“Tersenyumlah Alex…. kau sangat cantik hari ini….”
Aku membiarkan bibirku bergerak mengikuti ucapan sahabatku itu dan menatap datar pada bayangan wanita dalam cermin didepan kursi tempatku bersandar. Wanita bermata hijau itu memang tampak sangat luar biasa. Gaun berwarna putih tulang yang melilit tubuhnya menyentuh lantai dan menyembunyikan kaki jenjang wanita itu. Rambut cokelat gelap wanita itu tertata rapi diatas dengan hiasan bunga kecil-kecil berwarna perak mengelilingi rambutnya seperti rantai. Corie benar, wanita didepan cermin itu memang sangat cantik. Namun, kekaguman akan bayangan itu hanya sesaat, dan pikiranku kembali dalam keresahan.
“Hai! Aku berkata padamu untuk tersenyum bukan muram seperti itu! Tersenyumlah, kalau perlu perlihatkan deretan gigimu itu!”
“Corie… aku akan menikah bukan sedang kasting iklan pasta gigi!” ucapkku geram pada sahabatku yang kini terlihat luar biasa dengan gaun kuning muda panjang tanpa lengan yang membungkus tubuh langsingnya.
“Sudahlah Cor… Lebih baik kita keluar sekarang, biarkan Alex sendiri..” Lisa menarik tangan Corie lalu tersenyum kearahku. Lisa hari ini terlihat sangat luar biasa dengan gaun tanpa lengan seperti yang digunakan Corie namun dengan warna yang berbeda. Ungu muda terlihat luar biasa dengan kulitnya yang sedikit kecokelatan dan rambut hitamnya.
“Baiklah… Alex.. Hari ini pernikahanmu, jangan memberikan ekspresi duka seperti itu terus oke! Aku akan menunggu diluar..” Corie menyentuh pundakku dan berlalu keluar bersama Lisa. Kutatap langkah kaki mereka berdua meningglkanku sendirian dalam ruangan bercat putih yang didalamnya terdapat sofa besar hitam di pojo ruangan, 2 kursi kayu yang berhadapan meja yang awalnya kosong namun kini diatasnya dipenuhi berbagai peralatan make up dan juga cermin besar yang memantulkan bayanganku sedang terduduk pasrah diatas kursi kayu cokelat dengan gaun pengantin yang sangat panjang ini.
Seorang pria dengan kursi roda atomatisnya masuk kedalam ruanganku. Ia menutup pintu kayu dengan plitur menawan itu dan mendekat kearahku. Tatapan penuh penyesalan tergambar jelas disetiap inci wajahnya.
Aku sangat tidak ingin melihat wajahnya saat ini. Ada rasa tidak suka dan amarah yang memenuhi hatiku ketika kulihat wajahnya. Aku membuang mukaku, tak ingin memandangnya. Namun pria itu semakin dekat kearahku dan menyentuh tanganku.
“Kau sangat cantik sayang…” suaranya bergetar seperti menahan kesedihan yang dalam.
Ruangan itu kembali hening, tak ada satu jawabanpun yang keluar dari bibirku. Hingga pria tua mengeluarkan suaranya lagi. “Maafkan ayahmu ini….”
Maaf?
Aku benar-benar tak percaya dengan apa yang diucapkan oleh pria itu! Harusnya ia mengucapkan kata maaf itu pada ibuku, sebelum ia meninggal. Tapi ia malah mengucapkan kata-kata maaf itu sekarang dank arena dia juga kini aku harus menikahi pria yang tak kuncintai!
"Apakah harta dan jabatan dapat dengan mudahnya menjual dan membunuh emosi manusia?
Apakah hanya orang-orang tertentu yang dapat merasakan indahnya kebahagiaan?
Apakah Tuhan tahu, aku diperhadapkan pada pilihan yang sangat sulit saat ini?
Aku akan diikatkan janji suci sehidup semati dengan pria yang bahkan belum pernah kudengar suaranya secara langsung dan itu kulakukan dihadapan Tuhan?
Apa yang harus aku lakukan?
Membunuh perasaanku sendiri dan mengorbankan hidupku dengan mengatakan "aku bersedia" ?
atau...
Mengucapkam "Aku tidak bersedia.." lalu pergi meninggalkan pernikahan ini.
Tapi jika aku menolak pernikahan ini, bagaimana dengan pria itu?
Pria yang kubenci sekaligus kusayangi itu?!"
“Maafkan ayah Alexis...”
Kucoba menahan air mataku yang hampir tumpah itu dan menatap mata hijau pria itu. Terpancar jelas kesedihan di wajahnya. Biar bagaimanapun dia adalah ayahku! selepas kejahatan yang telah dia buat dimasa lalu, dia tetaplah Ayah kandungku yang merawatku sejak kuberumur 6 tahun.
“Jangan menangis… nanti riasanmu berantakan..” tangan bergetar pria itu mengusap mataku yang tanpa kusadari sudah mengalirkan air mata.
Aku benar-benar tak mampu berkata apapun untuk mengungkapkan kemarahanku. Tubuh pria dihadapku ini terlihat begitu lemah, tangan bergetarnya bahkan terasa dingin diwajahku dan tatapan matanya menghancurkan tembok kemarahan dalam hatiku seketika. Saat itu yang ingin kulakukan adalah memeluknya tanpa memperdulikan kemarahan dan egoku. Dan tak lama kemudian, kubiarkan tubuh dalam balutan gaun pengantin ini memeluk tubuh pria di kursi roda itu.
Tangan pria itu mengelus punggungku dan kalimat terucapkan kembali dari bibirnya yang gemetar.
“Maafkan aku, putriku…”
***
Alunan musik nan indah mengantar langkahku saat aku berjalan masuk ke dalam aula besar bernuansa putih, perak dan emas yang membuat ruangan itu terlihat elegan sekaligus mahal. Hanya dengan sekali melirik, aku tahu kalau dekorasi ruangan itu memiliki nilai yang tak bisa aku pandang sebelah mata. Kulirik orang-orang disamping kiri dan kananku sedang menatapku seakan-akan aku adalah seorang putri raja yang turun kejalan untuk menyapa rakya-rakyatnya.
Kuperkuat menggenggam tangan ayahku. Aku merasa aku benar-benar gugup hari itu. Bahkan sepatu highheel yang kukenakan terasa begitu berat, membuat langkahku seperti tertahan diatas karpet berwarna cokelat kemerahan dengan motif berukiran berwarna emas yang membuat ruangan ini semakin terlihat menawan.
“Tenanglah…” ayahku berbisik pelan kearahku dan seulas senyuman terukir disana. Aku mencoba membalas senyuman itu, berharap hal itu dapat menyembunyikan rasa gugup yang melandaku.
“Apa kau tidak apa-apa ayah?” aku benar-benar khawatir dengan keadaan ayahku itu. Ia memaksa untuk tidak menggunakan kursi rodanya dan menggunakan kakinya sendiri untuk mengantarkanku pada pria yang akan kunikahi.
Pria yang akan kunikahi?
Mataku langsung kuarahkan pada pria yang berjas hitam yang berdiri tak jauh didepanku. Oh Tuhan! Untuk kali ini, aku harus menyetujui ucapan Corie. Pria berambut hitam itu memang benar-benar tampan. Bahkan ketika pandanganku terhalangi oleh jaring-jaring putih transparan yang menutupi wajahku ini, aku masih bisa melihat ketampanannya itu dan tunggu apa itu??
Pria itu tersenyum kearahku?
yang benar saja? Apakah ia bisa melihat wajahku yang terpana melihatnya?
Cepat-cepat kuubah ekspresi wajahku menjadi sebiasa mungkin. Aku tidak mau terlihat bodoh dihadapan pria itu.
Ayahku melepaskan tanganku dan menyerahkannya pada pria bertebuh atletis didepanku kini. Jantungku berdetak dengan kencang saat tangannya menyambut tanganku dan dalam dua langkah, aku kini sudah berada tepat disampingnya di depan seorang pendeta yang tersenyum kearakku dan pria disebelahku. Cepat-cepat kulepaskan tangan pria itu dan menggenggam buket bunga yang membuat tampilanku semakin sempurna sebagai seorang pengantin wanita. Pria itu seperti terkejut dengan tindakanku dan langsung menoleh kearahku. Oh bagus! Dia bahkan terlihat lebih tampan jika dilihat sedekat ini. Rahang-rahangnya yang terlihat begitu kuat dan bibirnya yang sedang tersenyum kearahku itu sangat…..
“Stop…hentikan Alex!” aku mencoba menyadarkan diriku sendiri akan lamunannku dan memalingkan wajahku dari wajah pria itu. Baiklah! Majalah-majalah gosip itu tidak salah dalam memasukannnya dalam daftar pria-pria paling hot, karena baru beberapa detik disebelahnya aku merasa seperti sedang berada disebelah tungku perapian yang membuat keringat mengalir dipelipisku karena membuatku merasakan gugup berkali lipat. Bahkan karena kegugupan ini, aku tidak menyadari pendeta didepanku sudah berbicara menyampaikan hal-hal yang sering kudengar dalam pesta pernikahan.
