Adeline menatap ponselnya lalu mendengus kecil. Sejak semalam Rossa terus menghubunginya, membujuk agar mereka menemui Dave dan meminta maaf. Jika saja Adeline tidak tahu sifat asli Rossa maka ia pasti sudah termakan bujuk rayu itu dan mulai mengemis di kaki Dave.
"Sekarang aku membiarkanmu untuk memiliki pria b******n itu, Rossa." ucap Adeline penuh kemarahan lalu terkekeh pelan. Jalan Rossa untuk mendekati Dave mungkin tidak semulus dulu.
Tok tok
ceklek
"Sayang, kamu sudah siap?"
Adeline tersenyum lalu mengambil tasnya kemudian melangkah menuju pintu.
"Mama pergi arisan saja, Adeline nggak papa kok pergi sendiri ke rumah sakit." ucap Adeline membuat mama Rahma mengernyit tak suka.
Adeline tersenyum. Mamanya pasti berpikir ia berubah pikiran dan akan menemui Dave.
"Mama tenang saja. Adeline tidak akan menemui b******n itu." ucap Adeline meyakinkan.
"Lalu kenapa melarang mama ikut?" tanya mama Rahma kecewa.
"Adeline mau ke toko dulu, mah. Setelah dari rumah sakit juga, Adeline mau ke rumah Tya." jelas Adeline membuat mama Rahma akhirnya mengangguk.
"Baiklah sayang. Hubungi mama jika terjadi sesuatu." pesan mama Rahma yang langsung diangguki oleh Adeline.
Adeline keluar dari rumah dan melangkah memasuki mobilnya. Jika ditanya apa keluarganya kaya? Maka jawabannya iya, mereka kaya hanya saja jika dibandingkan dengan keluarga Dave, tentu saja mereka kalah jauh.
Adeline melajukan mobilnya menuju toko bunga. Hari ini, ia hanya mengecek keadaan di sana lalu pergi ke rumah sakit untuk periksa kandungan. Setelah itu ia akan ke rumah Tya. Tya adalah sahabatnya juga, mereka kenal sejak kecil karena bertetangga. Hubungan mereka merenggang setelah Rossa datang dan Tya juga pindah rumah.
Sungguh Adeline begitu sangat menyesali perbuatannya yang menjauhi Tya karena hasutan Rossa. Rossa selalu mengatakan bahwa hanya dirinyalah sahabat yang baik dan Tya tidak. Namun saat mendekati akhir hidupnya. Tya lah yang selalu ada dan membantunya sedang Rossa malah selingkuh dengan suaminya.
"Hah_ terima kasih sudah memberiku kesempatan ini, Tuhan." gumam Adeline lalu tatapannya tanpa sengaja melirik penjual buah di pinggir jalan.
"Kenapa tiba-tiba aku ingin makan mangga muda." ucap Adeline lalu menepikan mobilnya kemudian segera keluar mendekati penjual buah.
"Permisi pak, mangga mudanya ada?" tanya Adeline dengan air liur yang hampir menetes mungkin bawaan bayi hingga ia menjadi tidak sabar untuk memakan buah itu.
"Oh ada, itu neng. Buahnya segar. Baru di petik tadi pagi."
Adeline segera mengambil beberapa mangga muda dari keranjang kecil. "Ini berapa, pak?"
"30 ribu neng."
Adeline segera menyerahkan mangga itu untuk dibungkus lalu membuka dompetnya mengeluarkan uang 30 ribu.
"Ini pak, terima kasih." ucap Adeline lalu mengambil plastik berisi mangganya setelah menyerahkan uang.
Adeline kembali masuk ke dalam mobil lalu melajukannya dengan tenang. Beberapa saat dalam perjalanan, Adeline melihat ada seorang kakek yang melambaikan tangannya di pinggir jalan. Ada sebuah mobil sedan hitam di sampingnya. Adeline yakin mobil kakek itu sedang mogok atau bannya bocor.
Karena rasa kemanusiaan, Adeline berhenti lalu menurunkan kaca mobilnya.
"Mobilnya kenapa, kek?" tanya Adeline ramah.
"Bannya bocor, nak. Apa kakek bisa ikut? Kebetulan rumah anak kakek tidak jauh dari sini"
Adeline mengangguk lalu membuka pintu mobil.
"Terima kasih." ucap kakek itu setelah masuk ke dalam mobil.
Adeline kembali melajukan mobilnya. "Rumah anak kakek di mana?" tanya Adeline dengan pandangan fokus ke jalan.
"Lurus saja lalu di depan belok kanan. Masuk perumahan sentosa."
Adeline mengangguk dan diam.
"Ini mangga muda?"
Adeline menoleh lalu tersenyum. "Iya kek. Letakkan saja di belakang kalau kakek terganggu dengan aromanya." ucap Adeline membuat kakek tertawa.
"Mangga muda tidak ada aromanya." ucap kakek membuat Adeline ikut tertawa.
"Maklum kek. Ibu hamil. Penciuman lagi sensetif." ucap Adeline membuat kakek itu menoleh.
"Lagi hamil ya?"
"Iya kek. Baru dua bulan." ucap Adeline lalu mengelus perutnya. Anehnya kenapa juga ia harus terbuka kepada kakek di sampingnya. Bagaimana jika kakek itu orang jahat.
"Wah calon cucu menantu kakek juga sedang hamil." ucap kakek dengan raut wajah bahagia.
"Calon cucu menantu?" kaget Adeline. Berarti cucunya menghamili wanita sebelum menikah, sama seperti dirinya. Hanya saja beda nasib. Wanita itu beruntung karena ayah dari bayinya bertanggung jawab. Dilihat dari perkataan kakek saja sudah ketahuan mereka keluarga yang sangat hangat dan baik.
"Benar. Cucu kakek belum menikah. Maklum anak muda ha ha" tawa kakek diakhir kalimatnya membuat Adeline tersenyum.
"Wah bahaya tuh kek. Harus cepat-cepat dinikahin, takutnya kakek gagal dapat cicit." canda Adeline membuat kakek terdiam.
Keterdiaman kakek membuat Adeline merasa bersalah. Apa ia mengatakan sesuatu yang buruk. Kenapa wajah kakek menjadi tidak senang.
"Kek_"Panggil Adeline pelan.
"Kau benar, nak. Karena itulah kakek datang ke sini. Kakek tidak mau gagal dapat cicit."
Adeline mengangguk enggan untuk bertanya lebih jauh. Dari perkataan kakek sudah jelas ada masalah. Namun apapun itu Adeline harap semuanya bisa diatasi.
Adeline memutar setirnya memasuki kawasan perumahan sedang kakek menurunkan kaca mobil dan menyapa satpam. "Rumah anak kakek yang mana?" tanya Adeline bingung. Dan satu hal yang pasti, anak kakek itu pasti sangat kaya. Lihat saja rumah yang berada di perumahan ini. Sangat besar dan mewah.
"Itu yang pagarnya terbuka." tunjuk kakek membuat Adeline melajukan mobilnya memasuki halaman yang begitu luas dan indah.
Adeline menghentikan mobilnya lalu menatap ke arah kakek.
"Mau mampir dulu?" tawar kakek membuat Adeline segera menolak.
"Tidak kek. Terima kasih."
"Jangan sungkan. Ayo masuk! di belakang rumah, kakek punya kebun jeruk yang sedang berbuah."
Adeline menelan ludahnya kasar. "Jeruk?"
Kakek tertawa. "Iya. Bahkan bukan hanya jeruk, ada buah lain."
Adeline diam sesaat lalu mengelus perutnya. "Sepertinya tidak kek. Maaf tapi saya harus pergi ke rumah sakit." tolak Adeline lagi.
Kakek menggeleng. "Hanya sebentar. Ayo!" paksa kakek membuat Adeline mengalah. Jujur saja ia ingin mencoba jeruk di kebun kakek.
Adeline keluar dari mobil. Ia melangkah beriringan bersama kakek menuju pintu utama.
Ceklek
"Rossa." kaget Adeline. Kenapa Rossa keluar dari rumah mewah ini.
"Adeline." gumam Rossa yang juga kaget. Sedang kakek langsung menatap wanita di sampingnya.
'Adeline kan nama wanita yang mengandung anak Dave' batin kakek.
"A_apa yang kau lakukan di sini?" tanya Rossa panik sedang Adeline hanya memperhatikan tingkah Rossa.
"Aku yang harusnya bertanya, apa yang kau lakukan di sini? Dan rumah siapa ini?" tanya Adeline tajam.
Rossa hanya diam lalu seseorang muncul dari balik pintu.
"Tidak perlu berakting lagi." ucap Dave dengan wajah datar membuat tubuh Adeline membeku. Ini rumah Dave?
Dave menatap kakeknya. "Dengan mendekati kakekku, semua kedokmu langsung bisa terlihat." ucap Dave membuat Adeline diam namun ia terus menatap Rossa.
"Untuk apa kau di rumah Dave, Rossa?" tanya Adeline membuat Rossa menunduk.
"Maaf Adeline, tapi aku tidak bisa melihatmu sedih. Aku datang ke sini untuk meminta maaf pada Dave dan menceritakan semuanya."ucap Rossa membuat Adeline tertawa.
"Menceritakan semuanya. Memangnya apa yang kau katakan?" tanya Adeline keras.
"Ck! Tidak perlu berakting lagi."
"Diam!" bentak Adeline membuat Dave melotot. Berani sekali wanita itu membentaknya.
Sedang kakek hanya diam berusaha mencerna apa yang terjadi.
"Cepat katakan! Apa yang kau ceritakan pada pria b******n itu?" desak Adeline membuat Rossa segera menyentuh lengan sahabatnya.
"Adeline, aku__ aku hanya mengatakan kejujuran." ucap Rossa pelan.
Adeline melotot. "kejujuran apa?"
Rossa menunduk dengan isak tangis. "Maafkan aku Adeline. Aku hanya ingin yang terbaik untukmu."
Adeline tertawa. "Yang terbaik? Kau hanya memfitnahku Rossa. Fitnah." ucap Adeline tajam lalu menatap ke arah Dave.
"Dan kau Dave Cakrayasa, apa dengan semua kekuasaan yang kau miliki, kau bahkan tidak mampu mencari tahu kebenarannya. Apa begitu sulit bagimu untuk mencari tahu siapa yang mencampur minumanmu?" bentak Adeline membuat Dave diam sedang Rossa langsung menggeleng.
"Tenanglah Adeline, ingat bayimu." tegur Rossa membuat Adeline menyentuh perutnya.
"Aku sudah mencabut hak Dave sebagai ayah dari bayiku," ucap Adeline tegas lalu menatap Rossa tajam. "Dan sebagai sahabatku kau harus mengerti. Itu juga jika kau menganggapku sebagai sahabat." ucap Adeline lalu menghembuskan napas keras kemudian menatap kakek.
"Permisi kek." pamit Adeline lalu segera berlalu dari sana menuju mobilnya.
Kakek menatap Dave. "Adeline benar, cari tahu dulu kebenarannya sebelum menghakimi calon ibu dari anakmu." ucap kakek membuat tubuh Rossa menegang lalu dengan cepat berkata.
"Itu tidak perlu kek. Aku saksinya, Adeline melakukannya. Aku melihatnya." ucap Rossa cepat.
"Kau melihatnya tapi kami tidak." ucap kakek sinis lalu melangkah memasuki rumah.
Rossa menatap Dave. "Dave perca__"
Brakk
Tangan Rossa langsung mengepal saat Dave masuk dan menutup pintu tepat di depan wajahnya.
"Sial"