9 (Bismillahirrahmanirrahiim Allahumma shali’ala Muhammad wa’ala ali Muhammad)

1669 Kata
Hujan mulai mengguyur bumi sejak subuh, membuat siapa pun malas untuk beraktivitas, apalagi ini adalah hari Senin. Cuaca yang ada sangat mendukung untuk menarik selimut kembali dan bergelung dengan indahnya dunia mimpi. Awalnya aku juga ingin seperti itu. Namun, aku memaksakan diri untuk ke butik, mengecek beberapa pekerjaan. Sebenarnya aku bisa kapan saja pergi ke butik, namun sejak kejadian di rumah orangtua Mbak Risa, seminggu sudah aku dan Mas Zaidan seperti sepakat menjaga jarak, meski tidak ada kata-kata yang terlintas dari lisan kami. Itulah yang juga menjadi salah satu alasanku berada di butik saat ini.Flashback on Entah aku bingung, jujur perasaanku campur aduk, ada sedih dan bahagia ketika Mas Zaidan mau menyentuhku meski hanya sebuah ciuman. Ciuman itu pun tak berlangsung lama, ia kemudian tersadar dan sedikit mendorong pelan bahuku. Aku pun beringsut mundur dan menatap tajam ke dalam manik matanya. Mencoba mencari sesuatu, kejujuran, atau entah apapun itu. Ia pun tak berkata apa-apa setelahnya. Mas Zaidan langsung pergi keluar kamar dan aku hanya bisa menitikkan air mata melihat punggungnya menghilang di balik pintu kamar yang tertutup. Keesokan harinya kami pun pamit pada orang tua Mbak Risa. Interaksi kami sedikit canggung, namun mencoba terlihat normal di depan mereka. Malam harinya, kami pun tetap diam dengan aktivitas masing-masing meski raga kami berada di ruangan yang sama. Kamar kami. Eh? Bolehkah aku menyebutnya kamar kami? Sedangkan kamar ini penuh dengan kenangan Mas Zaidan bersama Mbak Risa. Tetiba Mas Zaidan berdehem memecah keheningan diantara kami. “Ekhem, hmm ... Ela, ada yang mau saya sampaikan ke kamu,” ucapnya. Aku yang sedang asyik dengan tab di tanganku pun menoleh ke arahnya. “Ya, katakan saja, aku denger kok,” ucapku. Kulihat dia agak sedikit gugup. Hmm, lelaki seperti dia bisa gugup juga ternyata. “Ini tentang kejadian malam itu, anggap saja tidak pernah ada. Ah, atau anggap saja sebuah kesalahan. Saya minta maaf telah lancang.” Tanganku yang mengotak-atik tab langsung berhenti mendengar ucapannya. Hah? Kesalahan katanya? Hatiku perih mendengar suami yang meminta maaf karena telah mencium istrinya, padahal sepasang suami istri telah dihalalkan oleh agama untuk bersentuhan fisik, parahnya lagi ia menganggap itu sebuah kesalahan. Aku sekuat tenaga menahan air mataku agar tidak jatuh. Baiklah suamiku, aku akan ikuti semua keinginanmu, batinku. Aku menatap wajahnya sambil mengulas senyum tipis, “Baiklah, dimaafkan, Mas.” Setelah mengucapkan tiga patah kata itu aku pun bersiap siap untuk tidur. Ya aku memutuskan untuk segera tidur, agar aku tidak menangis, lagi. Flashback off “Woi, Teh!” “Astaghfirullahal’adzim!” ucapku kaget. Adikku Mira menyadarkanku dari lamunan. “Lagian sih, ngelamun aja.” “Sok tahu kamu, teTeh lagi mikirin buat desain baru nih,” elakku padanya sambil membolak-balik buku sketsa di tanganku. “Hmm ... “ adikku menatapku dengan curiga, “aku bukan baru kenal sama Teteh kemaren sore ya. Rumah tangga baik-baik aja kan, Teh?” tanyanya. Hmm, anak ini tahu aja kakaknya sedang pusing memikirkan rumah tangganya ke depan akan berjalan seperti apa. Aku pun menatapnya sambil tersenyum dan berkata, “Alhamdulillah baik kok.” “Kalo ada masalah, cerita sama aku ya, Teh. Ya emang sih aku belum berumah tangga, tapi setidaknya bisa sedkit mengurangi beban Teteh. Aku bakal jadi pendengar yang baik.” “Iya…iya. Eh, jam berapa sekarang?” tanyaku sambil mengalihkan topik pembicaraan agar tak terfokus pada urusan rumah tanggaku. “Jam setengah dua belas, Teh.” “Beli makan siang dong, laper nih, hujan-hujan gini bawaannya laper terus,” pintaku. “Nah itu, makanya aku kesini mau ngajakin teteh makan siang. Tadi aku udah order soto, yuk kita makan!” ajaknya. “Alhamdulillah, adekku satu ini emang pinter banget beli soto, pas sama cuacanya,” ucapku sambil bangkit bersamanya menuju pantry. “Eits…siapa dulu dong,” ucapnya. Kami pun tertawa sambil berjalan menuju pantry. === Aku tiba di rumah sehabis isya. Semenjak aku menikah aku belum pernah pulang lebih dari jam 19.00, karena aku sadar peranku sebagai seorang istri dan ibu sekarang. Sebelumnya aku sudah mengirimkan pesan pada Mas Zaidan bahwa aku akan pulang terlambat karena faktor hujan deras dan juga tadi butik kedatangan beberapa klien yang minta dibuatkan gaun pengantin dan seragam pernikahan untuk keluarganya. Yah, sayangnya pesanku itu hanya dibaca tanpa mendapat balasan apapun. Setelah mengucapkan salam, aku pun bergegas menuju kamar untuk mengganti bajuku yang basah di beberapa bagian karena menerobos hujan saat berjalan dari mobil ke teras rumah. Aku kaget mendapati Mas Zaidan yang sudah tiba di rumah terlebih dahulu sedang menggendong Attar yang menangis rewel ditemani Bi Marni. Aku pun bergegas menghampirinya. “Attar kenapa, Mas?” tanyaku. “Attar tetiba demam dari sore Bu, sampai sekarang rewel terus.” Bukan suamiku yang menjawab, tetapi Bi Marni. Mas Zaidan masih sibuk menenangkan Attar yang rewel di gendongannya. “Sini coba aku yang gendong, Mas,” pintaku pada Mas Zaidan. Ia pun menoleh ke arahku dan menatapku dari ujung kepala sampai ujung kaki kemudian berkata, “Ganti dulu bajumu, nanti anakku tambah sakit lagi digendong dengan baju yang basah,” ucapnya datar namun tajam. “Oh, iya.” Aku pun cepat mengambil baju ganti di lemari dan masuk ke kamar mandi. Setelahnya aku langsung mengambil alih Attar dari gendongan Mas Zaidan dan mulai menimangnya sayang sambil melantunkan shalawat. “Sepertinya Attar demam mau tumbuh gigi deh, Bu,” ucap Bi Marni. “Oh, iya gitu, Bi?” tanyaku yang belum berpengalaman soal mengatasi bayi yang sakit. “Iya, bibi ngiranya sih gitu, pengalaman pas sama Qia dulu gitu, lagian juga pas sama usianya Attar yang harusnya memang sudah mulai tumbuh gigi.” Aku pun hanya mengangguk-anggukan kepala sambil terus menimang Attar. Lama-kelamaan rewelnya Attar mulai mereda namun demamnya belum turun setelah diukur dengan thermometer khusus. Aku, Mas Zaidan dan Bi Marni pun khawatir. Mas Zaidan kemudian menyuruh Bi Marni untuk mengambil kompresan air hangat. “Sini Ela, biar saya yang gendong Attar saja. Lebih baik kamu makan malam saja dulu. Pasti belum makan, kan?” tanyanya. Ada sedikit kebahagiaan menyeruak di d**a mendengar sedikit perhatiannya untukku. Namun, cepat aku menjawab, “Mana bisa aku enak makan kalo Attar kaya gini? Emang aku ibu macam apa coba?” Kulihat Attar mulai terlelap meskipun mata kecilnya belum menutup sempurna. “Dan ibu macam apa juga yang meninggalkan anak-anaknya di rumah, asyik bekerja sampai malam. Saya kasih izin kamu bekerja di butik asal bisa bagi waktu dengan anak-anak,” ucapnya. Ya Allah, aku tidak ingin berdebat dengannya di saat anaknya sedang sakit. Sebelum aku pergi ke butik tentunya aku sudah memastikan segala keperluan Qia dan Attar aman dan mereka dijaga oleh pengasuh yang juga terpercaya. Lagian tidak mungkin aku meMbakwa Qia dan Attar di saat cuaca hujan seharian kan? Tidak kehujanan saja mereka bisa sakit. Aku hanya beristighfar dalam hati tanpa membalas perkataannya. Tak lama kemudian Bi Marni masuk membawa kompresan air hangat dan juga Qia. Qia terlihat menangis sesenggukan. “Ayaaahhh…hiks…hiks.” “Qia kenapa, Sayang?” tanya Mas Zaidan lembut. “Qia takut tidur pas hujan Yah, temenin Qia tidur,” ucapnya sambil menarik-narik ujung baju ayahnya. “Kak Qia, adek Attar lagi sakit, Sayang. Ayah harus jagain adek, Kak Qia sama Bi Marni dulu ya?” bujuknya. “Hiks…hiks…nggak mau..mau sama Ayah aja,” tangisnya semakin keras. Aku takut Attar yang sudah susah payah kubuat terlelap bangun kembali karena mendengar suara tangisan kakaknya. “Udah Mas, Mas temenin Qia aja. Biar aku sama Bi Marni jagain Attar,” ucapku. Mau tak mau Mas Zaidan menuruti perintahku dan segera menggendong Qia kembali ke kamarnya. Aku dan Bi Marni mulai melepas baju Attar dan mengelap tubuhnya dengan air hangat kemudian memakaikan pakaian yang terbuat dari katun agar mudah menyerap keringat, kemudian Bi Marni mengganti air kompresan dengan yang baru dan membuatkan s**u formula hangat untuk Attar. Alhamdulillah, Attar mau meminum s**u sambil dibaringkan di tengah tempat tidur untuk dikompres dahinya. Lama-kelamaan susunya pun habis dan ia terlelap tidur. Namun aku tak bisa cepat merasa lega karena takut sewaktu-waktu suhu badannya naik lagi. “Kalo sampai besok masih demam sebaiknya dibawa ke dokter aja, Bu,” saran Bi Marni. “Iya Bi, saya juga mikirnya begitu,” ucapku sambil memandangi Attar yang terbaring. “Wah, ibu ternyata punya rambut yang bagus ya,” ucap Bi Marni tetiba. Apa? Rambut? Jadi sedari tadi ada Mas Zaidan aku tidak pakai jilbab? Pasti gegara aku terburu-buru berganti pakaian dengan panik sehingga lupa mengambil jilbab bergoku di lemari. Ah ya sudahlah, pikirku. Aku hanya bisa tersenyum menanggapi perkataan Bi Marni. Karena Attar sudah tenang, aku pun menyuruh Bi Marni untuk beristirahat setelah aku melaksanakan sholat isya yang terlambat aku tunaikan. Sehabis sholat, aku  berdoa untuk kesehatan keluargaku, terutama untuk kesembuhan Attar saat ini. === Aku terbangun dengan posisi duduk di ranjang dengan punggung bersender pada kepala ranjang dan dengan sebuah selimut. Tunggu dulu! Seingatku aku tidak menyelimuti diriku. Apa mungkin Mas Zaidan? Ah entahlah. Aku segera mengecek suhu tubuh Attar dengan tanganku. Alhamdulillah demamnya sudah turun, suhu tubuhnya sudah normal setelah aku memastikan kembali menggunakan thermometer. Tadi malam Attar sempat beberapa kali terbangun dan aku harus menimang-nimangnya agar terlelap kembali. Aku melihat jam menunjukkan pukul empat pagi. Masih ada waktu setengah jam lagi sebelum subuh, aku memutuskan untuk melaksanakan shalat tahajud, berterima kasih pada Allah karena sudah mendengarkan dan mengabulkan doaku. Setelah beres sholat subuh, aku memastikan Attar yang mulai nyaman dan lelap dalam tidurnya, mungkin karena semalam tidak bisa tidur dengan nyenyak karena beberapa kali terbangun. Begitu juga denganku, kepalaku agak sedikit pusing karena beberapa kali terbangun untuk menenangkan Attar. Ternyata begini perjuangan seorang menjadi ibu, tidak bisa tidur lelap ketika ada salah satu anggota keluarganya yang sakit. Aku pun menguap beberapa kali tanda masih mengantuk. Untuk menghalau rasa kantuk yang mendera, aku mencoba tilawah. Setelah membaca beberapa lembar, rasa kantuk itu tak hilang juga, malah semakin bertambah. Aku tahu tidur setelah subuh itu tidak baik, namun mataku sangat berat kali ini, sulit diajak kompromi hingga akhirnya aku kalah oleh rasa kantuk dan tertidur di samping Attar. === Aku mengerjapkan mata menyesuaikan dengan cahaya yang masuk. Setelah terdiam beberapa saat, aku mengubah posisi menjadi duduk kemudian melihat jam dinding. Astaghfirullah! Jam delapan pagi! Aku kebablasan dua jam.  Aku melihat Attar yang mulai menggeliat bangun. Aku kembali mengecek suhu tubuhnya. Alhamdulillah, suhu tubuhnya normal. Aku pun merapikan Al Quran dan mukena karena aku tertidur masih dengan menggunakan mukena dan Al Quran di tanganku. Tak lama kemudian Bi Marni masuk ke kamar membawa air hangat dan waslap untuk mengelap tubuh Attar dan sebotol s**u formula juga bubur bayi. “Aduh, maaf saya kesiangan ya, Bi.” “Gak apa-apa Bu, wajar. Ibu pasti kecapekan begadang jagain Attar, sekali-kali bangun siang gak apa-apa kok, Bu.” “Mas Zaidan sama Qia udah berangkat ya, Bi?” “Iya, sudah berangkat dari tadi, Bu.” Hah, julukan sebagai istri apalagi yang akan aku terima dari Mas Zaidan yang akan aku terima nanti. Ya Allah, kuatkan hati hamba. Aamiin.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN