Satu hari menuju akhir minggu yang Tara maksud untuk meminta dia menemani ke peresmian gedung pameran di pusat kota. Kenna masih juga merasa begitu gundah gulana. Pelajaran yang saat itu tengah dijelaskan oleh guru nyaris satu pun tak ada yang berhasil masuk ke dalam kepalanya. Tak ada yang berhasil ia olah masuk ke dalam bingkai pemahaman diri agar kelak suatu saat nanti bisa diaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat. Rasanya ia ingin sekali hanya tiduran sambil enak-enakan saja dan bangun saat bel pulang sudah berdering. Bisa kembali ke rumah dan melanjutkan kehidupan yang bagai khayangan.
Kenna tak mengatakan apa pun soal ajakan yang Tara berikan kemarin pada keluarganya sendiri. Karena sudah pasti orang tuanya pasti meminta agar ia turut serta saja. Mereka pasti akan setuju buta tanpa memikirkan pertimbangan yang ia sendiri punya. Tapi, walau itu sudah jelas akan terjadi dan tak ada hal yang terlihat buruk di baliknya. Hati Kenna terus saja tak bisa berhenti bergejolak tak jelas apa alasannya. Seolah semua yang terjadi bukan keputusannya sendiri. Padahal paling tidak untuk saat ini saja ia sangat yakin memiliki akses penuh guna memutuskan bagaimana hidupnya akan berjalan. Itu adalah hidupnya dan bukan hidup orang lain atau tengah dikendalikan oleh orang lain. Ia pasti bisa menemukan jalan paling baik untuk mengambil suatu keputusan.
Sungguh merana. Kadang susah menyiksa jiwa. Tapi, ya yang namanya realita memang kita mau apa juga sebagai manusia?
“Apa lebih baik kalau aku bilang ke Liam saja, ya? Kira-kira Liam bakal beri respon apa, ya?” pikirnya sambil menatap langit-langit kelas yang berwarna putih bersih. Berusaha membayangkan kiranya respon apa yang akan ia dapat. Bagaimana anak remaja laki-laki yang tidak pernah peka pada perasaannya itu akan beri respon untuk hal yang ia rasa penting. Apakah Liam akan melarangnya karena cemburu tak mau Kenna berdekatan dengan laki-laki lain? Atau apakah yang lain? Respon apa yang kiranya akan anak itu berikan jika ia memutuskan untuk bertanya?
“Hayoo, mikir apa kamu bilang Liam Liam terus daritadi? Udah dideketin gitu sama Tuan Muda Tara. Masih aja hatinya jelalatan ke mana-mana,” tanya Shania reseh.
“Bu, Bukan Liam anak kelas sebelah, kok. Liam yang lain,” elak Kenna berusaha sembunyikan perasaan gugup.
Karena mual mendengar segala pertanyaan reseh Shania. Kenna buru-buru keluar dari kelas. Namun, Shania malah terus mengejar sudah seperti wartawan infotainment dari majalah gossip. Meminta konfirmasi perasaan dan hubungan yang ia miliki dengan duo pangeran SMA N. I. S.: Tuan Muda Tara dan Perdana Menteri Liam. Asik.
“Tadi kamu ditemuin sama Tara pasti karena diajak pergi kencan akhir minggu, ‘kan?” tanya Shania kembali menggoda. Seolah tak ada lelahnya dia merecoki perasaan sang sahabat yang jelas saja sedang tidak karuan karena memikirkan banyak hal.
“Kagak, tuh,” jawab Kenna risih dengan jelas menunjukkan respon terganggu.
“Atau kamu diajak untuk mengadakan pertunangan ala kerajaan begitu, ya?” tanya Shania lagi makin ngalur ngidul tidak masuk akal.
“Ya nggak mungkin, lah,” respon Kenna makin menunjukkan perasaan tak nyaman.
“Kalau berdasar penglihatanku sih kamu emang lebih cocok sama Tara, Kenna. Kalau begitu Liam buat kita-kita aja, yuaa?” tanya Shania dengan nada suara manja.
Aku bunuh kalian semua sampai berani merebut Liam. Saat aku bahkan belum mendapatkannya… Kenna hanya bisa berakhir membatin dengan sadisnya.
“Kok diem aja? Boleh, ya? Boleh dong, ya? Boleh kan, ya?” tanya Shania lagi mengejar.
Sampailah mereka di gerbang sekolah yang dipenuhi oleh para siswa dan siswi yang hendak pulang. Ada yang membawa kendaraan sendiri. Ada pula yang didatangi jemputan pribadi.
Sebuah motor tangki besar yang tampak tak semewah motor anak-anak lainnya berhenti di depan Kenna dan Shania. Shania langsung menutup mulutnya tak menyangka akan dihampiri oleh Liam.
“Aduh, Liam. Sebenernya kamu nggak usah repot-repot gini, sih,” ucap Shania kepedean.
Liam membuka kaca helm-nya. “Kamu siapa, ya?” tanyanya.
JLEB. Hati dan perasaan Shania langsung tenggelam ke dasar palung Mariana. "Aduduuduh, sakit banget pertanyaannya, yah."
“Buruan naik!” pinta Liam langsung ke Kenna.
Kenna mematuhi dan melambaikan tangan ke arah Shania. “Have a nice weekend, sis,” salamnya sebelum sepeda motor Liam bergerak menjauh.
Setelah sampai di lokasi yang cukup jauh dari sekolah. Kenna menjatuhkan salah satu sisi wajahnya di punggung Liam. “Andai kita bisa begini setiap hari, ya.”
“Ya kan nggak setiap pulang sekolah juga aku nganggur. Sekali-sekali aja nggak apa-apa, ‘kan? Biar tetap terasa manis,” jawab Liam.
“Oh iya, kamu kan ngajar bimbingan belajar buat anak SD dan SMP, ya. Gimana menjalani prosesnya? Apa lancar-lancar aja?” tanya Kenna.
“Aku kan jadi guru privat. Sejauh ini sih semua lancar aja. Kalau jadi guru bimbingan belajar di kelas gitu mungkin akan jadi bermasalah,” jawab Liam jujur tak ingin tutupi apa pun dari gadis yang sedang duduk di belakangnya.
“Bermasalah kenapa?” tanya Kenna lembut.
“Aku nggak tau sebenernya. Kayaknya aku nggak punya kemampuan bagus untuk berhubungan sama satu kelompok sekaligus. Apalagi kamu tau sendiri tipikal murid di negara ini bagaimana. Gurunya sedang melakukan apa muridnya melakukan apa. Tidak ada sinkronisasi. Tidak ada keterhubungan. Ada kan yang gurunya lagi koar-koar ngejelasin. Murid-muridnya malah ada yang main gundu, main gaplek, arisan, ngobrolin masa depan, dan sebagainya. Ini berdasar cerita temenku yang sekolah di sekolah biasa, sih,” jawab Liam panjang lebar. Menumpahkan segala unek-unek menyangkut profesinya sebagai guru les privat.
“Itu nggak bisa dijadiin patokan, dong. Kan dunia sekolah sama dunia kerja itu berbeda jauh,” komentar Kenna.
Elan membalas, “Bisa iya bisa enggak, sih. Oh iya.”
“Kenapa?” tanya Kenna semangat.
“Kamu kenapa? Kok kelihatan lebih murung gitu beberapa waktu terakhir ini,” tanya Liam.
Jantung Kenna berdetak lebih kencang saat mengetahui bahwa ternyata Liam begitu perhatian padanya. Di balik segala keacuh tak acuhannya. Ia jauhkan tubuhnya dari punggung pemuda itu.
“Kenapa?” tanya Liam lagi. Merasa tak segera mendapat respon.
“Kamu tau nggak gedung pertemuan yang mau diresmiin di pusat kota itu?” tanya Kenna berbasa-basi. Ia tau Liam pasti tidak tau.
“Nggak tau, sih. Ada apa?” jawab Liam balik bertanya.
“Ada seorang cowok yang mengajak aku untuk menghadiri premier gedung pertemuan itu,” jawab Kenna.
“Terus kenapa?” tanya Liam lagi. Belum mendapat inti ceritanya.
“Ya aku sebenernya malas. Tapi, tidak tau cara menolaknya bagaimana,” jawab Kenna putus asa.
“Apa kamu akan dapat dampak buruk sampai menolak keinginan cowok itu?” tanya Liam.
“Sepertinya sih iya,” jawab Kenna. Sampai Tara mengadu pada orang tuanya dan orang tuanya mengatakan soal itu pada orang tuanya sendiri. Akan jadi perkara.
“Ya sudah turuti saja. Toh hanya menemani, ‘kan? Selama nggak ada baper-baperan. Aku rasa semua baik-baik saja,” saran Liam.
Dikerucutkan bibir berwarna merah muda terangnya. “Peka sedikit, dong. Nanti aku selingkuh, lho.”
Liam langsung tersenyum mendengar ancaman gadis di belakangnya. “Haha, jangan, dong.”