“Cobalah pahami kondisi ini!” perintahku pada diriku sendiri.
Aku cerdas dan aku tahu selama ini kecerdasanku itu yang membantuku sampai ada di titik ini. Masa iya aku tidak bisa menggunakan kecerdasanku itu untuk memahami kondisiku sekarang?
Terus dan terus aku memikirkannya, sampai aku merasa lelah. Aku membaringkan tubuhku di atas ranjang dan menatap langit-langit kamarku.
"Apa penyebab mata bisa melihat warna pada tubuh orang lain?" gumamku bertanya-tanya sendiri.
Kembali aku mengulangi pertanyaan yang sama dengan mulutku dan bersamaan dengan itu, aku tidak sengaja menindih telepon pintarku. Smartphone itu berbunyi berdenting dan mengulangi kata-kata yang kuucapkan sebelumnya.
Ya, fitur kepintarannya bisa melakukan apa yang kuperintahkan hanya dengan suara saja.
Tunggu … benar juga … kenapa aku tidak memikirkannya sejak awal? Aku bisa mencari penjelasannya di internet. Bukankah internet gudang segala informasi yang ada di dunia ini?
Cepat aku mencari di segala mesin pencari dengan pertanyaan yang sama.
"Apa penyebab mata bisa melihat warna pada tubuh orang lain?"
Banyak sekali penjelasan yang tidak dapat kumengerti awalnya. Namun lama kelamaan aku bisa menarik benang merah dari semua penjelasan yang ada. Hanya satu kata yang dapat menjelaskan warna-warna berbeda yang kulihat pada setiap orang.
Aura.
Aku melihat aura dari setiap orang yang kutemui, bahkan hewan sekalipun. Aku melihat warna aura mereka yang berjiwa. Bagaimana bisa? Lalu, kenapa aku?
*****
Pencarianku mendapatkan penjelasan yang lebih lengkap. Aku juga membaca buku-buku yang berkaitan dengan warna-warna aura yang kulihat. Selama aku menghabiskan jatah liburku untuk pemulihan, aku mendalami mengenai aura dan ragam warnya pada tubuh seseorang. Hingga akhirnya satu minggu kemudian aku kini mengenali apa yang kualami.
Aku dapat membaca aura dan kemampuanku membaca aura seseorang bukanlah hal yang berbahaya dan mengganggu penglihatanku. Sebaliknya, aku malah bisa memanfaatkannya untuk membantuku memahami orang disekitarku.
Berbekal pemahaman itu, aku pun mendapatkan kembali keberanian untuk bekerja. Aku siap menemui pasien kembali. Aku siap menjadi dokter spesialis bedah dan berprestasi di bidangku seperti yang kuharapkan!
Hari pertamaku kembali bekerja akhirnya tiba! Aku melangkah penuh semangat memasuki rumah sakit dan menuju ruang poli bedah. Semangatku saat ini bahkan melebihi semangatku pertama kali menginjakkan kaki di rumah sakit ini saat baru bergabung menjadi dokter spesialis bedah.
Aku melewati konter perawat di depan ruang poli, menyapa seorang suster yang sedang menunduk serius menekuni tumpukan berkas di depannya. Aku tidak perlu melihat wajahnya, dari warna aura merah muda familiar yang melingkupinya, aku langsung tahu bahwa itu Laura.
“Pagi ….” sapaku mencoba ramah mengingat terakhir kali komunikasi antara kami kurang menyenangkan.
“Dokter? Ternyata benar dokter masuk hari ini ya? Saya kaget waktu tadi mau ke arah ruang rawat malah diminta ke poli,” ucapnya riang dengan sorot mata begitu berbinar.
Pendar warna merah muda yang melingkupi tubuhnya pun terlihat berubah. Warnanya tetap merah muda tetapi begitu cerah, rasa-rasanya mataku bisa buta karena kilaunya.
“Hem,” jawabku singkat sambil ingin langsung berlalu masuk ke ruang periksaku.
Kupikir wanita itu tidak akan mengikuti sampai masuk karena jam pemeriksaan akan segera dimulai, namun pikiranku salah. Dia mengikuti masuk ke ruang poli dan kembali mencecarku dengan pertanyaan-pertanyaan.
“Bener udah sehat, Dok? Kalau belum ‘kan masih bisa minta cuti istirahat lagi,” ucapnya kemudian.
“Kamu nggak seneng saya udah sehat dan bisa masuk kerja?” tanyaku ketus menanggapi pertanyaannya yang aneh sebelumnya.
“Ih bukan! Saya seneng dokter udah sehat. Saya ‘kan khawatir,” ucapnya dan seketika itu juga mataku menangkap warna merah mudanya mendadak lebih pekat dan meredup.
Ternyata sejauh itu kemampuanku melihat dan membaca aura orang lain. Bahkan setiap perubahan suasana hati seseorang bisa kulihat dengan jelas. Ini begitu menarik!
“Sudah sudah. Ini sudah mau jam operasional. Kamu siap-siap panggil pasien sana!” titahku padanya karena sudah tidak ingin membahas lagi hal-hal yang lain. Entah mengapa perubahan warna auranya sejak tadi membuat perasaanku sedikit aneh. Entah aneh yang seperti apa! Aku belum bisa menjelaskannya.
Aku bahkan sempat melamunkan warna aura wanita itu dan perubahannya yang unik beberapa saat, sampai akhirnya ketukan pintu terdengar.
“Dok, sudah siap ‘kan? Saya panggilkan pasien pertama ya?” tanya wanita itu sambil memunculkan hanya kepalanya ke dalam ruanganku.
“Iya siap!” jawabku yakin dan memberinya kode dengan tangan menunjukkan tanda oke.
Tidak berselang lama kemudian, sayup-sayup aku mendengar suara wanita itu memanggil nama seorang pasien.
“Tuan Jared Aryo Suminto. Silahkan masuk ke ruang dokter,” ucapnya dan bersamaan dengan itu ruanganku terbuka.
Melalui pintu itu, sosok seorang pria dengan warna aura merah yang begitu gelap melingkupinya masuk.
“Permisi Dok,” sapa laki-laki itu dengan senyuman.
Dulu mungkin aku melihat senyuman itu seperti senyuman biasa saja, namun berbeda saat ini. Senyum yang ditunjukkannya selama beberapa detik itu menyebabkan warna auranya pun berubah menjadi merah kehitaman selama beberapa detik yang sama.
“Siapa laki-laki ini sebenarnya? Apa arti suasana tidak menyenangkan yang kualami ketika melihat auranya?” tanyaku dalam hati.
“Dok ….” panggilan perawat itu menyadarkanku dari lamunan.
“Iya kenapa?” tanyaku mencoba mengikuti kembali kondisi yang kuhadapi saat ini.
“Berikut berkas-berkas pasien. Oh iya dok, Pak Jared ini anggota dewan lho,” ucap Laura kemudian dan membuatku berjengkit heran.
“Anggota dewan?” ulangku tanpa disadari.
“Iya dok. Perkenalkan saya Jared Aryo Suminto, anggota dewan dari perwakilan daerah,” ucapnya menjawab pertanyaanku sebelumnya.
“Oh iya Pak. Silahkan duduk. Bagaimana keluhannya Pak?” tanyaku mencoba membangun pembicaraan sambil membaca-baca riwayat kesehatannya pada berkas yang kupegang.
“Saya sering merasakan nyeri di perut dok. Beberapa kali juga mual dan muntah. Jika aktivitas saya sedang padat, malam hari sering mengalami demam juga. Sepertinya kelelahan ya dok? Apa saya bisa disarankan untuk dirawat di rumah sakit hingga kembali pulih?” anggota dewan yang bernama Pak Jared itu menjelaskan gejala-gejala yang dialaminya.
Aku mengangguk sesekali sambil memperhatikan pasien yang berada di hadapanku kini. Kulitnya sedikit menguning. Warna kuning kulitnya begitu kontras dengan warna merah aura yang melingkupinya, yang sewaktu-waktu kemudian akan berubah warna ketika dirinya sedang berbicara.
Namun aku tetap bisa merasakan perubahan auranya setiap kali dia berbicara. Semuanya bisa membantuku mengenalinya, bahkan mendiagnosa kebenaran keluhan penyakitnya. Rasanya aku sial sekali sekarang! Aku tidak bisa mengingkari pengetahuan baru yang kuketahui dari kemampuan baru yang kumiliki kini. Aku mengetahui ada suatu rahasia yang disembunyikan pasien ini dengan alasan penyakitnya!
Apakah aku harus terlibat di dalamnya? Itukah gunaku memiliki kemampuan membaca aura ini?
to be continued