“Alexis Stefany Goldiaz, apakah kau bersedia menerima James William Caplox sebagai pasanganmu? Mencintai dan menemaninya dalam suka maupun duka, dalam senang maupun susah hingga maut memisahkan kalian berdua?”
Aula tempatku berdiri menjadi sangat sepi, menantikan jawaban dari bibirku. Namun tiba-tiba perkataan dari ayahku 5 tahun yang lalu mengalun ditelingaku….
“Jika suatu saat kau menikah, menikahlah dengan pria yang mencintaimu; yang mampu membuatmu tersenyum bahagia; yang mampu menghapus air matamu; yang membuat hari-harimu berwarna… Kau harus janji! Menikahlah dengan pria yang bisa menciintaimu melebihi cinta ayahmu ini padamu….”
“Alexis Stefany Goldiaz…. apakah kau bersedia?” ucapan pendeta itu membuatku tersadar.
Baiklah… Semua akan berakhir disini Alexis. Kehidupan berkeluarga yang kau impikan akan berakhir disini. Dengan cepat kutarik nafasku dalam-dalam namun bibirku terasa terkunci tak mampu menjawab pertanyaan pendeta yang menunggu balasanku.
Suara ruangan yang hening sayup-sayup mulai terdengar suara bisikan orang-orang yang menyeret paksa diriku untuk mengatakan hal yang mungkin akan kusesali sepanjang hidupku.
Kugeratakan gigiku. Inginku gigit bibir ini, tak apalah aku mati saat ini, namun itu hanya akan memperburuk keadaan, terutama keadaan ayahku. Dengan sangat setengah hati kuucapkan kalimat itu. Kalimat yang tak pernah akan kubayangkan akan keluar dari bibirku hari ini...
“Aku bersedia….” aula ini kembali hening sehening pikiranku saat ini. Aku tak percaya dengan apa yang kukatakan barusan.
Bersedia? Aku?
“Haaaaaaah” kuhembuskan nafasku beharap pria disebelahku ini akan menolak pernikahan ini. Dia tidak pernah bertemu denganku, dia pasti tidak mencintaiku dan pria seperti dia pasti juga tidak mau terikat dalam ikatan pernikahan dengan wanita yang tak dikenalnya.
Kudengar baik-baik pendeta itu mengulang kalimat yang sama seperti yang ia tanyakan padaku namun kini namaku digantikan oleh nama James. Aku yakin, pria itu pasti akan menolaknya. Iya! Itu pasti, pria playboy mana yang rela memberikan kebebasannya untuk menikahi seorang wanita.
Satu…
Dua….
“Aku bersedia.”
What???!!!
Syok yang kurasakan kini berlipat ganda, kupalingkan wajahku pada pria yang lebih tinggi disebelahku ini. Bagaimana mungkin dia bisa mengucapkan kalimat itu dengan cepat begitu yakin dan begitu tegasnya bahkan kurang dari 3 detik setelah pendeta itu bertanya padanya!
Apakah dia serius?!
Aku masih tenggelam dalam ketidakpercayaanku saat seorang gadis kecil yang sangat manis berjalan kearahku membawa sebuah bantalan tipis berlapis kain berwarna perak yang diatasanya terdapat kotak berwarna merah dan terdapat 2 buah cincin emas putih didalamnya.
“Kalian berdua sekarang telah resmi menjadi pasanga suami isteri. Pengantin pria silahkan membuka cadar pengantin wanita dan menciumnya…” kalimat itu membuatku merasa panik.
Cium? yang benar saja!
Kutundukan wajahku dan melihat cincin emas putih yang sudah melingkar indah di jari manisku.
Kurasakan cadar jaring-jaringku mulai dibuka berlahan. Tangan pria itu mengangkat daguku agar wajahku menatap kearah wajahnya.
Oh Tuhan, tolong aku…. Mata cokelat pria itu benar-benar indah. Memancarkan kehangatan dan ketenangan yang membuatku ingin bersembunyi disana.
“Kau terlihat semakin cantik kalau gugup seperti ini, isteriku…” Pria itu berbisik pelan ditelingaku. Membuatku menganga tak percaya dengan ucapannya itu dan saat itu juga darahku terasa berdesir merasakan kehangatan bibir pria itu menyentuh bibirku, membuat jantungku berdetak dengan keras seirama dengan sorak tepuk tangan dari para tamu.