6. Tak Seharusnya Memikirkan yang Lain

1181 Kata
Glen hampir saja terlelap dalam tidurnya, kalau saja Nandira tidak bermain dengan kancing bajunya. Sudah 10 menit berjalan, tapi gadis itu belum juga terlelap, malah memainkan kancing piyama Glen dengan jari telunjuknya. Glen membuka matanya dan menyadari istrinya itu belum tidur. "Kinaan sayang belum tidur?" tanyanya dengan suara serak. Nandira yang kepalanya terbaring di atas d**a Glen langsung pura-pura tidur. Dia pikir suaminya itu sudah tertidur pulas. Glen meraih kepala Nandira untuk melihat mata gadis itu, dia ingin memastikan sendiri kalau istrinya sudah tidur atau belum. "Heh, udah tidur apa belum?" bisiknya sebab merasakan Nandira yang susah tidur. Perlahan Nandira membuka matanya. Dapat dia lihat mata suaminya yang sayu dan sudah merah sebab ngantuk. Nandira merutuki dirinya yang tidak bisa tidur dan malah mengganggu suaminya. "Maaf aku ganggu. Aku gak bisa tidur," ucapnya. "Kenapa?" tanya Glen. Nandira tampak enggan menjawab. Padahal Glen sudah berusaha menahan kantuknya untuk mendengarkan gadis itu. Glen bisa melihat raut wajah Nandira yang tampak sedang memikirkan sesuatu. "Mikirin apa?" tanya Glen. Nandira sudah ingin menjawab sebelum Glen berbicara lagi. "Tentang siapa?" tebaknya, seolah mengetahui isi kepala istrinya. Mendengar suara Glen yang seperti menginterogasi membuat Nandira menggelengkan kepalanya. Mungkin tak sepatutnya dia menceritakan tentang hal itu. Namun, apa Glen tahu apa yang terjadi padanya sebelum dia kembali ke Indonesia? Mungkin pun Glen belum tahu kalau Marcel sudah menjadi mualaf. "Jangan bohong," tegasnya meski dengan suara kantuk. "Kamu mikirin siapa...!" "Aku cuma ... " "Cuma apa?" "Tapi janji jangan marah," ucap Nandira bernegosiasi. Mendengarnya, tiba-tiba saja rasa kantuk Glen hilang. "Emangnya kamu lagi mikirin sesuatu yang akan buat aku marah?" tanya Glen serius. Nandira melihat sorot tajam pada mata itu. "Sudah deh nggak jadi, aku mau tidur," ucapnya sambil memejamkan mata dan mencari posisi nyaman. "Nggak." Glen mencegahnya. "Kamu gak boleh ninggalin aku dengan rasa penasaran yang buat aku menerka-nerka. Katakan sekarang," titahnya sambil mengangkat wajah Nandira yang ingin bersembunyi di antara lengannya. Nandira menyesal sebab memikirkan hal itu. Tak sepatutnya dia memikirkan lelaki lain sampai membuatnya tidak bisa tidur. Sedangkan di sini suaminya sangat menyayanginya. "Kamu tau Marcel udah jadi mualaf?" Akhirnya Nandira membuka suara. Glen menghela napasnya, seketika raut wajahnya mencair. "Jadi dari tadi kamu mikirin itu?" "Kamu udah tau ya," kata Nandira. "Aku tau Kinan. Bahkan aku udah tau kalau dia sempat ingin mengkhitbahmu. Terus apa yang jadi pikiran kamu sekarang?" "Aku cuma ngerasa bersalah," cicitnya. "Kenapa? Kamu nyesel nikah sama aku?" tanya Glen, tampak keseriusan di wajahnya. Nandira mengerutkan keningnya lantas menggeleng cepat. "Nggak, aku gak nyesel." Untuk beberapa saat hanya ada tatapan tersirat antara mereka. Nandira dapat merasakan mata Glen yang menembus tajam sampai pada isi kepalanya. Mata lentik itu tampak menatap penuh selidik dengan wajah seriusnya. "Maaf," ucap Nandira sambil beringsut ke dalam pelukan Glen. Dia benar-benar telah menyesal sebab memikirkan sesuatu yang tak seharusnya dia pikirkan. Apalagi jika sesuatu itu adalah hal yang membuat suaminya marah. "Sudah tidur. Aku tidak mau istriku memikirkan laki-laki lain sampai membuatnya tidak bisa tidur." Meski sedikit kecewa, Glen tetap bersabar dan memberikan kenyamanan untuk Nandira. Dia pikir istrinya itu memang makhluk yang sangat perasa, apalagi jika merasa bersalah. Namun dia tidak ridho kalau istrinya memikirkan lelaki yang tidak halal baginya. "Hiks," isak Nandira, yang tidak tahu kapan dia memulai tangis. Glen yang sudah kembali terpejam mengusap-usap kepala gadis itu, yang menyembunyikan wajah di tubuhnya. Nandira menangis sebab menyesal telah membuat Glen marah. Dia tahu jika suaminya itu sedang kecewa. Terbukti dengan Glen yang tidak mendiamkan tangisannya. "Udah diem," ucap Glen pada akhirnya. "Jangan marah," cicit Nandira. "Iya," jawab Glen singkat. "Bohong," kata Nandira. Tak ada jawaban dari Glen. Hal itu membuat Nandira tambah sedih, isak tangisnya malah makin menjadi-jadi. "Hiks... huhu... hwee... hiks." Glen menggaruk belakang lehernya yang tak gatal dengan mata lengket sebab kantuk. Suara Nandira memanggilnya untuk bangun, tapi rasa kantuknya tak bisa terkalahkan. "Udah dong, Kinan, aku ngantuk, besok aja kalo mau nangis," racau Glen. Bukannya diam, Nandira malah tambah menangis. "Masya Allah...!" Glen mendekap Nandira erat untuk meredam suara tangisnya. Ini hal yang lumrah mungkin bagi gadis itu. Yang Glen tahu, Nandira memang cengeng dari bayi. "Aku malah marah kalau kamu gak mau diem," ancam Glen. Seketika suara tangisnya berhenti. Namun, meskipun begitu, sisa isak tangis masih terdengar dari Nandira. Glen tertawa kecil menyadari ancamannya yang ternyata sangat ampuh. "Ya Allah, istriku ini sedang manja, tapi suaminya udah ngantuk," ucap Glen sambil menepuk-nepuk kepala gadis itu pelan, persis seperti balita yang ditinggal ibunya ke pasar. Nandira mengusapkan wajahnya pada kain piyama yang dipakai Glen. Dia menghentikan tangisnya setelah sadar kalau suaminya itu benar-benar mengantuk. Tidak ingin membuat Glen terganggu lagi, Nandira segera tidur dan melepas segala pikiran dan penatnya. Seharusnya dia bersyukur memiliki suami yang sangat baik dan sabar seperti Glen. *** Ting tong ting tong Nandira yang sedang memasak mendengar Glen sudah berjalan menghampiri pintu. Alamatnya mereka akan kedatangan tamu. Glen membuka layar di dekat pintu untuk melihat siapa yang datang. "Siapa Sayang?" tanya Nandira. "Kak Gilang dan keluarga," jawab Glen cekikikkan. "Kamu siap-siap dulu sana, pake kerudung," suruh Glen. Tanpa berlama-lama lagi, Nandira segera menuju kamar untuk mengenakan kerudung. Setelah itu dia langsung keluar dan menghampiri tamu yang datang. Seketika suasananya jadi ramai. "Masyaallah, calon ibu makin cantik aja," puji Kak Giya saat melihat Nandira datang. Nandira tersenyum menampakkan deretan giginya. "Apa kabar, Teh?" ucap Nandira sambil menyalami tangannya. "Alhamdulillah, baik. Kamu gimana kabarnya?" "Alhamdulillah juga, Teh. Sebentar ya, Teh, Nandira ambilin minum." Nandira kembali ke dapur untuk membuat minum. Beruntung masakannya tadi sudah matang. Mereka bisa langsung makan bersama setelah ini. Nandira kembali ke ruang tengah dengan nampan berisi minum dan camilan. Dia ikut bergabung dengan mereka yang sedang asik mengobrol. "Minumnya Kak Gilang, Teh Giya," kata Nandira sebelum duduk di samping Glen. "Repot-repot, Nan," ucap Kak Gilang dengan cengiran khas, mirip seperti Glen. Dia langsung mengambil gelas berisi teh hangat lalu menyeruputnya. "Eh, Geyo, sini. Katanya mau ketemu kakak cantik," ucap Glen pada Geyo yang masih malu-malu untuk menghampiri Glen dan Nandira. Dengan wajah yang memerah malu Nandira memukul paha Glen pelan. Kak Gilang dan Teh Giya tersenyum sambil melihat buah hati mereka yang tampak bersandar malu. Geyo melendot di kaki uminya sambil menguwel-uwel gamis yang dipakai uminya. "Tuh, sana." Kak Gilang meraih tangan Geyo agar bocah itu berjalan ke sofa di depannya. Dengan langkah lambat Geyo melipir, lalu berlari ke pangkuan Glen ketika jaraknya sudah dekat. Mereka semua tertawa melihat tingkah bocah itu. Glen membawanya ke pangkuan, lalu mengenalkannya pada Nandira. "Ayo kenalan. Halo kakak cantik, namaku Geyo." Glen menyuruh Geyo berkata seperti ucapannya. Nandira terkekeh sambil menutup mulutnya. Geyo tampak malu, tapi akhirnya bocah itu berkata seperti yang Glen suruh. "Halo kakak cantik namaku Geyo," ucap bocah itu cepat, membuat semua yang ada di sana tertawa. "Halo Geyo, adik manis, udah sekolah belum?" tanya Nandira meniru nada bicara Glen tadi. Geyo tampak mendongak melihat ke arah Glen. "Oom, Geyo ganteng apa manis?" tanya bocah itu. Sekali lagi, semua orang dibuat tertawa olehnya. Ada-ada saja bocah kecil itu. Pasti Glen yang ngajarin, pikir Nandira. "Ooh, ganteng dong, kayak Oomnya," ucap Glen yang mendapat protes dari Kak Gilang. Sedangkan Nandira dan Kak Giya tertawa sebab mendengar dan menyaksikannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN