Bab 14

1136 Kata
Dia menjalani pekerjaan dengan perasaan begitu ringan, seolah-olah ada buncah-buncah semangat baru bermunculan. Khadija merasakan sudah mulai memiliki arah kemana dia akan mendayung kehidupan. Wajah polosnya tampak begitu cerah, dalam otaknya sudah terbentuk simpul-simpul pada setiap titik yang siap terhubung menjadi satu kesatuan mimpi yang akan dia capai. Bell pulang berbunyi, membuat semua aktivitas dalam pabrik itu terhenti, kecuali beberapa orang yang memang ditugaskan untuk kerja lembur. Khadija sudah selesai dan berjalan menuju bus jemputan namun sebuah suara yang dikenalnya memanggil. “Dija!” Khadija menoleh keasal suara, terlihat Bu Riska sedang berjalan kearahnya. “Iya Bu, ada apa?” Khadija merasa heran melihat atasannya ada di area jemputan karyawan dan malah berjalan kearahnya. “Ini, bacalah kalau senggang, dulu saya mendapatkannya dari seseorang ketika saya sedang berproses seperti kamu, semoga berguna,” Bu Riska memberikan sebuah buku kepada gadis itu. Khadija menerimanya dengan sumringah. “The S*c*et,” ucapnya membaca judul buku itu dengan kening berkerut. “Bukunya bagus, cuma kita harus membacanya dengan iman, karena ini adalah hasil penelitian orang barat jadi sedikit berbeda konsep, namun disini dijelaskan dengan sangat baik mengenai apa yang tadi pagi saya share, ingat ya, harus membacanya dengan iman,” ucap Bu Riska sambil menepuk pundak gadis itu dan berlalu. Belum lagi dia melangkah menuju jemputan, suara seseorang yang tidak asing ditelinganya memanggilnya. “Dija, ayo!” Khadija menoleh, seseorang berhenti di belakangnya dan memberikannya sebuah helm. “Kak Rasyid ngapain kesini?” Khadija bertanya pada kehadiran mendadak orang yang kini tengah menjadi pusat perhatian beberapa karyawan wanita yang melintas. “Jemput kamu pulang lah,” ujarnya enteng sambil turun dari sepeda motornya dan memberikan helm itu pada Khadija. “Ciee dijemput ehem ehem nih!”Teriak beberapa orang gadis yang satu line dengannya ketika kebetulan melintas, mereka menggoda Khadija. Gadis itu sadar semakin lama berdebat maka akan semakin menjadi pusat perhatian, terlebih gaya lelaki yang menjemputnya itu sudah seperti model sampul majalah. Ya, Rasyid memang selalu terlihat keren dan menawan, karenanya tidak salah jika begitu banyak teman wanita yang mendekatinya. Khadija menerima helm itu dan segera mengajak Rasyid pergi, tidak terbiasa menjadi pusat perhatian membuatnya kikuk. Dia memberikan kode kepada Arina kalau dia tidak ikut jemputan pulang. Rasyid melajukan sepeda motornya perlahan meninggalkan halaman parkir pabrik itu. Khadija duduk dengan seperti biasa menjadikan tasnya sebagai penghalang dengan lelaki itu. Wajah manisnya yang lelah tersapu angin sore kota Bekasi membuat dia merasakan kedamaian dan perasaan tenang. Sebelum kemudian dia melontarkan pertanyaan pada lelaki yang tanpa disadarinya sedang mencuri-curi pandang pada bayangan wajahnya dari spion. Gadis yang cantiknya natural dan tegar, itulah kesimpulan seorang Rasyid terhadap Khadija. “Kak Rasyid ngapain jemput aku, aku kan memang sudah ada jemputan.” Khadija melemparkan pertanyaan. “Hari ini kan kamu mulai mengajari Nayya, kalau ikut jemputan kan bisa selisih sampai setengah jam daripada memakai sepeda motor, Nayya udah seneng banget tadi, katanya mau belajal nyanyi sama kamu,” Rasyid memberikan alasan dengan Bahasa yang dicadelkan seperti Nayya. “Tapi besok-besok ga usah jemput ya Kak, aku ga enak aja, lagian aku datang ke kota ini memang mau belajar hidup mandiri dan ga bergantung sama orang,” ucap Khadija sambil menghela nafas mengingat kandasnya asa pada seseorang yang awalnya sudah dia yakini akan menjadinya tempat bergantung. Sejak hari itu dia memutuskan untuk hanya menggantungkan asa pada Sang Pemilik Kehidupan. Mulai saat itu pula dia berjanji akan sepenuhnya belajar berdiri diatas kaki sendiri. Berharap pada makhluk hanya membuatnya kecewa dan patah hati. Dan dari situlah, sikapnya mulai berubah menjadi lebih keras dan tegas meskipun belum terarah. Dia hanya tahu kalau hidupnya adalah sepenuhnya tanggungjawabnya. “Gimana entar aja lah, lagian aku juga ga mungkin jemput tiap hari, sesekali aja.” Lelaki itu menjawab santai sambil tetap melajukan kendaraannya meliuk-liuk membelah hiruk pikuk jalanan yang sibuk. Khadija menarik nafas panjang, baginya berdebat dengan Rasyid adalah hal yang sia-sia. Akhirnya dia memilih diam dan mengabaikannya, sampai sepeda motor itu berhenti disebuah rumah makan yang cukup ramai. “Lho kenapa berhenti?” Khadija bertanya. “Yuck makan dulu!" Rasyid sudah mencari posisi parkir motornya dan melirik wajah gadis yang diboncengnya dari spion. “Kenapa ga beli makannya nanti aja di kawasan turun jemputan aku kan banyak, murah-murah lagi, ini mah kejauhan.” Khadija cemberut. “Kalau disana banyak wanita-wanita yang mengejarku, nanti kamu di intimidasi jalan bareng idolanya,” ucapnya sambil terkekeh dan turun. Helm berwarna hitam itu dilepasnya, sambil menatap gadis yang dengan malas turun dari sepeda motornya dia hanya tersenyum. Khadija sudah melepas helmnya dan menyimpannya diatas sepeda motor keren milik lelaki itu. “Lagian udah tau banyak cewenya masih sempet-sempetnya jemput aku, dasar lelaki,” gerutu Khadija, yang hanya dijawab oleh kekehan santai lelaki itu. Rasyid memilih sebuah tempat lesehan yang terlihat agak sepi dan nyaman, mereka duduk disana kemudian dia memesan makanan. “Kamu mau makan apa?” Rasyid bertanya ketika hendak memesan makanan. “Aku omnivora Kak, tenang aja, samain aja sama yang Kak Rasyid pesen,” ucap Khadija. “Aku yang bayar lho, tenang aja, jadi boleh milih sepuasnya." Rasyid melirik gadis yang masih bersandar pada salah satu dinding bambu warung lesehan itu. “Iya taulah yang banyak duit, akum ah dipesenin apa aja dimakan,” ucapnya datar, dia harus menghemat energi sampai nanti tiba di kediamannya karena masih mungkin perdebatan-perdebatan kecil lainnya akan terjadi. “Mba!” Rasyid memanggil pelayan. Seorang pelayan menghampirinya. “Dua porsi nasi dan sop buntut,” ucap Rasyid setelah pelayan itu tiba disampingnya. “Minumnya Mas?” tanya pelayan. “Es jeruk dua,” ucap Rasyid. “Eh, aku ga pake es Mba, jeruk anget aja." Khadija meralat pesanan Rasyid. Lelaki itu tersenyum meliriknya. “Gitu dong,” ucapnya sambil tersenyum. Khadija hanya mencebik. Pelayan itu berlalu meninggalkan mereka untuk mempersiapkan pesanan. Kini Khadija tengah sibuk memerika ponselnya yang sejak tadi disimpan dalam tasnya. Ternyata ada pesan dari Rasyid yang mengabari akan menjemputnya dan ada pesan dari Arina temannya. “Move on nya cepet banget nih." Pesan w******p Arina. Belum sempat dia membalas pesan temannya itu, tiba-tiba terdengar suara wanita dari arah samping. “Bang Al, ada disini, sibuk mulu sekarang, jarang banget balas WA sama nelp aku." Suara seorang wanita terdengar manja menyapa lelaki yang tengah duduk didepannya. Khadija menoleh, tampak seorang gadis muda, mungkin satu atau dua tahun diatas usianya. Mengenakan setelan blazer dengan rok selutut, gadis itu menenteng tas dan matanya memancarkan kerinduan yang terpendam. “Hai Rania, iya sibuk lagi banyak tugas, gimana magangnya lancar?” Rasyid menjawab sambil tersenyum pada wanita berpenampilan menarik itu. “Eh kenalin ini Khadija, Khadija ini Rania teman aku.” Rasyid menyadari keberadaan Khadija dan langsung memperkenalkannya pada wanita itu. Tampak semburat kecewa dari tatapan wanita itu ketika Rasyid memperkenalkannya sebagai temannya. Khadija mencoba tersenyum seperti biasa karena baginya bukan urusannya siapa wanita itu. Urusannya adalah segera makan dan pulang untuk kemudian mengajar Nayya mengaji.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN