Tentu saja Arini terkejut mendengar nama Hening, dia belum lama mengenal gadis dua puluh tahun itu. “Mama … kenapa Mama memilih Hening?” tanyanya tergagap. Tidak menyangka mertuanya memilih Hening.
Risma menghela napas panjang. “Ada banyak alasan, Mama sudah sangat mengenal Lastri, dari almarhum neneknya yang dulu sudah bekerja lama di rumah ini. Keluarga mereka itu dikenal baik dan setia. Budi, suami Lastri, juga begitu. Jadi Mama sudah yakin dengan keluarga mereka secara turun temurun. Mama juga yakin anak-anak mereka dididik dengan baik. Keturunannya yang jelas, dan Mama nggak ragu. Lalu, Hening anak yang penurut, cerdas dan fisik yang sempurna.”
Arini menelan ludahnya kelu, baru saja dia kesal dengan Devan yang berselingkuh dengan sang mantan, kini mama mertuanya mengusulkan Devan untuk menikah lagi karena menginginkan hadirnya generasi penerus keluarga.
“Maaf, Rin. Kalo kamu tidak berkenan, Mama juga nggak maksa. Tapi setidaknya kita bisa mengacaukan pikiran Devan yang sekarang hanya tertuju ke Karen. Tenang saja, Mama sudah tahu sifat Hening, dia bisa diatur dan pasti menurut. Dia bukan perempuan perebut.” Risma menepuk lembut pundak Arini, dia memang selalu mendukung menantunya itu.
Risma lalu melangkah pergi meninggalkan Arini duduk sendirian di ruang keluarga, memberi ruang Arini untuk memikirkan usulannya.
Meraih ponsel dari atas meja, Arini tergerak menghubungi suaminya.
“Halo? Devan tidak bisa diganggu.”
Arini terkejut, ternyata Karen yang mengangkat ponsel Devan. Dia dengan cepat memutuskan hubungan.
Wajah Arini menggeram, tampaknya pikirannya berubah, menyetujui usulan mama mertuanya.
***
Devan terdiam seribu bahasa setelah berbicara dengan mamanya yang bernada mengancam, bahwa dia harus menikah dengan Hening, anak asisten rumah tangganya. Jika Devan menolak, Risma akan menyerahkan perusahaan ke pihak manajemen, dan ruang gerak Devan yang pasti terbatas.
Devan tidak berdaya jika mamanya keras berkehendak, apalagi sudah mengeluarkan ancaman. Yang cukup mengejutkan, ternyata Arini sudah menyetujui usulan mamanya.
“Kamu semestinya bersyukur bahwa Mama tidak mengusik hubunganmu dengan Karen. Sebenarnya bisa saja Mama bersikeras, tapi Mama pikir Arini juga bersalah. Sejak awal dia tidak mengindahkan saran Mama untuk menjaga makanan," ujar Risma, menyesakkan sikap Arini yang tidak bisa menjaga pola makan dan makan semaunya, sehingga menyebabkannya tidak bisa mendapatkan keturunan.
Risma lalu menyerahkan sebuah catatan di hadapan Devan, dan menyuruhnya untuk menandatanganinya.
Devan berpikir cukup lama sebelum menandatangani perjanjian itu, namun saat dia melihat sebuah catatan bahwa dia akan bercerai dari Hening setelah kehadiran seorang anak, dia pun menandatanganinya. “Apa Mama yakin Hening bisa punya anak?” tanyanya.
“Tergantung permainan kamu,” balas Risma menggeram. “Arini memintamu berhubungan intim dengan Hening dengan berpakaian, itu memang tidak ada di dalam perjanjian ini,” lanjutnya mengingatkan.
Devan merasa tantangan yang diberikan mamanya sangat menarik. Delapan tahun pernikahannya dengan Arini, mamanya tidak pernah mengeluh soal keturunan, bahkan saat dia berhubungan dengan Karen, mamanya yang seolah menutup mata. Dan sekarang kenapa mamanya menyinggung tentang keturunan, bahkan memaksanya menikah dengan perempuan lain.
Devan sering mendengar nama Hening di pembicaraan mamanya dengan seorang asisten rumah tangga yang bekerja di rumahnya selama belasan tahun, Lastri, dan dia tahu Hening adalah anak Lastri. Namun, dia tidak mengenalinya.
***
Malam itu Devan makan malam di rumah, dia akhirnya melihat sosok Hening yang tengah melayani keluarganya sedang makan malam. Entah kenapa d**a Devan berdetak cepat saat Hening menoleh ke arahnya, melayani makannya.
Tampak Arini was-was memperhatikan gerak mata Devan yang tajam ke sekujur tubuh Hening, dan dia hanya menghela napas panjang.
“Hening, ambilkan minuman untuk pak Devan,” suruh Risma tiba-tiba. Hening dengan cepat menuangkan air minum untuk Devan ke dalam gelas, dan meletakkannya di hadapan Devan.
Saat meletakkan gelas, Hening merasa diperhatikan Devan, dan matanya refleks melirik ke wajah Devan. Dia terkesiap, Devan ternyata juga sedang menatapnya. Cepat-cepat Hening mengalihkan pandangannya, lalu pergi.
“Sepertinya dia belum tahu?” tanya Devan, menilai sikap Hening barusan.
“Iya, dia belum tahu soal ini. Tapi Mama yakin dia bisa diajak kerjasama. Iya, ‘kan, Rin?”
“Iya, Ma.”
Devan memicingkan matanya saat memperhatikan istrinya yang tampak tidak berdaya, merasa heran dengan sikap pasrahnya.
***
Pagi itu Hening mendapat perintah dari Risma untuk membawakan tas kerja Devan ke mobil, karena Arini sedang menerima panggilan dari karyawan butiknya. Hening pun berjalan dengan cepat menuju sedan mewah yang sudah dinaiki Devan.
“Letakkan saja di belakang,” ujar Devan.
Hening membuka pintu penumpang dan meletakkan tas kerja Devan di atas bangku. Tampak Devan memperhatikan Hening dari kaca spion luar dan dia tersenyum dalam hati, yakin gadis itu belum tersentuh dan sudah membayangkan malam pertamanya kelak dengan Hening.
Hening tergesa-gesa melangkah menuju dalam rumah, langsung pergi menuju area belakang dan menemui ibunya yang sedang mengurus makanan di dapur belakang, bersama para pekerja lainnya.
“Bu, aku kok heran ya sama bu Risma,” ujar Hening pelan.
“Heran kenapa?” Lastri balik bertanya.
“Dari semalam dia itu suruh-suruh aku melayani pak Devan.”
Lastri pura-pura terkejut, dia sudah tahu rencana Risma dan dia tidak kuasa menolak. Namun, dia tetap menyerahkan keputusan akhir di tangan Hening.
“Padahal ada bu Arini, Bu, dan seharusnya bu Arini yang melayani suaminya,” sesal Hening. “Barusan aku juga disuruh bawakan tas kerjanya pak Devan. Aku risi, Bu.” Hening masih mengingat gelagat Devan yang menurutnya aneh dan dia tidak menyukainya.
“Mungkin bu Arini sedang sibuk,” kilah Lastri.
Lastri duduk dan menghela napas panjang. Wajahnya menunjukkan keprihatinan.
“Ada apa, Bu?” tanya Hening, heran melihat ekspresi wajah ibunya.
“Ning. Ada yang ingin Ibu sampaikan kepadamu. Tapi Ibu mohon kamu tidak terlalu kaget.”
Hening merasa was-was. Tiba-tiba terlintas di benaknya tentang keadaan ayahnya. “Apa, Bu?”
“Bu Risma memintamu menikah dengan pak Devan.”
“Ha?”
Hening langsung merasa lemas, kontan menggeleng.
“Dengarkan Ibu. Ibu nggak maksa, tapi bu Risma yang meminta dan dia bersedia mengirim ayah ke Singapore untuk mendapatkan pengobatan yang terbaik di sana ... sampai sembuh total. Hm ... terserah kamu.”
Tangan Hening gemetar tak terkendali. Cepat-cepat Lastri menenangkannya.
“Semua tergantung keputusanmu, bu Risma juga nggak akan memaksa. Tapi kalo kamu menikah dengan pak Devan, ayah bisa lekas sembuh.”
Hening menggeleng, dadanya sesak dan dia menangis.
“Ning. Ibu juga nggak setuju, karena Ibu sangat mengenal pak Devan. Tapi … ayahmu….” Lastri tidak sanggup menatap wajah Hening. “Bu Risma bilang setelah kamu berhasil mengandung dan melahirkan, kamu akan diceraikan. Mereka … hanya mau anak yang kamu kandung.”
Hening berusaha menenangkan diri. Dia melirik ke ibunya yang tidak berdaya. Lalu pikirannya tertuju ke ayahnya yang sedang sakit parah.
Tak lama kemudian, seorang pelayan mendatangi Lastri dan Hening, “Lastri, Hening, kalian dipanggil bu Risma ke kamarnya.”
Bersambung