Bab 10

1126 Kata
Mereka menaiki mobil online, sepanjang perjalanan wajah Khalima tampak di tekuk. Melihat roman yang tidak menyenangkan membuat Khadija mengurungkan niatnya untuk sekedar menanyakan sebuah kebohongan, yaitu alasan Khalima yang mengatakan kepada Rasyid kalau ini adalah acara ulang tahunnya. Sementara wajah Nayya tampak sumringah, bagaimanapun dia kini sudah memiliki boneka frozen keluaran terbaru. Perjalanan tidak memakan waktu lama, sesampainya di kediamannya Khalima langsung turun menggendong Nayya, sementara Khadija langsung menuju kembali ke kamar kontrakan nomor 304. Ceklek Dia membuka gagang pintu kontrakan, masuk ke dalam dan menanggalkan kerudungnya. Dia duduk berselonjor di lantai. Rupanya hatinya masih belum bisa berdamai, pedih, sesak dan sakit itu kembali terasa. Dia menyegerakan berwudhu dan menunaikan sholat isya, setelah itu dia menghabiskan waktu untuk bertadarrus, membaca lembaran demi lembaran bahasa cinta dari Tuhan. Hatinya perlahan mulai damai, dingin dan tenteram. Hampir satu jam Khadija bertadarus sampai suara ketokan pintu membuatnya terhenti. Tok Tok Tok Khadija mengakhiri bacaannya, dia menyimpan kembali Al-Qur’an mini tersebut diatas lemari. Dia bergegas membuka pintu tanpa melepas mukena. Berdasarkan tebakannya, pastilah Khalima yang datang mengganggunya malam-malam seperti ini. “Maaf jadi ganggu, aku tadinya mau nunggu kamu selesai ngaji, tapi udah lima belas menit disini, ga berhenti-berhenti.” Sambil terkekeh, tamunya itu menjelaskan panjang lebar. “Kak Rasyid ada apa? tumben malem-malem bertamu, tapi aku mau tidur Kak, besok kerja,” ucap Khadija datar. “Mau ngasih ini, saya lupa tadi ga ngasih kado ulang tahun buat kamu, semoga suka,” ucap Rasyid sambil memberikan sebuah kotak persegi berukuran kecil. “Ga usah Kak, aku ga ulang tahun,” ucap Khadija menolaknya. “Eh, kho gitu, gak apa-apa, ga usah sungkan, ini terima ya.” Rasyid mengambil lengan Khadija yang masih terbalut mukena kemudian meletakkan kotak persegi tersebut kemudian dia berbalik badan. “Kak!” Khadija belum sempat menyelesaikan ucapannya, ketika Rasyid menghentikan langkahnya dan berbalik. “Kalau kamu ga mau terima, kasihin kucing aja, assalamualaikum,” ucapnya kemudian berjalan cepat menuju ke rumah utama. “Wa’alaikumsalam.” Khadija sejenak termenung kemudian kembali masuk kedalam kontrakan dan mengunci pintunya. Di letakkannya kotak persegi itu di samping Al-qur’an yang di bacanya tadi, mukenanya dia lepas dan di gantung di kapstok belakang pintu. Dia merebahkan tubuhnya, dirinya sudah memutuskan untuk perlahan mengobati semua luka itu dengan caranya sendiri. Lelah hati dan pikiran membuatnya terlelap dengan cepat. Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh pagi, dengan setengah berlari Khadija keluar kontrakan setelah merasa pakaiannya cukup rapi. Setelah shubuh ternyata hatinya belum bisa di kondisikan, sehingga dia bersandar dan menangis kembali sampai akhirnya ketiduran, dan inilah hasilnya, gadis itu bangun kesiangan. “Hai Dija, ngapain lari?” Terdengar Khalima berteriak dari teras rumahnya, dia sudah tampak basah dengan keringat setelah olah raga pagi. “Telat, takut ketinggalan jemputan!” Khadija berteriak tanpa menoleh, jalannya setengah berlari bergegas menuju tempat pangkalan bus jemputan yang biasanya berangkat pukul tujuh pagi. “Ngapain sih teriak!” Rasyid yang sudah rapi dengan gaya casualnya yang banyak membuat wanita rela mengantri untuk jadi pacarnya. Lelaki itu sudah siap untuk berangkat kuliah sekalian jemput Merlina. “Au ah.' Khalima melengos, dia masih kesal ketika acaranya semalam terganggu akan kedatangan Merlina. Gadis itu kemudian mengambil botol air mineral dan menengguknya sebelum dia pergi. Rasyid hanya menggelengkan kepala melihat tingkah adik perempuannya. Dia bergegas mengendarai sepeda motor honda gold wing kesayangannya, motor batangan yang membuat penampilannya terlihat semakin gagah. Dia mengendarainya dengan pelan sambil menikmati hiruk-pikuk kesibukan pagi hari. Belum beberapa lama dia berkendara, terlihat seseorang yang tidak asing baginya tengah berdiri di tepi jalan dengan wajah seperti kebingungan. Rasyid menghentikan sepeda motornya didepan wanita itu. “Khadija, lagi ngapain?” Rasyid menyapanya. “Saya ketinggalan jemputan Kak, ini lagi mikir mesti pake transportasi apa yang bisa cepet tapi murah, tadi saya tanya tukang ojek di pangkalan itu, harganya lumayan,” ucap Khadija terlihat bingung. “Kalau mau murah, kamu pake angkutan umum, tapi turun naiknya berkali-kali, bisa-bisa pukul sepuluh kamu baru sampe,” ujar Rasyid. Khadija tampak tercenung sejenak. “Berarti memang ojek ya Kak yang paling cepat?” Khadija melontrakan pertanyaan. “Udah ayo, aku anterin, nanti kena SP, kamu baru sebulan kerja udah bikin telat,” ucap Rasyid sambil menyodorkan satu helm yang tadi dia persiapkan untuk Merlina. Khadija tampak masih berfikir. “Udah jangan kebanyakan mikir, kamu mau telat atau mau cepat? kalau mau cepat, buruan naik.” Ucapan Rasyid membuat apa yang di pikirkan gadis itu buyar, dia langsung mengenakan helm dan naik keatas sepeda motor. “Udah siap?” Rasyid memastikan. Khadija mengangguk. “Udah siap belum Dija?” Rasyid lebih mengeraskan suaranya. “Dari tadi aku manggut-manggut, Kak, itu tandanya udah siap,” ujar Khadija kesal. Rasyid menggelengkan kepala sambil bergumam. “Mana bisa lihat neng, kamu kan diemnya di belakang, emangnya pundak abang ada matanya?” gerutu Rasyid namun dengan suara setengah pelan sambil melajukan kendaraannya. “Apa, Kak?” Rupanya Khadija mendengar samar ucapannya. “Emh, engga, anu, itu kamu kenapa ga pesan transportasi online aja, itu biasanya lebih murah daripada yang offline." Rasyid mengalihkan pembicaraan. “Ya kan itu harus di pesannya pake aplikasi Kak,” ujar Khadija. “Ya kan tinggal download,” ujar Rasyid santai sambil sesekali mencuri pandang bayangan penumpangnya dari spion. “Mana bisa download Kak, HP aja aku ga punya,” ujar Khadija datar. “Memang kamu belum buka kado ulang tahun dari aku?” tanya Rasyid lagi. “Emhh apa Kak?” Rupanya suara bising bus warga baru membuat Khadija tidak bisa mendengar dengan jelas. “Kado, kado ulang tahun, emang belum dibuka?” Rasyid berbicara dengan volume maksimal. “Oh itu, belum Kak,” jawabnya simpel. Rasyid hanya menggeleng-geleng kepala, di mana-mana semua wanita yang pernah dekat dengannya akan selalu antusias ketika mendapat sebuah kado. Wanita yang satu ini memang sedikit berbeda dari kebanyakan wanita lainnya. Itulah yang terlintas dalam pikiran Rasyid. Terlebih gadis yang kali ini di boncengnya duduknya saja begitu menjaga jarak dengannya, sepertinya dia menyimpan tasnya untuk menghalangi tubuhnya menempel dengan Rasyid. Wanita yang aneh, semua cewek yang pernah dia kenal ketika di bonceng berdua seperti itu biasanya sengaja nemplok dan mencuri kesempatan untuk memeluk sang idola kampus tersebut. Sepeda motor yang di tumpangi mereka, kini sudah mulai memasuki kawasan industri, ternyata dengan kecepatan maksimal yang di pacu oleh sang ahli, Khadija datang lebih cepat daripada bus jemputan yang harus memutar rute untuk berhenti di beberapa titik jemput karyawan. Sesampainya di sana, Khadija bergegas turun dan memberikan helm kepada Rasyid. “Makasih Kak,” ucap Khadija sambil bergegas hendak meninggalkan Rasyid. “Eits, makasih aja, ini ga gratis lho.” Ucapan Rasyid sontak membuat langkah gadis itu terhenti dan berbalik seraya menatap kesal lelaki itu. “Maksudnya apa? kalau minta bayar, nanti aku bayar tapi abis gajian,” ucap Khadija dengan sorot mata tajam. Rasyid malah terkekeh melihat ekspresi Khadija seperti itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN