The Beginning
Malam minggu, mungkin hanya 1 dari 1000 laki-laki lajang yang menghabiskan malam minggunya di rumah sakit. Satu diantaranya adalah aku dan aku tidak merasa terpaksa melakukan ini. Tiga bulan yang lalu aku baru saja berulang tahun ketigapuluh. Berselang beberapa hari kemudian, aku pun meraih gelar dokter spesialis bedah yang dengan susah payah kudapatkan ini. Jadi malam minggu di rumah sakit tidak semenyedihkan itu, karena itu yang memang kuinginkan sejak dulu.
Ada satu jadwal operasi lagi yang harus kutangani, sebelum aku bisa kembali ke apartemenku dan memejamkan mata. Selayaknya setiap manusia, aku juga butuh istirahat. Seteah shift panjangku satu minggu ini, aku sudah mendambakan sekali tidur nyenyak malam ini.
“Jadi ayo kita selamatkan satu pasien terakhir malam ini dan selamatkan tidurku berikutnya,” gumamku menyemangati diri sendiri.
Langkah semangat membawaku memasuki ruang operasi. Bersiap dengan jubah operasi dan kelengkapan lainnya, aku pun memasuki ruangan di mana pasien dengan tangan yang patah tulang sudah terlelap di sana.
“Let’s start now,” ucapku menyemangati seluruh tim dan tanpa menunggu lama segera melakukan tindakan pada pasien.
Operasi berjalan sekitar 2 jam, sebelum akhirnya aku mengalihkan tugas ke PPDS (istilah untuk dokter yang sedang mengambil Program Pendidikan Dokter Spesialis). Aku memang beberapa kali membiarkan PPDS menyelesaikan operasi, namun tetap mengawasi di dalam ruangan. Namun malam ini berbeda. Beberapa menit sebelum aku memastikan operasi sudah berhasil, aku merasakan kepalaku begitu sakit.
Rasa sakitnya luar biasa, menekan dari dua pelipisku. Berusaha tetap fokus menyelesaikan operasi, memaksa kepalaku mengalahkan rasa sakitnya, membuat kini ketika aku berjalan keluar dari ruang operasi rasa sakitnya semakin tidak tertahankan.
Aku memegang sebelah kepalaku sambal melepas pakaian operasiku dan berjalan ke luar. Harusnya aku melangkah menuju lift yang ada di sisi kiri pintu ruang operasi dan menekan tombol ke atas. Ruanganku ada di atas sana. Sayangnya rasa sakit membuatku tidak dapat berpikir jernih dan malah melangkah ke sisi kanan.
Sebuah pintu darurat berwarna merah kini ada dihadapanku. Tanganku bergerak membukanya dan kakiku tanpa kuperintahkan membawaku masuk ke dalam. Aku mencoba memahami mungkin ini reaksi otomatis tubuhku yang ingin menuju basement melalui tangga darurat, karena ini cepat-cepat pulang.
Langkah kakiku pun menuruni tangga, seperti yang kuperkirakan tubuhku mengarah ke basement. Namun tidak berapa lama kemudian, kakiku terasa lemas. Seluruh tenaga tubuhku hilang begitu saja dan hal yang terakhir kuingat adalah tubuhku jatuh, terguling di tangga.
Tut … tut … tut ….
Bunyi yang tidak asing itu terdengar memekakan telingaku. Ya, itu bunyi alat pendeteksi detak jantung yang begitu kukenal.
Tunggu … apa itu artinya kini aku sedang berada di ruang operasi?
Aku mencoba membuka mataku, tapi rasanya begitu lengket. Sekuat tenaga aku mencoba, hingga perlahan-lahan cahaya mulai membutakan penglihatanku.
“Arghhh ….” geramku karena silau cahaya yang menyerbu mataku mendadak.
Aku mengerjapkan mataku beberapa kali, mencoba beradaptasi dengan cahaya yang masuk. Semua terlihat lebih jelas setelahnya, namun rasanya masih tidak nyaman. Aku pun mengerenyit lebih kuat, ketika merasa kepalaku sakit saat mencoba melihat lebih jelas.
“Awwww ….” Pekikku kini sambil menyentuh kepalaku yang ternyata sudah diperban.
Ah ya, aku baru saja jatuh dari tangga. Hal itu yang terakhir kuingat sebelum membuka mata di sini. Jadi itulah penyebab kepalaku dibebat perban seperti sekarang. Aku kemudian mencoba mendudukan tubuhku di atas ranjang rumah sakit ini.
Namun baru menyangga dengan satu tangan saja, seluruh tubuhku sudah merasakan nyeri luar biasa. Sakit sekali. Aku yakin kini seluruh tubuhku dipenuhi memar, sehingga bergerak pun sulit untuk dilakukan.
“Argghhhh ….” tanpa kusadari geraman kencang kukeluarkan karena kepalaku semakin sakit saat kupaksa angkat.
Saat itulah aku mendengar derap langkah kaki berlari mendekati kamarku.
“Dokter sudah sadarkan diri?” suara tanya itu membuatku mengalihkan pandanganku ke arah pintu.
Laura, wanita yang kukenal merupakan perawat yang membantuku di poli setiap hari terlihat memandangku penuh keterkejutan. Namun ada yang aneh dengan penglihatanku. Aku mengerjapkan mata berkali-kali, mencoba menormalkannya. Tidak ada yang berubah, tetap sama.
Terus aku mengerjap-ngerjap, sampai Laura yang sedang berjalan mendekat berhenti di sisi ranjangku tapi tidak ada yang berubah. Mata dan penglihatanku masih sama anehnya. Aku melihat wanita ini dilingkupi warna merah muda.
“Dok … dok … dokter kenapa?” pertanyaannya kembali terdengar.
Mungkin karena fokus dengan penglihatanku yang aneh, aku tidak menyadari bahwa dia sejak tadi bertanya padaku.
“A … apa?” tanyaku terbata-bata masih mencoba memproses apa yang sedang terjadi sebenarnya.
“Dokter Marteen Kenapa? Ada keluhan yang dirasakan? Saya panggilkan dokter jaga dulu ya, Dok?” tanyanya kembali padaku.
Aku yang sekarang hanya khawatir dengan keanehan di penglihatanku pun menjawab dengan anggukan. Setelah itu kulihat wanita itu pergi, bersama dengan warna merah muda yang melingkupinya.
Aneh, aku merasa ini sangat aneh. Jika memang mataku mengalami benturan keras dan pendarahan, sehingga melihat warna merah muda saat tadi melihat perawat itu, lalu mengapa ketika perawat itu pergi warna merah mud aitu pergi?
Bukankah harusnya aku tetap melihat apapun dengan warna merah muda karena pendarahan di mata?
Aku mencoba kembali melihat segala hal disekelilingku di dalam ruang rawat ini. Semuanya terlihat biasa saja, tidak ada warna seperti tadi melihat wanita itu. Apa ini artinya bukan mataku yang bermasalah? Apa mungkin wanita itu saja yang berwarna merah muda?
Sayangnya tebakanku salah. Aku menyadari tebakanku salah ketika Imran, salah satu dokter di rumah sakit tempatku bekerja ini masuk ke ruang rawatku. Saat itu, aku melihatnya masuk dengan dilingkupi warna biru dan dibelakangnya perawat itu muncul masih dengan warna merah muda melingkupinya.
“Marteen … sadar juga kau akhirnya!” ucap Imran sambil mendekatiku yang kembali berbaring karena pusing memikirkan kondisi aneh yang kualami kini.
“Kondisiku bagaimana?” tanyaku langsung tanpa basa-basi.
“Kondisimu? Kita bisa sebut ini keajaiban sepertinya. Dirimu akhirnya sadar juga setelah 3 hari. Jika seminggu saja dirimu tidak sadarkan diri, mungkin kita bakalan menerima kenyataan kau tidak terselamatkan,” ucap Imran kemudian membuatku terkejut.
“Hah? Maksudmu apa? Aku tidak sadarkan diri selama 3 hari?” ucapku mengulangi ucapannya yang membuatku terkejut.
Imran mengangguk cepat dan kemudian melanjutkan berkata, “Syukurnya dirimu sadar sekarang. Sebentar aku coba lakukan beberapa pemeriksaan dulu ya.”
Setelah itu Imran melakukan beberapa pemeriksaan di tubuhku, termasuk di area mataku.
“Kelihatannya kau sehat dan normal. Tapi aku tetap menyarankan untuk melakukan beberapa tes sebelum benar-benar keluar dari rumah sakit,” ucapnya.
“Apa yang sebenarnya terjadi padaku?” tanyaku frustasi.
to be continued