mobilnya dan masuk ke dalam toko itu. “Selamat siang, Pak. Ada yang bisa kami bantu?” “Selamat siang, saya ingin memesan satu buket bunga untuk istri saya. saya ingin memberikan kejutan untuk beliau.” “Manis sekali ... baiklah, Pak. Ini beberapa contoh buket, silahkan anda pilih sendiri. Atau apa anda ingin memesang sesuatu yang lebih fresh? Kalau ya, saya akan segera siapkan.” “Ya, saya butuh sesuatu yang segar dari bunga asli. Tidak perlu besar, namun terlihat manis dan wangi.” “Istri anda penyuka bunga apa?” “Ia suka semua jenis bunga, namun kalau masalah warna. Istri saya pengagum warna peach lembut.” “Hhmm ... baiklah, akan segera saya siapkan. Silahkan tunggu sebentar.” Reinald mengangguk. Sembari menunggu bunga pesanannya, Reinald berkeliling toko menikmati berbagai jenis bunga lainnya yang terlihat sangat cantik dan segar. “Maaf, Pak. Ini pesanan anda.” “Wauw ... cantik sekali, Berapa?” “Tiga ratus ribu, Pak.” Reinald meletakkan bunganya di atas meja lalu mengambil uangnya di dalam dompet yang ia simpan di dalam saku celana. “Ini, Mbak.” Reinald memberikan tiga lembar pecahan seratur ribuan kepada penjaga toko. “Terima kasih, Pak. Istri anda pasti sangat senang menerimanya.” “Semoga ... baiklah, kalau begitu saya permisi. Selamat sore.” “Selamat sore, Pak. Kembali lagi ya ....” Reinald tersenyum ramah. Ia kembali masuk ke dalam mobil dan meletakkan bunganya di atas kursi penumpang bagian depan. Berkali-kali Reinald memerhatikan buket itu. Pria itu membayangkan wajah Andhini yang akan tersemu merah ketika menerima buket itu. Aku mencintaimu, Andhini Saraswati ... Reinald bergumam dalam hatinya. Mobil putih itu sudah sampai di depan rumah Reinald. Ia pun memasukkan mobilnya ke dalam pekarangan rumah dan memarkirkan mobil itu di tempat yang sudah tersedia. Reinald turun dari mobil seraya menyembunyikan buketnya di belakang punggungnya. “Papa ....” Andre yang melihat ayahnya masuk ke dalam rumah, segera mengejar pria itu dan merangkulnya dengan erat. Reinald segera membalas rangkulan putranya, “Mama mana, Sayang?” “Belum pulang,” jawab Andre, polos. “Jihan, Andhini belum pulang?” kali ini Reinald bertanya kepada pengasuh Andre. Jihan menggeleng, “Belum, Pak.” Wajah Reinald yang semula sumringah, berubah masam. Ia menatap jam dinding besar yang ada di ruangan itu, sudah menunjukkan pukul lima sore. Tidak biasanya Andhini tidak berada di rumah di jam segini. “Jihan, apa Andhini tidak memberi tahu kemana ia pergi?’ Jihan kembali menggeleng, “Tidak, Pak. Kak Andhini tidak memberi tahu apa pun. Andre juga dari tadi sudah menanyakan mamanya. Biasanya jam tiga kak Andhini sudah berada di rumah.” “Hhmm ... ya sudah, aku akan segera ke atas.” Jihan mengangguk, sementara Reinald mengalihkan pandangannya ke arah Andre, “Andre mau ikut papa ke kamar?” Andre menggeleng, “Andre masih mau main.” “Ya sudah, papa ke atas dulu ya ....”Andre mengangguk. Reinald pun berlalu menuju kamarnya dengan langkah gontai. Tidak biasanya Andhini bersikap seperti ini. Biasanya wanita itu selalu menunggu suaminya, atau ia pasti akan memberi tahu jika ia sedang ada urusan. Namun kali ini, Andhini berbeda. Reinald meletakkan buket itu di atas nakas, sementara ia mulai merebahkan tubuhnya ke atas ranjang. Lagi, Reinald menatap buket itu. Rencananya ambyar, Andhini tidak berada di rumah. Senyum manis Andhini, pelukan dan ciuman hangat yang diharapkan Reinald, tidak jadi ia dapatkan. Reinald kembali terduduk dan mengambil ponselnya yang ia simpan di pouch yang ia sematkan di pinggangnya. Reinald mulai mencari nama seseorang “my lovely wife”. Reinald mulai menghubungi nomor itu. Ternyata nomor yang ia tuju sedang tidak aktif atau berada dalam luar jangkauan. Reinald menghela napas berat. Kemudian pria itu pun mulai mengirim pesan singkat. Hasilnya sama, hanya ada centang satu. Itu artinya pesan itu tidak masuk atau nomor tujuan sedang tidak aktif. Reinald menjadi sangat khawatir. Ia pun mulai menghubungi butik miliknya. Beruntung panggilan itu terjawab. “Halo Pak, ada apa?” “Vivi, ibu ada?” “Tadi ada, tapi jam tiga sudah kembali. Katanya ada urusan.” “Ada urusan? Urusan apa?” “Katanya mau menemui salah seorang investor dari Malaysia.” “Investor dari Malaysia? Laki-laki atau perempuan?” “Maaf, Pak. Saya juga kurang tahu.” “Apa Vivi tahu, Andhini akan bertemu di mana? Sebab tidak biasanya Andhini pergi tanpa mengabariku. Apalagi sampai sekarang, beliau belum kembali ke rumah.” “Maaf, Pak. Kak Andhini tidak memberi tahu ia akan pergi kemana. Katanya ia hanya ingin menemui calon investor, begitu saja.” “Ya sudah, terima kasih, Vivi. Nanti kalau Andhini sudah balik lagi ke butik, mohon segera hubungi aku. Andre juga dari tadi menanyakan ibunya.” “Siap, Pak. Vivi akan segera hubungi pak Reinald jika melihat ibu andhini. “Baiklah, terima kasih. Saya tutup dulu ya.” “Iya, Pak. Sama-sama.” Panggilan itu pun terputus. Reinald meletakkan ponselnya di atas nakas disamping buket. Ia semakin khawatir.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN