18: Talk Men to Men

1191 Kata
Sikap Richard yang semakin dingin menjelang hari pernikahan membuat Mia bertanya-tanya terus. Ia tak tahu sebab ada perubahan apa yang terjadi pada Richard, yang ia tahu adalah semuanya setelah foto prewedding hari itu. Mia bahkan berulang kali datang ke rumah Richard hanya agar mencari informasi mengenai sikap Richard yang dingin, lebih banyak diam, suka marah-marah dan gelisah. Richard tak peduli dengan apa yang dilakukan oleh Mia di rumahnya, baginya tak ada yang spesial sama sekali. Ia tahu ia akan menikah dengan Mia dan ia akan melakukan itu karena mencintai gadis tersebut, tapi entah mengapa bayangan Yura selalu muncul di otaknya. Itu sebabnya Richard selalu uring-uringan belakangan ini, membuat para staffnya terkadang takut sendiri melihat Richard yang demikian. Akhirnya sahabat Richard dari SMA yang juga menjabat sebagai pemimpin departemen penjualan mendatanginya sore itu setelah Richard menghadiri rapat umum para pemegang saham. Lelaki tampan berkacamata itu mengetuk ruangan Richard, Richard menyahut dari dalam ruangan dan segera ia masuk bersama denganap biru laporan hasil penjualan minggu ini yang ia bawa hanya untuk dijadikan basa basi saja. Lelaki berkacamata itu berjalan menuju meja Richard dimana Richard sendiri sedang sibuk meninjau ulang laporan keuangan yang diserahkan kepadanya. Semua pekerjaannya harus sudah beres dan oke sebelum pernikahannya digelar. "Maaf, Pak, mengganggu. Ini saya bawakan laporan hasil penjualan minggu ini." kata lelaki itu seraya menyerahkan map biru di atas meja yang membuat Richard akhirnya mendongakkan wajahnya dan menatap ke arah temannya dengan tatapan heran sekaligus aneh. "Masih seminggu. " kata Richard seraya menerima laporan itu dan membukanya. Laporan berbentuk kurva itu menarik perhatiannya dan ia menatap bawahannya yang sekaligus rekannya itu dengan rasa penasaran yang membuncah di dadanya. "Ada yang mau disampaikan?" tanya Richard pada rekannya setelah ia menatap santai lelaki berkacamata tersebut. "Mau ngopi sepulang kerja?" tanya lelaki berkacamata itu. Richard tersenyum tipis dan mengangguk kemudian. "Gue tunggu di lobi perusahaan." imbuhnya dan Richard kembali mengangguk. Lelaki itu berbalik dan hendak melangkahkan kaki keluar dari ruangan Richard. "Bagas!" panggil Richard dan lelaki itu menoleh lagi ke arah Richard. Richard berdiri dari kursinya. "Sekarang aja!" kata Richard lagi sembari berjalan ke arah Bagas, merangkulkan tangannya ke bahu kiri Bagas ketika sudah sejajar dengannya dan mereka berjalan beriringan kemudian. "Tapi, ini belum waktunya keluar kantor. Belum jam pulang." "Kurang sepuluh menit aja." timpal Richard. "Apa perlu naik tangga darurat aja?" tawar Richard kemudian yang langsung ditanggapi gelengan kepala oleh Bagas. "Big No!" sahut Bagas. "Lantai paling atas ke lantai paling bawah dan lo ngajakin jalan kaki? Absoluty, No!" kata Bagas yang kembali mengundang senyum Richard. Mereka memasuki lift yang khusus digunakan oleh para eksekutif perusahaan hingga tak perlu menunggu lebih lama lagi atau mengantre. Tak berselang lama mereka sampai di departemen penjualan dan Richard menunggu Bagas di luar lift, sedang Richard mempersiapkan diri dan mengemasi Barang-barangnya di kantornya. Ketika ia sudah keluar dari kantornya, jam tepat menunjukkan pukul empat sore, ia tersenyum kecil dan berjalan ke arah Richard kemudian. "Lo bener!" kata Bagas. "Dan lo lama kek perempuan!" "Gue kan harus beresin meja gue, ambil flashdisk setelah gue yakin data gue ke simpen semua dan matiin komputer. Emang gur Harry Potter yang bim salabim langsung selesai?" tanya Bagas sebal. "Udah! Ayok! Keburu gue pulang." "Lagak lo buru-buru pulang udah kayak pengantin baru aja." timpal Bagas sekali lagi yang disambut dengan tawa oleh Richard. Sampai di luar perusahaan Richard, mereka disambut oleh sopir Richcard yang telah siaga. Richard meminta kunci mobilnya dari sang sopir dan memberitahunya bahwa ia akan pulang malam, mendengar itu Bagas menautkan kedua alisnya. "Pulang malam?" "Kita ke Bar, gue butuh minum bukan kopi." kata Richard lagi. Bagas mendengarnya dengan sangat heran tapi ia mengikuti saja ke mana Richard pergi. Mereka sampai di bar sejam lebih lima belas menit karena terjebak macet ditambah jam pulang kerja karyawan yang membuat jalanan terasa penuh sesak. "Lo beneran mau minum?" "Sampai mabuk." jawab Richard. "Perlu dugem?" lanjut Bagas bertanya dan Richard mengangguk pasti. "Ckckck, emang lo kenapa sih? Seminggu lagi lo nikah, Bro!" kata Bagas. "Dan seharusnya lo udah ngajuin cuti ke perusahaan bukannya malah tambah gila kerja!" imbuhnya. "Gue suntuk di rumah." "Gegera nyokap tiri lo?" "Kelakuan anaknya juga." "Dan lo tetep acuh aja, kan?" "Buat apa gue urusin, lo tahu bokap gue cinta sama bininya dan gue gak mau bokap gue sedih kalau ada ribut di rumah. Jantungnya lemah." "Emang anak penurut lo. Disuruh sekolah, ya sekolah rajin, disuruh kerja di perusahaan bokap lo ya kerja meski lo gak suka dan sukanya ngatlet, disuruh nikah ya nikah." "Orang tua lo masih lengkap, kalau udah kayak gue, gak jauh beda deh bakalan." "Emang dari dulu empati lo gede aja, Bro." "Nggak. Buktinya gue mutusin Yura." "Dan lo nyesel amat, kan?" "Banget!" "Tapi syukurlah lo udah ada Mia. Gue lihat tuh cewek bucin banget ke lo." "Kayaknya." "Bisa Bundir kalo lo tinggalin." "Jangan sampai deh." kata Richard sembari meneguk botol bir anker di depannya dan kembali bayangan Yura yang melambai dibenaknya bukannya Mia. "Prepare pernikahan ini yang bikin lo kesel banget sampek emosi di perusahaan?" "Emang gue emosi? Kagak lah." "Yah emang lo pasti gak nyadar, mana ada orang yang suka marah-marah ngaku kalau dia hobi marah-marah? Pegawai lo ngeluh terus tuh akhir-akhir ini dan gue cuma bilang lo lagi demam pernikahan." "Gue rasanya mau give up dari pernikahan ini, Bro!" "Gila lo!" kata Bagas terkejut hingga ia membelalakkan matanya karena heran sekali dengan apa yang baru saja sahabatnya katakan. Bagas mengira Richard hanya bercanda, tapi melihat ekspresi Richard yang datar sembari ia yang sangat intens meneguk birnya, ia tahu ucapan sahabatnya itu bukanlah main-main. "Are you seriously?" tanya Bagas sekali lagi. "Kalau lo batal nikah, jangan nyesel kalau Mia gue embat. Dia model, Om! Pinter pula!" kata Bagas memuji Mia yang ditanggapi lirikan tajam oleh Richard. "Trus tunangan lo mau dikemanain?" "Poligami, lah. Kan lagi tren tuh saat ini." jawab Bagas. "Gila lo!" "Ha ha ha ha. Lagian emang kata orang nieh ya, menjelang pernikahan itu ada aja deh masalahnya. Bahkan ada yang batal nikah lo." kata Bagas yang membuat Richard langsung menoleh ke arahnya dengan tatapan tak percaya sama sekali. Ia benar-benar kaget. "Beneran! Gue gak bohong. Sepupu gue ini ya, dia udah mau nikah eh ketemu mantannya. Cinta pertamanya yang hilang tanpa jejak, sekalinya tahu alasan cinta pertamanya pergi kenapa darinya, ia memutuskan kembali ke mantan pacar dari pada nikah. Trus ada lagi yang gegara perkara seserahan itu batal nikah, cewek mintanya apa, cowok sanggupnya apa, gak nyambung, batal deh. Padahal tinggal dua minggu lagi dan undangan juga udah disebar. Bayangin deh gimana perasaan bokap dan nyokapnya, hancur banget pastinya, kan? Trus ada lagi yang batal cuma gegara adat istiadat. Udah pacaran lama, nabung buat nikah eh kebentur tradisi dan akhirnya batal." kata Bagas panjang lebar. "Nah, sekarang gue tanya, apa yang buat lo jadi uring-uringan dan bahkan lo kepekiran mau batalin nikah sama cewek lo." tanya Bagas. Richard memandangnya sejenak, ia ragu-ragu sebenarnya. "Kali aja gue bisa ngasih lo solusinya."Imbuh Bagas perhatian. "Gue ketemu Yura." kata Richard pelan. Bagas diam meski terkejut tapi ia menunggu dengan sabar apa yang bakalan dikatakan Richard lagi. "Parahnya, dia Tim WO wedding gue dan Mia. Dan baru gus tahu kalau Mia sahabatnya Yura saat mereka masih SMA." tutur Richard. "What???"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN