"Turunin gue di depan toko pak Budi, jangan los sampai sekolahan," kataku pada Adam, menepuk bahunya sekali.
Aku hanya tidak ingin Erina ataupun yang lainnya tahu kalau ternyata cowok most wanted ini baru saja membonceng salah satu siswi tertindas dan terbelakang sepertiku ini. Cukup sudah kejadian kemarin yang membuatku tidak bisa bersekolah dan menanggung rasa malu yang masih tersisa sampai sekarang.
"Sekalian aja. Lumayan Lo bisa simpan tenaga, daripada lelah jalan sampai sana. Lagian kan Minggu lalu kaki lo sakit, jangan dipaksa buat jalan. Abaikan aja tanggapan mereka ke Lo tuh kayak gimana," ujarnya yang menolak permintaanku.
Adam memang baik, tapi juga menyusahkan. Tidak hanya menyusahkan dirinya, tapi juga diriku. Kalau Erina tahu, bukan dia yang diperlakukan kasar, tapi aku lah yang menjadi samsaknya. Ini lah yang dinamakan buruk muka cermin dibelah.
"Tolong turunin gue atau atau gue turun sendiri tanpa Lo hentiin motor Lo. Gue gak mau berurusan terlalu panjang," aku hanya mau memberikan dua opsi itu. Dia tinggal memilihnya saja, dan aku rasa itu tidak terlalu berat untuknya.
Adam diam, dan aku tidak tahu jawaban apa yang dipilihnya. Aku tidak bisa masuk ke dalam benaknya hanya untuk tahu apa yang dia inginkan. Tapi, tidak lama setelah melewati perempatan jalan terakhir dekat sekolah, dia berhenti tepat di depan toko serba ada milik pak Budi. Memarkirkan motornya dan menguncinya stang motornya. Cukup membuatku berhasil mengernyitkan dahi kebingungan.
"Loh, kok lo parkir di sini? Seharusnya lo parkir di parkiran sekolah, biar motor Lo aman, gak kemalingan," ujarku sedikit memprotes. Siapa suruh dia tidak berkata apa-apa, hanya diam dan diamnya ini membuatku kesal dengannya. Tapi sekalinya bertindak malah seperti ini, parkir motor di depan toko. Bagaimana kalau nanti dia kemalingan? Siapa lagi yang bakal di salahkan kalau bukan aku.
"Biarin aja di sini, pasti aman kok. Lagian ada cctv di setiap sudut toko pak Budi. Kalau ada yang maling, pasti ketahuan," ia turun dari motornya dengan begitu enteng, tidak memikirkan bagaimana nasib motornya ke depannya.
"Dan itu lah fungsinya cctv," imbuhnya.
Apa yang dia katakan membuatku teringat dengan satu hal, dan aku harus membahas ini sampai ke akar-akarnya. "Tolong hapus rekaman cctv itu, jangan serahkan ke pihak kepolisian ataupun pihak sekolah. Nama Erina harus tetap bersih," pintaku.
Malah aku menangkap dia menyunggingkan senyumnya penuh misteri. "Sebenarnya, kepala sekolah juga tahu dan pernah membahas ini sama gue, tapi gue yang minta buat disimpan dulu. Gue tahu lo bakal nolak dan membersihkan nama Erina, gue juga tahu kalau nantinya Lo yang berkorban untuk cewek ngeselin yang satu ini, karena itu lah gue bekerjasama dengan kepala sekolah. Tapi tetap, kalau nanti si Erina itu kambuh lagi berkelakuan buruk sama lo, tidak hanya dia saja yang gue laporin, tapi mama dan papanya juga bakal gue laporin ke polisi. Gue gak main-main kalau masalah itu," katanya yang yang cukup membuatku terkejut. Adam lupa kalau mama dan papanya Erina adalah mama dan papanya aku, meski aku hanyalah anak angkat.
Dan, ternyata selama ini pihak sekolah tahu, tapi karena Adam tahu apa yang aku inginkan, dia membungkam semuanya. Kini yang harus aku lakukan demi menyelamatkan nama baik keluarga adalah mencuri rekaman cctv itu dan menghapusnya. Atau setidaknya aku berhasil meminta Adam untuk menghapusnya.
"Gue minta sama lo, cepat hapus filenya. Erina sudah tobat, dan dia tidak senakal yang Lo kira," dan aku kali ini berbohong. Baik di luar rumah ataupun di dalam rumah, Erina masih mendarah daging dengan kenakalannya yang begitu luar biasa.
Bukannya mengiyakan, Adam malah mengeluarkan HPnya, kemudian menyodorkan benda persegi panjang nan ajaib itu kepadaku. "Gue bakal hapus kalau lo kasih gue nomor HP lo. Kalau gak, sorry to say, gue juga tidak sebaik itu," ucapnya.
Kulihat HP Adam lamat-lamat. Bukan karena aku tidak mau memberikannya, tapi kenyataannya aku tidak punya HP, apalagi nomor HP yang bisa aku serahkan kepadanya. Lalu aku harus memberikannya apa sebagai gantinya? Angka togel? Tidak mungkin.
"Tapi lo janji setelah ini Lo bakal hapus file cctv itu kan?" Tanyaku.
Dia mengangguk. "Of course, gue bakal hapus. Pantang buat gue bohong sama apa yang gue ucap," ujarnya begitu percaya diri dan menyakinkan.
"Dan Lo bisa jamin kalau pihak sekolah bungkam? Tidak akan membahas masalah pembullyan kemarin, dan menganggap semuanya hanyalah angin lalu. Lo bisa jamin itu?" Tanyaku sekali lagi. Kalau di mengiyakan, aku punya ide untuk mengelabuinya. Yang terpenting untuk sekarang rekaman cctv itu dihapus dan catatan buruk keluarga tidak ada di file HP Adam.
"Iya, Abila. Lo tenang saja. Selama gue dapat 12 angka itu, rekaman cctv gue hapus, pihak sekolah juga gak bakal bahas masalah keburukan keluarga lo lagi. Gue bisa jamin itu."
Apa yang Adam katakan begitu membuatku yakin sampai akhirnya aku memutuskan mengambil HPnya, kemudian mengetik 12 angka yang sebenarnya hanya terlintas acak di kepalaku. Itu semua palsu. Aku tidak mungkin memberikan nomorku kalau HP saja aku tidak punya. Melawak!
"085900XXXXXX." Adam membaca ulang rangkaian angka yang aku tuliskan, dan kemudian aku tidak tahu apa yang dia lakukan dengan angka itu. Hanya saja, aku melihat dia tersenyum sembari menatap HPnya. Kala dia tersenyum, kemudian alisnya terangkat satu, dan dia memainkan bibirnya, entah kenapa dia terlihat begitu tampan dan logika mengapa pria ini diberikan label most wanted itu sangat layak didapatkannya.
"Lihat ini, biar lo percaya," dia memperlihatkanku layar HPnya bahwa dia habis menghapus rekaman cctv yang memperlihatkan bagaimana Erina memperlakukanku dengan cara tidak layak di lingkungan sekolah.
Adam bisa diajak kerja sama dan dia bisa dipercaya. Pantas jika dia menjadi ketua OSIS, dia bisa diandalkan. Mungkin, aku tidak terlalu yakin.
"Oke, terima kasih. Lo tepatin omongan Lo, gak cuman bual doang," kataku.
Aku menunduk melihat sepatuku yang lusuh. Yang sebenarnya, aku hanya menyembunyikan senyumku saja. Senang rasanya bisa seperti ini, ada yang bisa diajak kerja sama dan bisa dipercaya, tidak hanya karena ada maunya saja.
"Nanti pulang sekolah, tunggu gue ya. Kita pulang bareng juga."
"Hmm?" Kuangkat kepalaku melihat Adam yang melipat bibirnya ke dalam, sepertinya dia sedang menahan senyumnya juga, sama sepertiku. "Tadi lo bilang apa?" Tanyaku.
Dia menggeleng kemudian tertawa. Kalau aku boleh jujur, dia sangat manis dengan tawanya yang lepas seperti itu, aku pangling. "Gak. Gue gak ngomong apa-apa. Mendingan kita ke masuk sekolah aja, kita udah telat banget."
Aneh sekali. Padahal aku sangat yakin dia bilang sesuatu, tapi sayangnya aku malah tidak memperhatikan omongannya dan ini lah akibatnya. Sepertinya aku dibohongi olehnya.
"Eh, tapi, motor Lo gimana?" Tanyaku.
"Gak apa-apa, biarin aja di sini, kita jalan bareng masuk ke sekolahan. Kalau gue tinggal Lo di sini sendiri, terus gue lebih dulu masuk sekolah, bisa-bisa Lo gak dibukain pintu gerbang, sedangkan kita sudah telat hampir 30 menitan," ujarnya yang kemudian menyadarkanku akan satu hal kalau dia adalah ANAK dari PEMILIK SEKOLAH. Dia bisa bebas keluar masuk sekolah dengan enaknya. Tanpa beban.
Semakin menyadarkanku kalau sebenarnya aku jauh dari kata pantas. Untuk segala hal. Aku tidak pantas untuk apapun itu.
Adam menarik tanganku di kala aku masih memikirkan tentang ketidakpantasan diriku, menggenggam tanganku cukup erat.
"Jangan pegang tangan gue kayak gini, nanti semua orang bisa salah paham dan pasti gue yang disalahin. Kalau lo mudah, bisa membungkam semuanya, termasuk guru-guru, lah gue? Kagak bisa, gue gak mampu," kataku berusaha menarik tanganku dari genggamannya.
Dia berhenti tapi tidak melepaskan genggamannya. Malah dia semakin mengeratkan genggamannya. "Lo tahu gak? Kalau orang lain bilang gue anaknya yang punya sekolahan ini, gue merasa bangga, gue merasa menang, tapi kalah Lo yang bilang gitu, gue merasa kalau gue tidak pantas untuk itu. Gue merasa terhina dan Lo tahu itu kenapa?" Tanyanya padaku.
Jelas aku tidak mengetahuinya, aku baru mengenalnya dirinya setelah selama ini hanya mengenal namanya, itu pun aku tidak berani berkata kalau aku tahu tentang dirinya, sepenuhnya. Dan sekarang, dia malah memberikanku pertanyaan yang sedemikian rumitnya ini. Rumit aku mengerti tentang dirinya.
"Gue gak tahu."
Helaan napasnya terdengar jelas olehku. Dia terus menatapku, sedangkan aku tidak seberani itu untuk terus melihat dirinya. Dia terlalu dominan untuk aku yang terbiasa mengalah.
"Karena gue punya segala materi yang kebanyakan manusia kejar, harta, posisi, dan lainnya. Tapi ketika gue ketemu sama lo, gue merasa tidak punya apa-apa," ungkapnya.
"Gue tidak punya rasa sabar yang Lo miliki, dan gue sangat menghargai itu dari Lo," katanya lagi.
Berhasil membuatku bungkam.
***
Nyatanya, meski aku dan Adam berhasil masuk ke lingkungan sekolah, aturan tetaplah aturan. Aku pikir hanya aku saja yang akan dihukum, sedangkan Adam akan terbebas. Alasannya, ya jelas karena dia yang memiliki sekolah ini. Sayangnya, kami berdua malah kena hukuman, keliling lapangan 20 kali dan disaksikan seluruh warga sekolah.
Sebelum memulai hukuman, aku melepaskan jaket milik Adam, memperlihatkan bagaimana mirisnya baju sekolah yang kupakai. Begitu compang-camping. "Terima kasih sudah mau berbaik hati memberikan jaket lo, ini gue kembaliin," ujarku sembari menyodorkan jaket miliknya.
Sayangnya, dia tidak langsung mengambil jaket itu, matanya terlalu fokus melihat baju yang aku pakai. Lalu aku melihat dia mengeluarkan sesuatu dari tasnya, itu adalah baju olahraga yang seminggu lalu pernah ditawarkan untukku pakai.
"Lo ganti baju lo pake baju olahraga gue," katanya.
"Gak perlu," aku menolaknya.
"Ganti baju lo, Abila. Atau gue yang pakein Lo?"
Maksudnya apa? Mentang-mentang dia punya banyak kekuasaan, bisa seenaknya sama aku. Aku menatapnya penuh kekesalan, sedangkan dia malah menaikkan alisnya menantangku. "Lo ambil atau gue pakein?" Tanyanya lagu, terkesan memaksa.
Sayangnya, aku berhasil ditekan olehnya. Terpaksa, mau tidak mau aku mengambil baju olahraga miliknya, "nyebelin banget sih lo!" Kataku sarkas, kemudian berlari ke toilet terdekat untuk menggantinya.
Sekembalinya aku mengganti baju, aku dan Adam lanjut melaksanakan hukuman yang berlaku. Cukup memalukan, rasa malu yang kemarin bertambah, namun kini setidaknya ada yang membersamaiku. Di bawah panas terik matahari, berlari mengelilingi lapangan yang begitu luas sebanyak 20 kali, rasanya aku tidak sanggup. Baru saja mulai sebenarnya sudah membuatku cukup pusing.
"Kalau lo lelah, stop aja dulu. Jangan dipaksa," katanya yang masih sempat-sempatnya mau peduli denganku.
"Gue gak lelah, Lo kali yang lelah sampai ngos-ngosan gitu," kataku.
Namun, sayangnya sepertinya aku harus meralat apa yang aku ucapkan tadi. Seketika dunia berputar begitu cepat dan memainkan keseimbanganku. Satu hal yang aku pikirkan, jangan—
Gelap.