Patah hati membuat Khadija menjadi lebih menutup diri. Air mata yang sejak di perjalanan akan jatuh tanpa mengajaknya kompromi, kini dia tumpahkan sepuas-puasnya. Dari rumah Arsya dia hanya mampir pulang untuk mengambil pakaian ganti yang pagi tadi di tinggalkannya. Dia terlalu malu harus ketahuan menangis di rumah oleh keluarganya sehingga dengan alasan harus masuk lembur, dia pamit pada ibunya untuk kembali ke kontrakan hari itu juga.
Sesampainya di kontrakan dia langsung mengunci pintu, membiarkan semua keluh kesah tumpah. Begitu menyesakkan kejadian yang dia tangkap dengan mata kepala sendiri.
Seseorang yang berjanji akan memperjuangkannya dan memintanya menunggu tiba-tiba berbelok arah tanpa aba-aba. Mungkin jika pada hari itu Ahmed membiarkannya pergi, hatinya tidak akan seluka ini karena pada awal Khadija tahu kalau hubungan yang baru akan mereka mulai itu terhalang restu.
Mata Khadija sudah bengkak, entah berapa jam dia membiarkan semua yang menyesakkan itu keluar bersama air matanya. Dia masih terduduk di pojok tempat tidur bersandar lemah pada dinding tembok. Sisa isakannya masih terus mengalun meskipun sudah beberapa jam menangis. Ditepuk-tepuknya dada yang masih terasa sesak itu berharap bebannya akan segera berpindah. Ini merupakan pengalaman pertamanya patah hati, dia bersumpah tidak ingin merasakan untuk kedua kalinya.
Adzan maghrib mengalun, mengajaknya melangkah malas kekamar mandi. Di ambilnya handuk yang tergantung pada kastop di belakang pintu. Dia bergegas membersihkan diri yang sudah dia tidak pedulikan sejak siang tadi. bahkan dia melewatkan makan siang. Selera makannya sudah hilang entah kemana.
Setelah selesai membersihkan diri, dia mengambil wudhu, kemudian menunaikan ibadah sholat magrhib dengan khusuk. Sesekali air matanya masih saja mengalir tanpa komando setiap bayangan menyakitkan itu terlintas di benaknya.
Setelah sholat dia merasakan lemas luar biasa karena memang belum masuk makanan dari siang tadi, namun dia hendak mengabaikannya. Setelah mengaji beberapa surat, dia melipat mukena dan menyimpannya kembali. Dia tak hendak pergi kemanapun, hanya membaringkan diri dengan mata menatap kosong ke langit-langit.
“Sebegitu menyakitkannya ya Allah, kenapa Engkau menghadirkan dia jika pada akhirnya hanya akan membuatku merasakan kepedihan ini, apakah memang di dunia ini tidak ada seorang pun yang Kau ciptakan yang bisa menerimaku, hanya almarhum ayah yang begitu menyayangiku meskipun dia selalu bertentangan dengan ajaran-Mu, ibu, ah aku tidak pernah merasakan jika dia menganggapku sebagai seorang anak, dia selalu mengungkit kesalahan-kesalahan ayah setiap kali marah padaku, aku menyayanginya ya Allah meskipun aku tak tahu apakah dia benar-benar menyayangiku. Apakah akan ada saatnya aku bisa bahagia?” Isakan lirih kembali mengalun.
“Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan, sakit ini begitu membekas, maafkan aku yang terlalu berharap pada makhluk ciptaan-Mu. Aku tahu jika semua darah dagingku bukan tumbuh dari harta halal, aku tahu ayah tidak memiliki pekerjaan yang baik, tapi apakah tidak ada kesempatan untukku bahagia dan memperbaiki segalanya. Aku tidak bisa memilih dari keluarga mana aku dilahirkan, bukankah Engkau yang membiarkanku lahir dari keluargaku? Engkau membiarkan aku tumbuh dari uang haram itu, terus apakah semua ini salahku? Apakah kepedihan ini adalah bentuk ketidakpantasanku untuk bersanding dengannya orang dari keluarga baik-baik? Begitu menyakitkan ya Allah...." Khadija kembali bergumam dalam hatinya sementara air mata terus mengalir, merembes di pipinya.
Tok Tok Tok
Suara ketukan pintu terdengar nyaring. Khadija dengan malas membukanya setelah menghapus air matanya.
“Dija ayo ikut.” Khalima sudah berdiri di depan dengan menggendong Nayya, dia menarik lengan sahabatnya itu.
“Kemana?” Gadis itu dengan malas menjawab.
“Nayya hari ini menang lomba mewarnai, dia mau merayakannya, iya kan Nayya?” Khalima melirik kepada gadis kecil dalam gendongannya. Nayya hanya mengerjap-ngerjap dan mengangguk, mengingat pesan kakaknya, kalau di tanya apa-apa harus bilang iya.
“Ya udah sebentar." Khadija mengambil kerudung instan dan mengikuti langkah Khalima setelah memastikan pintu kontrakannya terkunci.
Khalima berjalan sambil menggendong Nayya, dia mengajak Khadija memasuki sebuah mobil yang sudah terparkir di depan rumahnya.
“Kamu duduk di depan, ya? Nayya suka ingin tiduran kalau jam segini, jadi butuh bangku yang lebih luas,” ujar Khalima sambil masuk dan duduk di kursi belakang.
“Aku saja bareng Nayya, kamu didepan." Khadija meminta tukar tempat.
“Nayya bilang dia ingin sama aku, iya kan Nayya?” Khalima bertanya pada adik perempuannya dengan membulatkan mata, berharap gadis kecil itu masih mengingat perintahnya untuk hanya bilang iya.
“Iya.” Nayya berkata sambil mengerjap-ngerjap bingung akan kondisi yang sedang terjadi.
“Ayo cepetan nanti keburu malam!” Suara Rasyid dari belakang kemudi membuyarkan perdebatan dua gadis itu. Akhirnya Khadija merasa tidak enak dan mengalah. Dia membuka pintu depan dan duduk di samping Rasyid.
Honda Jazz merah itu terus merayap, mengikuti keramaian jalanan di malam minggu. Akhir weekend yang biasa di pakai oleh anak-anak muda untuk sekedar berjalan-jalan dengan pasangan. Hanya obrolan-obrolan ringan yang terjadi untuk memecah kecanggungan dua orang yang duduk di kursi depan. Dalam hal ini membawa Nayya merupakan ide yang layak di acungi jempol. Bagaimanapun dengan tingkah lucu gadis itu suasana menjadi lebih cair.
Setelah hampir setengah jam, akhirnya mereka berhenti di parkiran sebuah mall besar di kota Bekasi. Khadija berbalik menatap Khalima yang sedang mempersiapkan Nayya untuk turun. Dengan wajah cemberut dia melemparkan complain kepada sahabatnya itu.
“Ima, kenapa ga bilang acaranya di mall, aku pakai baju kayak gini enggak malu? “ Khadija insecure dengan penampilan dirinya yang hanya memakai kaos longgar lengan panjang, celana bahan dan sandal jepit yang setiap hari di pakainya. Sebuah kerudung instan berwarna pastel memang cukup menolong penampilannya akan tetapi tetap saja dia tidak percaya diri.
“Udah sih, ga ada yang aneh, ayo!” Khalima bergegas turun karena Rasyid sudah turun duluan dari tadi. Dia menggendong Nayya biar lebih cepat jalannya.
Akhirnya Khadija mengikuti kakak beradik itu. Langkahnya dipercepat menjejeri Khalima yang berjalan cepat demi membuat beban yang digendongnya terasa lebih ringan. Mereka menuju ke lantai dua mall tersebut di mana di sana ada berbagai wahana permainan anak di samping food court. Khalima memilih sebuah tempat duduk yang ada sofa panjangnya demi lebih gampang mendudukkan balita montok yang di bawanya.
“Ima, aku ga bawa uang,” bisik Khadija yang memilih duduk di samping Khalima dan Nayya, sementara Rasyid duduk sendirian di kursi seberang.
“Tenang, hari ini aku yang bayar,” ujar Khalima dengan tersenyum bangga.
“Emang kamu punya duit?” Terdengar Rasyid menyela, rupanya bisik-bisik mereka terdengar oleh pemuda itu.
“Ya tenanglah, Kak, gini-gini juga aku kan selalu memiliki tabungan tersimpan." Khalima mencebik kepada Kakaknya. Rasyid hanya mendelik menatap adiknya yang terkadang menyebalkan itu. Seorang waitress datang menyodorkan menu kepada mereka dan memecah perdebatan kecil diantara keduanya.
“Silhakan menunya, mau pesan apa saja?” Waitress itu masih berdiri sambil menunggu ketiga orang itu membolak-balikan buku menu.
“Aku pesen ice chocolate dengan topping float, sama ice cream goreng,” ujar Khalima.
“Saya pesan Beef burger cheese, sama hot coffee mocacino, di tambah sama potato shrimp chrispy,” ujar Rasyid.
Khalima mencolek lengan Khadija, menyuruhnya segera memesan, gadis itu masih bingung dengan menu-menu makanan mall yang tidak pernah dia makan sebelumnya. Jangankan buat makan di mall, berkunjung ke mall saja ini baru kali kedua baginya. Dulu dia pernah berkunjung ke mall waktu sekolah menengah, itupun bersama teman kelompoknya untuk membeli buku tugas. Dan dia masih roaming dengan menu-menu itu. Akhirnya dia menemukan pilihannya setelah beberapa menit berpikir.
“Saya nasi goreng spesial mba, sama es teh manis.” Menu yang standard dan familiar akhirnya menjadi pilihan Khadija.