Kini tinggalah mereka berdua, Ahmed mengajak Khadija berpindah ke mobilnya. Sambil membantu membawakan barang bawaan Khadija dia menatap gadis itu yang masih menunduk. Khadija membuka pintu depan dan duduk di kursi samping kemudi.
“Maksudnya apa tadi Kha, ijin dari ibuku?” Ahmed menelisik, tatapannya meminta jawaban atas pernyataan gadis yang kini sudah duduk disampingnya.
“Iya, bukannya ibunya Kak Ahmed tidak menyukaiku?” ucap Khadija.
“Darimana kamu bisa menyimpulkan hal seperti itu?” kening Ahmed berkerut.
“Aku hanya tidak ingin menjadi penyebab keretakan hubungan kalian,” Khadija menunduk.
“Aku belum berbicara apapun tentang dirimu pada ibu, Kha ceritakan kamu bisa menyimpulkan itu darimana?” Ahmed menatap penasaran.
Khadija menarik nafas panjang, akhirnya dia menceritakan kejadian malam itu ketika ibunya Ahmed mengunjunginya dan memperingatkannya untuk menjauhi lelaki itu. Ahmed masih terus mengemudi dengan saksama mendengarkan setiap kalimat yang terlontar dan kadang tersendat. Setelah gadis itu selesai bercerita Ahmed menepikan mobilnya, dia memutar duduknya dan menatap wajah gadis yang sedari tadi hanya tertunduk dan sesekali memandang keluar jendela.
“Kha, apakah aku masih memiliki kesempatan, apakah itu alasan utamamu meninggalkanku malam itu?” Ahmed menatap tajam. Gadis itu menunduk.
“Ayo Kak, kontrakanku masih jauh, kenapa harus berhenti disini?” Khadija mengalihkan pembicaraan, ada desir-desir yang mengalir dan membuat wajahnya memanas tak karuan.
“Jawab dulu, atau kita akan selamanya disini,” Ahmed tetap meminta jawaban. Khadija menghela kembali nafas panjang, sekilas sudut matanya melirik kearah pemuda tampan di sampingnya. Perlahan kepalanya menangguk dengan wajah yang sudah merona menahan malu. Ahmed tersenyum puas dengan anggukan kepala gadis yang ada disampingnya. Dia kembali menjalankan kendaraannya perlahan.
“Yakinkan hatimu Kha, aku akan membuat ibu mau menerimamu,” ujar Ahmed sambil mengusap lembut pucuk kepala gadis yang tengah menyembunyikan binar-binar kebahagiaan terpendam dari matanya.
Mobil yang mereka tumpangi terus melaju membelah jalan yang semakin ramai, menemukan beberapa kali percabangan, dan mengikuti beberapa kelokan. Khadija mendapatkan kontrakan itu setelah mencari-cari dengan seorang teman sekelasnya yang sama-sama mendapatkan pekerjaan di pabrik yang sama. Dia sudah masuk satu minggu lebih awal darinya.
Ahmed menepikan kendaraannya dan memasuki sebuah halaman yang cukup luas dan cukup untuk menampung parkir beberapa mobil setelah Khadija menginformasikan jika mereka sudah sampai ditempat tujuan. Khadija turun dan membawa tas punggung usuh miliknya yang isinya beberapa helai pakaian yang dia miliki. Gadis itu tidak memiliki banyak pakaian, hidup yang serba pas-pasan dan hampir dibawah rata-rata membuatnya harus menjalani kehidupan alakadarnya. Ahmed menatap iba wanita yang ada didepannya, dia membantu membawakan tas jinjing dan plastik hitam milik Khadija, ingin sekali dia memeluknya dan mengatakan kalau dia akan selalu melindunginya dan selalu membuatnya bahagia, namun semua masih sebatas niatan didadanya, gadis itu mana mungkin mau dipeluk oleh orang yang bukan muhrimnya.
Khadija melangkah menuju pintu rumah yang terlihat cukup mewah. Dia mengetuk daun pintu yang setengah terbuka.
“Assalamualaikum,” Khadija mengucap salam.
“Wa’alaikum calam,” seorang anak kecil berambut ekor kuda berlari dari dalam rumah sambil menatap Khadija, bibirnya belepotan dengan lelehan cokelat. Wajah imutnya terlihat manis dengan pipi gembil, mata sipit dan rambut ikalnya.
“Siapa De?” Seorang pemuda dengan memakai celana santai dibawah lutut dan memakai kaos oblong melongo. Badannya yang berotot terlihat berisi dan bugar. Rambutnya terlihat basah dengan tetesan keringat, sepertinya pemuda tersebut sedang berolah raga.
“Mas, saya yang ngontrak di belakang, hari ini masuk, mau ambil kunci kontrakan di ibu,” Khadija menjelaskan. Pemuda itu mengangguk dan kemudian masuk kembali kedalam rumah. Hampir lima menit Ahmed dan Khadija berdiri menunggu pemuda yang mungkin sepantaran Ahmed muncul kembali mengambilkan kunci.
“Maaf Mba, Mas, bisa nunggu dulu sebentar, saya masih menunggu pesan balasan dari Ibu, kuncinya dia yang simpan soalnya.” Ahmed dan Khadija mengangguk dan duduk di kursi rotan yang terpajang diteras rumah tersebut. Lelaki tersebut mengambil satu kursi dan duduk menemani mereka.
“Dengan Mas sama Mba siapa?” pemuda itu dengan ramah memulai percakapan.
“Saya Ahmed, dan ini Khadija,” Ahmed memangkas kalimat Khadija yang baru saja menganga. Dia menyalami lelaki tersebut yang mungkin usianya tidak jauh berbeda dengannya.
“Saya Rasyid, oh kalian suami istri?” Rasyid menatap Ahmed bergantian dengan gadis yang begitu canggung dan masih menunduk.
“Calon istri, dia calon istri saya,” Ahmed kembali menyahut pertanyaan Rasyid dengan cepat yang membuat mata Khadija membelalak.
“Kak, ini kucinya bibi Elca yang kacih ke aku,” gadis berusia sekitar tiga tahun itu muncul dengan bibir yang tambah belepotan dengan cokelat sambil membawa satu anak kunci.
“Makaci cantik,” dengan lembut Rasyid mengacak rambut gadis itu yang sudah memberikan anak kunci kontrakan kepadanya. Rasyid menyodorkan anak kunci kepada Ahmed.
“Tante, namaku Nayya, aku cantik kan?” gadis itu menarik-narik lengan kemeja Khadija yang membuatnya tersenyum sempurna melihat tingkah lucu gadis itu.
“Iya kamu cantik, Nayya cantik sekali, nama tante Khadija,” Khadija mencubit gemas pipi gembul gadis kecil itu.
“Aku boleh main sama tante?” dengan cadel Nayya menggelendot kepada wanita yang baru saja dikenalnya.
“Nayya!” Rasyid membulatkan mata yang membuat Nayya menarik tubuhnya menjauh dari Khadija.
“Maafkan adik saya, dia memang manja,” Rasyid meminta maaf kepada tamunya.
“Gak apa-apa Mas, saya suka anak kecil kho,” Khadija tersenyum sambil menatap gemas gadis kecil yang kini bersandar dilengan Rasyid.
“Ayo Kha,” Ahmed memanggil Khadija dan mengajaknya segera menuju kearah belakang rumah megah tersebut yang memiliki beberapa lokal kontrakan mulai dari yang ekslusive dilengkapi dengan AC, TV dan tempat tidur maupun yang kosongan dan berukuran kecil yang terletak paling belakang. Mereka berlalu diiringi tatapan gadis kecil itu yang menatapnya dengan meruncingkan bibirnya.
Khadija memutar gagang pintu setelah membukanya dengan anak kunci yang Ahmed berikan padanya. Pintu kamar kontrakan paling belakang dengan nomor 304 terbuka. Terlihat hanya ruangan kosongan berukuran tiga kali empat meter dengan dapur sempit dan satu kamar mandi. Tidak ada fasilitas apapun disana. Ahmed termenung dan menatap nanar pada gadis itu yang sudah mendaratkan tubuhnya dilantai tanpa alas.
“Kha, kamu sudah beli perabotan apa saja?” Ahmed bertanya sambil masih mematung.
“Gak ada Kak, aku Cuma bawa satu set peralatan makan dan peralatan mandi,” Khadija menunjukkan piring plastik dari dalam tas lusuhnya dengan tersenyum. Hati Ahmed gemetar, bagaiamana dia akan tega melihat gadis yang dicintainya tergeletak sendirian tanpa alas tidur. Tidak ada apapun disana.
“Kha, sebentar ya, aku ada perlu dulu, kamu jangan kemana-mana,” Ahmed memutar kembali tubuhnya dan meninggalkan Khadija yang tengah bersandar melepas lelah.
“Kak Ahmed mau kemana?” Khadija setengah berteriak karena punggung lelaki itu semakin menjauh.
“Aku akan kesini satu jam lagi,” dia menoleh dan menyunggingkan senyum sebelum kemudian melanjutkan kembali langkah kakinya.