“Aku akan kesini satu jam lagi,” dia menoleh dan menyunggingkan senyum sebelum kemudian melanjutkan kembali langkah kakinya.
Khadija menyimpan barang bawaannya di pojok ruangan sempit itu, rencananya baru bulan depan setelah menerima gaji pertama dia akan berbelanja kebutuhan-kebutuhanya. Kini uang yang dibawanya hanya pas-pasan, itupun hasil dari tabungannya selama ini. Terkadang dia merasa sedih ketika memikirkan perhatian ibunya yang kini lebih banyak tercurah pada keluarga barunya. Khadija tahu, ibunya tidak menginginkan kehadirannya karena tabiat almarhum ayahnya yang seperti itu. Dia hanyalah anak yang dilahirkan dari sebuah kesalahan, itulah sedikit hal yang diketahuinya selama ini.
Khadija memejamkan mata, tak terasa kantuk membuat kesadarannya menguap. Dia tertidur sambil bersandar dan memeluk tas pakaian lusuhnya. Wajah manisnya terlihat begitu lelah dan tertidur dengan nyaman. Namun suara ketukan pintu membuat kesadarannya kembali. Dia mengerjap dan memfokuskan padangan pada sosok yang tidak dikenal yang tengah membawa sebuah dus besar dan menurunkannya didalam.
“Mas siapa ya?” Khadija bertanya setelah kesadarannya terkumpul sempurna.
“Ini barang-barang yang aku beli Kha, itu masih ada lagi,” suara Ahmed menyahut dari belakang lelaki yang baru saja menurunkan kotak kerdus berukuran besar tersebut.
“Kak Ahmed kenapa beli semua itu, aku juga sudah berencana beli setelah gajian nanti,” Khadija melempar komplen kepada lelaki yang sudah mengantarnya itu.
“Permisi” seseorang kembali datang dan mendorong kerdus besar ini, dia membawa rak piring ukuran sedang dan meletakkannya didalam kontrakan Khadija. Gadis itu berdiri dan menuju keluar pintu, tampak ada tiga orang dari toko perabotan tengah sibuk menurunkan barang-barang yang hampir penuh pada mobil bak terbuka yang terparkir tidak jauh dari kontrakannya.
“Semoga kamu bisa hidup nyaman walaupun seorang diri disini,” ujar Ahmed menatap hangat wanita yang kini matanya berkaca-kaca.
“Aku menerimanya Kak, terimakasih sudah membantuku, tapi tolong anggap ini hutang, aku akan membayarnya nanti kalau sudah punya uang.” Tetesan airmata gadis itu tak sampai jatuh karena di seka dengan ujung kerudungnya.
Semua perabotan sudah masuk kedalam ruangan berukuran empat kali tiga meter itu. Ahmed memberikan uang dua puluh ribuan sebanyak tiga lembar untuk ketiga orang tukang yang sudah membantunya mengangkut barang-barang itu. Seraya mengucapkan terimakasih dan melambaikan tangan mengantar mobil bak terbuka yang kini mulai melaju dan menjauh.
Ahmed masih membantu Khadija membereskan semua perabotannya. Merangkai lemari plastik, memasang rak piring, menaikan air galon, menata busa tempat tidur dan hal-hal lain yang sekiranya membutuhkan tenaga. Khadija mulai memindahkan pakaian-pakaian seadanya yang dibawanya kedalam lemari yang baru saja selesai dipasang oleh Ahmed. Dia memanaskan air di dispenser dan kemudian mengeluarkan bungkusan teh dan gula yang dibawanya dari kampung. Dia mengambil bungkusan plastik yang tadi diberikan ibunya untuk bekal. Dia lihat ada nasi bersama telur dadar, sambal, lalap dan sayur asam. Dia menata dan membagi nasinya menjadi dua porsi. Setelah air panas dia membuatkan teh untuk lelaki yang sedari tadi bekerja keras membantunya.
“Kak, makan dulu, sebentar lagi zuhur,” ucap Khadija setelah menyiapkan makanan alakadarnya, Ahmed tersenyum sambil kemudian berlalu menuju dapur sempit yang hanya muat oleh satu kompor dan rak piring tersebut. Dia memutar kran kamar mandi dan mencuci tangannya.
“Ayo Kha, kebetulan udah lapar banget,” ujar Ahmed sambil duduk bersila dan mulai menyantap hidangan alakadarnya tersebut. Gadis itu duduk bersimpuh dan ikut menikmati makan siangnya dengan perasaan penuh haru atas kebaikan lelaki yang ada didepannya tersebut.
“Allohu akbar, Allohu akbar” terdengar adzan zuhur berkumandang tepat setelah mereka menyelesaikan makan siangnya. Khadija bergegas membereskan piring dan membuang bungkusan plastik ke tempat sampah yang ada didepan pintu kontrakannya.
“Maaf ya Kha, belum bisa belikan semua perabotan, aku kira kamu nyari kosan yang sudah ada perabotannya, tadi aku ga bawa kartu debit hanya bawa uang cash sedikit,” ujar Ahmed.
“Ini juga sudah lebih dari cukup Kak, aku sudah bisa hidup dengan nyaman, terimakasih banyak,” ujar Khadija lagi.
“Kak mau sholat disini atau di mesjid?” tanya Khadija.
“Aku sholat di mesjid saja Kha, sekalian pamit, tadi ibu sudah menelpon memintaku pulang, katanya ada hal penting yang harus dibicarakan siang ini,” ujar Ahmed sambil meneguk teh manis hangatnya.
“Baik Kak, hmm,” ucapan Khadija tersendat.
“Ada apa?” Ahmed menatap lekat wajah gadis itu.
“Kak jangan sampai membuat ibu Kakak kecewa, aku bukan siapa-siapa dan aku tidak mau seandainya dengan Kakak memilih aku, Kakak menjadi orang yang durhaka.” Khadija menunduk tak berani menatap tatapan tajam lelaki itu.
“Insya Allah, semua akan baik-baik saja, cukup bantu aku dengan doa,” ujar lelaki itu dengan penuh penekanan seolah hendak meyakinkan kalau dia bisa mengantongi restu dari ibunya. Khadija hanya mengangguk dan berusaha tersenyum.
“Jaga diri baik-baik, jangan lupa sholat, aku hanya bisa menitipkanmu pada Allah disini, aku harus kembali ke Bandung untuk menyelesaikan kuliah di semester terakhirku,” ujar Ahmed memberikan petuah-petuah pada gadisnya itu.
“Ini nomor ponselku, jika ada apa-apa mungkin bisa pinjam ponsel temanmu dulu untuk menghubungiku,” ujar Ahmed sambil menyodorkan sebuah kartu nama dan Khadija menerimanya.
“Ahmed Al Baihaqi - IT konsultan?” Khadija mengerutkan dahi ketika melihat kartu nama tersebut.
“Sejak sekolah menengah aku sudah menyukai dunia ghaib per IT an, kuliah ini memang sangat tidak nyambung tapi itu memang permintaan ibu yang tidak bisa aku tolak,” Ahmed tersenyum menjawab kernyitan dahi Khadija.
“Aku memiliki sampingan sebagai IT konsultan, dan bisa kerja jarak jauh Kha, sebetulnya aku juga mengambil kuliah kelas malam untuk jurusan IT tanpa sepengetahuan ibu, dia memang terlalu mengatur hidupku, tapi aku juga memiliki tujuan hidup sendiri, dan salah satunya kamu.” Ucapnya panjang lebar sambil menatap lekat Khadija.
“Ingat, jangan lupa sholat ya, aku pulang dulu, assalamualaikum,” Ahmed kini betul-betul bergerak menjauh meninggalkan Khadija yang masih berdiri menatapnya dari balik pintu yang terbuka.
“Wa’alaikumsalam Warohmatullohi Wabarokatuh,” ucap Khadija menjawab salam Ahmed.
Khadija bergegas menunaikan sholat zuhur, menabur doa dan rasa syukur. Dibalik pahit hidupnya tersimpan hal-hal yang diluar dugaan dan membuatnya yakin kalau Allah selalu membersamainya dimanapun dia berada. Setelah lantunan doa selesai dia panjatkan, dia membuka lembaran Al-qur’an kecil yang Ahmed belikan untuknya. Dia membacanya dengan tartil. Suaranya mengalun merdu melantunkan ayat demi ayat sesuai karakternya, sesuai tebal tipis dan panjang pendeknya, ilmu tajwid yang sudah fasih selalu dia terapkan dalam setiap bacaannya.
Alunan suara merdunya terdengar samar sampai keluar kontrakan. Seorang wanita yang tengah berjalan seperti sedang mencari sesuatu semakin mendekat kearah pintu kontrakan yang sedikit terbuka.
“Nayya!” terdengar suara wanita itu memanggil seseorang ketika Khadija menutup bacaannya. Khadija bergeser sedikit untuk melihat keluar dari pintu yang terbuka.
“Maaf Mba, dari tadi saya cari Nayya, eh taunya dia disini,” gadis muda dengan kaos pas badan dan celana diatas lutut menarik seorang gadis kecil yang pagi tadi sempat ditemuinya.
“Iya gak apa-apa Mba, Nayya mau main disini?” ujar Khadija sambil mencubit pipi gembul gadis kecil itu, sementara dia sambil melepas mukenanya. Nayya mengangguk dengan mata berbinar.
“Saya Khalima, kakaknya Nayya,” gadis seksi itu mengulurkan tangan mengajak berkenalan dengan senyum yang mengembang.
“Khadija.” Jawab Khadija sambil menyambut uluran tangan Khalima.