Bab 3

1005 Kata
Pradipta Bhumika bukan lah pria sembarangan. Di usianya yang baru menginjak 35 tahun, Dipta sudah memiliki karir cemerlang. Saat ini, pria berpostur tinggi dan berdada bidang itu dipercaya sebagai Chief Executive Officer perusahaan kosmetik Glow dan Chief Financial Officer di perusahaan retail milik ayahnya—Susilo Agung Bhumika. Dengan jabatan penting yang dimilikinya dan didukung dengan fisiknya yang mendekati sempurna, tentulah bukan hal sulit bagi Dipta untuk mengencani atau menikahi wanita manapun. Sehingga beberapa bulan lalu ketika Dipta menyetujui perjodohan kami, hal itu membuatku cukup syok. Karena kupikir Dipta akan menentang keras perjodohan kami. Sekali lagi, aku sendiri menerima perjodohan ini, selain karena ingin membahagiakan Ibuku. Karena kupikir tidak ada yang salah dengan menjadi istri dari seorang Pradipta Bhumika. Sejujurnya dari hatiku yang terdalam, aku berharap pernikahan ini akan bertahan tidak hanya satu tahun saja. Tentu, jika Dipta juga memiliki keinginan yang sama. Sekuriti kediaman orang tua Dipta menyambut kedatanganku dengan ramah. Lantas aku melangkah keluar dari mobil, setelah memastikan mesin mobil mati sempurna. Tak lupa membawa buah tangan yang kubeli dari toko kue terkenal, yang kubeli sebelum datang kemari. Aku melangkah pelan menuju teras rumah yang diterangi lampu kristal. Baru saja kakiku menginjakkan satu kakiku di teras rumah, sebuah mobil masuk ke pekarangan rumah ini. Sorot lampu dari mobil tersebut menyoroti tubuhku. Aku yang penasaran kemudian membalikkan badan untuk memastikan siapa tamu yang datang setelahku. Dan rupanya, mobil tersebut milik Dipta. Tetapi Dipta ternyata tidak sendiri. Pria itu bersama seseorang. Selang beberapa detik Dipta membuka pintu bagian kemudi, seseorang yang bersamanya turut keluar dari mobil milik pria itu. Dan seseorang itu adalah Melani Sucipto--calon maduku. “Sekaaarr.” Melani menyapaku dengan suara nyaring dan senyum kelewat lebar. Perempuan hamil ini memelukku singkat, yang tak kubalas karena kedua tanganku tengah memegangi box kue. “Setelah acara ini selesai, aku ingin bicara berdua denganmu,” katanya kemudian dengan ekspresi serius. “Aku sudah tahu semuanya. Jadi kurasa, tidak ada yang perlu dibicarakan lagi di antara kita. Aku akan datang ke pesta kalian. Pasti,” ucapku dengan penuh keyakinan. “Kamu tidak apa-apa, Sekar?” tanya Melani dengan ekspresi wajah yang tak bisa kuartikan. “Aku tidak apa-apa. Tetapi satu hal saja aku minta pada kalian.” Aku menatap Melani dan Dipta bergantian. Dengan sorot penuh peringatan. “Simpan rahasia ini, untuk sepuluh bulan ke depan. Atau hingga aku dan Dipta sudah resmi berpisah.” Tanpa menunggu jawaban mereka, aku masuk ke dalam rumah mertuaku lebih dulu. Jika memang akhirnya aku dan Dipta harus berpisah, satu tahun bukan lah waktu yang terlalu singkat untuk sebuah pernikahan. Setidaknya aku tidak akan terlalu merasa malu jika harus berpisah setelah satu tahun menjalani pernikahan bersama Dipta, dibandingkan baru saja dua bulan berpisah. “Assalammu’alaikum,” ucapku begitu memasuki ruang tamu yang super luas dengan desain interior yang mewah. “Mama, Sekar datang,” panggilku pada mama mertuaku. Mama Saraswati muncul dan menyambutku dengan sumringah. “Menantu kesayangan Mama sudah datang.” Beliau memelukku dan mencium kedua sisi pipiku. “Cantik sekali menantu mama ini,” pujinya sembari memindai penampilanku. Sebelum meninggalkan butik, aku memang sudah mandi dan berganti pakaian lebih dulu. Aku tidak mau berpenampilan buruk di hadapan keluarga Dipta ini. “Mama juga cantik sekali,” kataku balik memuji mama mertuaku. Abaya berwarna merah muda yang dikenakannya membuat Mama Saraswati terlihat segar dan lebih muda. “Ini abaya pemberian Sekar. Mama suka sekali dengan bahan dan modelnya. Teman-teman arisan Mama juga sering menanyakan, kapan kamu produksi abaya seperti ini lagi?” “Nanti ya, Ma, sekarang Sekar masih fokus dengan gaun-gaun pengantin.” Pada awal-awal menekuni dunia mode, abaya adalah gaun rancangan pertama yang kubuat. Inspirasiku saat itu yakni designer kenamaan Indonesia bernama Dian Pelangi. “Loh, Mas Dipta sudah datang ternyata.” Mama Saraswati kini memfokuskan pandangannya pada dua sosok yang baru memasuki ruang tamu. “Ada Melani juga.” Mama Saraswati menghampiri Dipta dan Melani, lantas memeluk mereka bergantian. “Semuanya sudah kumpul, ayo kita mulai acara makan malamnya,” ujar Mama mertuaku mengajakn kami bertiga. Mama Saraswati menggandengku dan Melani menuju ruang makan. Sementara Dipta berjalan di belakang kami bertiga. Aku tersenyum geli karena kami seperti sedang menjalani simulasi pernikahan poligami. Di ruang makan, sudah menunggu ayah mertuaku--Papa Susilo, Bibi Ivana dan Oma Halimah. Bibi Ivana dan Oma Halimah merupakan Tante dan Nenek Dipta dari pihak ayahnya. Acara makan malam pun dimulai. Papa Susilo menempati kursi utama. Mama Saraswati di sisi kanannya, sedangkan Oma Halimah di sisi kiri ayah mertuaku itu. Dipta menempatkan diri di sisi Oma, kemudian aku dengan terpaksa duduk di samping Dipta. Sementara Melani, duduk di samping Mama Saraswati. Mengingat Melani adalah sahabat Dipta sejak kecil, tentu saja hubungan Mama Saraswati dan Melani nampak begitu akrab. Kami mulai mengisi piring di hadapan kami dengan hidangan yang tersedia. Berpura menjadi istri yang baik, tentu saja aku mengambilkan nasi dan lauk pauk untuk Dipta. “Kak Dipta, ini ikan bakar kesukaan Kakak.” Melani bersuara dengan suaranya yang manja. “Kalau kita duduk berdekatan, Mela bantu pisahkan daging dari duri-durinya,” ucapnya yang membuat telingaku terganggu. Menyebalkan sekali! Cari muka sekali dia! “Terima kasih, Melani. Tapi aku masih sanggup melayani Kak Diptamu,” sahutku dengan senyum kubuat senatural mungkin. Belum apa-apa saja, Melani sudah berlagak menjadi seperti istri Dipta. Bagaimana nanti jika benar-benar sudah menjadi istri sahnya? Huh, membayangkannya saja aku merasa muak! Kemudian kurasakan sebuah tendangan pada kakiku. Tentu saja Dipta yang melakukannya dan kubalas dengan ayunan yang lebih kencang. “Jangan cemburu dengan Melani ya, Sekar. Melani ini sudah seperti adik bagi Dipta. Mereka berteman sejak kecil, jadi hubungan mereka memang kadang seperti sepasang kekasih.” Mama Saraswati memberi penjelasan agar aku tidak cemburu. Sejujurnya aku pun memang tidak cemburu. Aku hanya kesal. Kesal karena memang sedekat ini hubungan Melani dengan Dipta. Kalau begini, harapanku untuk mempertahankan rumah tanggaku dengan Dipta semakin menipis. Tapi aku juga tidak ingin menjanda di usia pernikahan yang baru seumur jagung. Entahlah! “Sekar tidak cemburu kok, Ma. Sekar cuma berusaha menjalankan kewajiban Sekar sebagai istri Mas Dipta,” jawabku dengan memberi tatapan tajam pada Melani. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN