"Kita udah sampai di villa nyokap gue."
Adam berhenti di depan gerbang. Ada kakek-kakek yang datang menghampiri kami, sepertinya ia bertugas menjaga villa ini. Adam juga sempat berkata kalau ada yang menjaga villa Mamanya dan bisa dipastikan tidak akan mengadu pada kedua orang tua Adam kalau malam ini kami akan bermalam di sini. Mungkin Adam sudah kenal dekat dengan kakek penjaga ini hingga ia begitu yakin. Tugasku hanyalah percaya.
Kakek tua renta itu tersenyum pada Adam, itu menyejukkan. Otomatis membuatku ikut tersenyum juga. Rasanya tenang, aneh entah kenapa. Mungkin dia memang benar-benar orang yang baik hingga aku saja yang tidak mengenalnya merasa begitu nyaman. Hanya dengan merasakan senyumnya yang tulus.
"Den Adam ke sini sendiri atau sama Nyonya?" Tanyanya pada Adam yang langsung menunjukku. "Aku bareng sama temenku, Kek. Aku hanya semalam aja di sini. Kebetulan ada tugas projek di dekat-dekat sini."
Adam berbohong. Ingin rasanya memperbaiki jawaban Adam tadi. Aku tidak mau Adam berbohong pada kakek tua ini. Aku yakin kakek ini orang baik. Kalau memang dia demikian, kita mau jujur pun dia pasti akan membantu. Tapi ya sudah lah, Adam lebih tahu kenapa dia bisa berkata demikian.
Kala kakek itu menoleh dan menatapku, masih dengan senyumannya, reflek aku menunduk hormat padanya yang lebih tua dan tidak lupa juga membalas senyumnya. "Selamat sore, Kek." Aku mengulurkan tanganku ke depan kakek itu dan mencium tangannya, salim.
"Saya Abila, temannya Adam."
Kakek itu menepuk-nepuk pelan bahuku. Tidak disangka ia juga mengusap rambutku, pelan dan sangat halus. Aku nyaman dengan usapan ringan itu. Aku bisa merasakan ketulusan hatinya.
"Anak baik," katanya padaku, terus menganggukkan kepalanya kecil. Seakan ia setuju akan sesuatu, tapi aku tidak tahu apa.
Maksudnya apa? Aku baik? Dia tahu dari mana dan mengukurnya dari segi apa? Sedikit membingungkan. Kenapa dia hanya mengatakan itu padaku alih-alih ikut memperkenalkan dirinya? Bukankah itu penting juga. Tak kenal, maka kenalan. Toh aku juga penasaran dengan namanya.
Pun ketika aku menoleh meminta penjelasan pada Adam, cowok itu hanya mengangkat bahunya acuh tak acuh, seakan tidak mau tahu menahu tentang hal ini. Aku pun menilai ia juga kebingungan dengan ucapan kakek ini.
"Kek," Adam mengalihkan perhatian kakek tua ini, dan berhasil. Tanganku dilepaskan kakek ini, dan kini dia menghadap Adam yang sedetik lalu memanggilnya. "Aku ada pesan barang, kira-kira udah sampai belum?" Tanyanya.
"Sudah, Den Adam. Semuanya sudah dimasukkan ke dalam. Memangnya apa isinya, Den? Tumben-tumbenan kirim barang ke sini. Apakah akan ada acara besar di sini?"
"Ah, tidak. Enggak ada acara keluarga kok, Kek. Hanya beberapa barang yang mau aku pakai untuk memperbaiki rumah pohon saja."
"Oalah, begitu ya. Kalau ada yang perlu kakek bantu, panggil kakek saja ke sini. Kakek gak akan kemana-mana, tetap berjaga di depan."
"Siap, Kek."
Lalu aku dan Adam masuk ke dalam villa setelah gerbang benar-benar dibukakan untuk kami. Baru saja kami masih, sudah disuguhkan dengan taman hijau luas dengan satu jalan setapak menuju rumah. Rumah yang terlihat kecil tapi aku yakin tidak sekecil yang aku bayangkan. Itu pasti besar, dan aku yakin itu.
Jujur saja, aku kaget dengan suasana villa yang disuguhkan kini. Penuh dengan warna hijau yang mampu memanjakan mata. Taman hijau, pepohonan hijau, rumah dengan cat putih yang sudah agak memudar, lalu dengan langit yang amat biru tenang. Hijaunya seolah menyeret ke kedamaian, apalagi dengan angin sepoi-sepoi di sini yang lebih sejuk lagi, lalu birunya seakan mengajak berdamai dengan alam semesta. Villa ini benar-benar private, tidak diganggu dengan perumahan lainnya. Bahkan letaknya jauh dari pemukiman warga. Benar-benar private, lebih mendahulukan ketenangan. Ini bagus.
"Lo enggak mau turun?"
"Eh, iya, bentar."
Adam memompa motornya naik turun sebab aku tak kunjung meresponnya. Ternyata dari tadi ia sudah mencoba menyadarkan aku, sedangkan aku masih terlena dengan keadaan villa ini. Malu sekali rasanya mengetahui bahwa diri ini terlalu tidak mengetahui apapun di dunia ini. Aku terlalu terbelenggu pada satu hal yang toxic sampai tidak menyadari kalau di luar sana ada yang lebih indah untuk dipandang, dirasakan, dan diterima. Mungkin kalau aku tidak bertemu dengan Adam, aku tidak akan pernah merasa hal yang baru, datang ke tempat yang tidak pernah terduga sebelumnya, dan lain sebagainya. Karena dia aku bisa merasakannya.
"Ini beneran rumah lo?" Tanyaku, masih sibuk kagum dengan pemandangan nan hijau ini. Kalaupun besoknya aku dihukum oleh Erina, aku tidak akan menyesal telah datang ke sini. Ada sisi dunia lain yang bisa aku lihat dari tempat pijakanku kali ini. "Besar banget, dan tenang. Mama lo beruntung banget punya rumah ini. Dia pasti sering ke sini untuk menenangkan diri."
"Bukan rumah, tapi villa. Eh, tapi rumah dan Villa kayaknya sama aja deh, cuman memang Mama jarang banget ke sini, lebih sering di Jakarta."
"Kok bisa?"
Aku sangat penasaran dengan pembahasan itu, dan tolong sadarkan aku kalau sampai berlebihan. Maksudku, kenapa bisa Mamanya jarang ke sini sedangkan tempat ini bahkan bisa dikatakan surga. Lebih aman, lebih nyaman, lebih tenang dibanding Jakarta. Kenapa?!
"Simpelnya, bokap gue enggak mau jauh-jauh sama nyokap gue, dan nyokap gue juga enggak bisa jauh-jauh dari anak-anaknya. Gue punya kakak dan jujur saja dia yang diberikan kepercayaan sama bokap gue buat urus mall yang kemarin kita datangin," tutur Adam yang tanpa sengaja mengkonfirmasi dugaanku. Aku hanya mengiyakannya, mengangguk kecil.
"Biasanya nyokap ajak kami ke sini pas ada acara keluarga atau ada keluarga yang ulang tahun. Kami bakal adain pesta sampai tengah malam di sini. Tapi sudah tiga tahun lebih nyokap enggak mau ke sini lagi karena kakak gue pernah kecelakaan saat perjalanan ke sini. Karena itu lah villa ini dijaga."
"Mereka tinggal di sini atau di tempat lain?" Sembari aku membantu Adam mengangkat kardus yang ternyata ditaruh di depan pintu rumah.
"Enggak. Mereka enggak tinggal di sini, hanya berjaga saja."
"Mereka?" Tanyaku. Berarti ada satu atau lebih orang lagi yang ada di sini. Mungkin saja keluarga si kakek atau orang lain yang memang dipercaya Mamanya Adam untuk berjaga. Tetap saja aku penasaran, siapa sebenarnya orangnya.
"Istrinya kakek itu. Dia juga berjaga di sini, hanya sesekali membersihkan villa bersama kakek yang juga berkebun di sini. Rumah mereka enggak jauh dari sini. Mereka juga punya anak, tapi gue enggak pernah lihat anaknya kayak gimana. Katanya sih seumuran kayak kita."
Menarik juga kisah di villa ini. Berada di lokasi yang nyaman dan bisa membawa ketentraman, dimiliki oleh keluarga kaya yang meskipun tidak bisa menjaganya namun mampu membayar orang untuk merawatnya hingga keadaanya masih sangat indah seperti ini. Suatu saat nanti kalau aku punya tabungan dan bisa dipercaya memiliki hal yang sama seperti ini, akan aku rawat dengan sepenuh hati, apalagi jika sifatnya bisa memelihara ketenangan hati, jiwa dan pikiran.
Adam mengarahkan ke belakang rumah sebab rumah pohon ada di belakang rumah. Aku cukup penasaran dengan itu, dan bersemangat membawa kardus ini secepatnya ke sana. Lebih cepat lebih baik, bukan? Dengan begitu rasa penasaran juga akan terbayarkan, lunas bayar di muka!
Dan mungkin aku terlalu berlebihan, mendorong dan mengangkat kardus tidak seirama dengan Adam hingga cowok itu berhenti sejenak, menahan kardus sampai aku tidak bisa ikut bergerak dibuatnya. Aku penasaran, lalu aku bertanya padanya, "kenapa stop?"
"Lo enggak sabaran mau ke rumah pohon ya?" Tanyanya.
Kecurigaannya adalah kebenaran bagiku, dan aku tidak mengelak. Menganggukkan kepala seperti anak kecil, "iya. Gue penasaran banget. Karena itu lah, ayo cepat angkat kardus ini, gue mau lihat gimana rumah pohon lo itu. Sebagus apa sampai-sampai gue rasanya pengen cepat-cepat nginep di sana."
Adam berdecak, terheran-heran denganku. "Kalau gitu cepat angkat kardus ini." Dan aku language gerak cepat saat itu juga, mengangkat kardus itu. Rasanya aku ingin berlari membawanya, tapi sayang tempat ini telalu luas. "Luas banget villa lo. Tadi gue pikir rumah lo ini kecil soalnya gue lihatnya dari depan. Tapi gue salah, ternyata memanjang ke belakang." Aku mengakui itu.
"Benar, rumah ini emang kelihatannya kecil, tapi sebenarnya besar juga kok. Dulu kata nyokap gue, ini itu tanah warisan dari orang tuanya. Saat hamil kakak gue baru kepikiran buat ginian, entah buat apa. Gue rasa ini terlalu menyia-nyiakan banyak uang, tapi ya sudah lah. Semuanya sudah terlanjur."
Benar. Aku menyetujui apa yang dikatakan Adam. Semuanya sudah terjadi, tidak ada yang perlu disesalkan. Mungkin maksud Mamanya membuat ini agar nanti semua anak-anaknya, cucu-cucunya, semua anggota keluarga bisa kumpul di satu tempat dan menciptakan momen berkualitas bersama. Terlebih aku rasa ini tempat yang amat sangat cocok digunakan berkumpul dengan keluarga.
"Tapi kalau gue bisa kasih saran, lo jangan terlalu berharap lebih deh sama rumah pohon itu. Rumah pohon itu sudah lama enggak diurus. Kemungkinan sebelum kita pakai itu lagi, kita harus perbaikan beberapa bagian dan bersih-bersih juga. Lo enggak keberatan, kan?"
"Tentu saja tidak. Gue enggak keberatan, sama sekali. Selama ini gue udah terbiasa bersih-bersih, beberes rumah dari pagi hingga paginya lagi."
Aku tidak berani berkata lebih lagi, takut semuanya terbongkar secara tidak disengaja. Adam memang berulang kali menatapku, aku tahu dia mau memancing pembicaraan lebih. Untungnya aku sudah lebih dulu tersadar. Aku berusaha menahan untuk tidak berbicara apapun lagi, kecuali untuk hal-hal penting.
Dan ternyata, setelah mengangkut dua kardus tadi ke rumah pohon yang letaknya di bagian belakang rumah itu, cukup menguras tenaga. Aku dan Adam sama-sama ngos-ngosan, padahal kami melakukannya bersama-sama. Kami menaruhnya ke bawah batang pohon besar yang pertengahan batangnya sudah dibangun sedemikan rupa seperti rumah kecil. Ada tangga yang bisa dipakai untuk naik ke atas sana. Sungguh, aku tidak sabar naik ke sana dan melihat seberapa bahagianya aku kala ada di sana.
"Lo yakin butuh perbaikan?" Tanyaku memastikan. Pasalnya yang aku lihat malah semuanya baik-baik saja. Tidak ada yang salah dengan rumah pohon itu. Masih terlihat bagus, layak dipakai. "Kayaknya semuanya masih aman deh."
"Tangganya perlu diganti. Bahannya dari kayu dan emang udah lama dibiarin di udara bebas kayak gini. Gue juga enggak terlalu yakin apakah masih kokoh atau enggak."
Adam hendak menaiki tangga yang menjadi akses naik ke rumah pohon itu. Setiap anak tangga sengaja ditekan-tekannya untuk melihat seberapa kuat sebenarnya benda itu. Sejauh ini masih aman-aman saja, cukup membuat tenang. Hingga di anak tangga ketiga, Adam dipanggil si Kakek.
"Lo dipanggil tuh," ujarku.
Adam perlahan turun, menoleh ke arah si kakek yang terus melambaikan tangan untuk menghampirinya. "Dia mau ngapain manggil gue. Enggak ngerti orang lagi sibuk apa," dumel Adam. Jujur saja aku tidak suka.
"Lo ke sana aja deh, temui Kakek. Kali aja dia mau ngomong penting sama lo. Masalah tangga, jangan khawatir. Gue yang ambil alih, gue yang coba cek apakah ada yang perlu diperbaiki atau enggak. Nanti kalau ada apa-apa, gue tinggal teriak manggil nama lo. Gimana?"
"Lo yakin?" Tanya Adam tidak mempercayaiku. Dia menatapku dengan tatapan menilai, amat serius. "Tangga itu berbahaya lho. Kalau fatal, lo bisa jatuh."
"Gue bisa, kok. Gue yakin gue bisa."
Adam kembali menilaiku. Aku heran, kenapa dia tidak langsung mengiyakan saja sih? Lagipula kalau aku jatuh, aku lah yang merasakan sakitnya, bukan dia. Sekarang, aku ingin dia cepat-cepat menemui si Kakek. Pasti si Kakek menunggu dan menunggu itu adalah sesuatu hal yang amat tidak layak.
"Gue bisa," kataku lagi, penuh penekanan.
Akhirnya dia mengangguk, memberikan kesempatan kepadaku untuk mengurus ini. "Oke, gue kasih kesempatan pada lo, tapi lo harus hati-hati karena ini sangat beresiko. Lo lengah dikit aja, lo bisa jatuh."
"Oke, tenang saja."
Adam berlalu pergi, menemui si kakek yang masih menunggu di tempat yang sama ketika ia memanggil Adam dengan penuh tenaga. Mungkin ia sudah mengeluarkan semua tenaganya hanya untuk memanggil Adam, padahal cowok itu sudah mendumel enggan bertemu dengan si kakek.
Aku tidak langsung naik dan melakukan pemeriksaan, tapi aku lebih tertarik memperhatikan Adam yang sedang mengobrol dengan si kakek. Meski agak jauh, aku masih bisa melihat dengan jelas. Dari kejauhan ini, aku bisa melihat Adam sangat dekat, sangat nyaman mengobrol dengan si kakek. Terbukti ia tertawa lepas.
"Aku penasaran bagaimana dirinya yang sebenarnya. Sejauh ini, aku mengenal dua Adam yang berbeda, bertolak belakang. Adam yang dikagumi para siswi atau Adam yang dikenal gadis buangan sepertiku ini."
Entah apa yang dua orang itu rencanakan, mereka beranjak pergi entah kemana. Aku penasaran, tapi aku harus menyelesaikan tugasku di sini.
Aku mulai naik satu tangga demi satu tangga. Sejauh ini, tangga ke lima masih aman, tapi aku harus senantiasa hati-hati, tidak boleh lalai apalagi menyepelekan begitu saja. Bahkan di tangga keenam sudah terasa agak sedikit bergoyang. Aku harus menambah kehati-hatian ku pada medan ini agar apa yang ditakutkan tidak menjadi kenyataan.
Namun sayang, aku lupa untuk tidak terlalu berlebihan. Itu tanpa sengaja menjadi kekuranganku. Meski aku selalu berhati-hati, tetap saja ada celah untuk mengalah. Di tangga ke tujuh aku tidak bisa menahan mengendalikan diriku dan akhirnya terjatuh. Agak sedikit sakit di bagian b****g, tapi untungnya tidak terlalu parah. Aku masih bisa berdiri.
"Untungnya aku yang jatuh, bukan Adam."
***
Aku memberanikan diri merasa tidak canggung di sekitar villa ini. Karena aku sudah memastikan kalau ada dua anak tangga yang perlu diperbaiki dan Adam juga belum memberikan papan penggantinya, karena itu lah aku berpikir aku harus mencarinya di sekitar rumah ini pula. Tentu saja ini tidak mudah, ada banyak hal yang tidak aku kenal di sini. Tapi kalau dipikirkan, daripada aku berdiam menunggu Adam yang entah kapan baliknya, aku lebih baik mencari dan meraba-raba, entah nanti ketemu di mana.
Aku mencari di sekitaran samping rumah, memang ada beberapa kayu, tapi tidak bisa dijadikan sebagai anak tangga. Mencari ke tempat lain hingga mungkin menghabiskan sekitar tiga puluh menitan hanya untuk dua buah balok kayu dan enam buah paku panjang. Paku ini aku dapatkan dari sisa-sisa yang ada di samping rumah. Sedangkan untuk palunya aku bisa memakai batu saja, lebih efisien.
Naik lagi ke pohon itu dan mulai memasangnya satu per satu. Agak sedikit kewalahan, apalagi tidak ada yang membantuku. Sendirian seperti ini memang agak menyusahkan, dan itu lah tantangannya. Beberapa kali ada yang jatuh dan aku harus terpaksa turun lagi, lalu naik lagi. Terlebih aku baru saja terjatuh dari pohon itu, rasanya sakit di bagian b****g dan pinggangku makin berkali-kali lipat. Akan tetapi, semuanya terbayarkan ketika aku sudah berhasil memasang dua anak tangga pengganti itu hingga aku bisa naik ke rumah pohon dengan aman.
"Wow... ternyata seperti ini yang dinamakan rumah pohon," gumamku.
Rumah berdinding kayu, bahkan lantainya pun juga dari kayu. Semuanya dari kayu, luasnya tidak terlalu besar. Mungkin agak sama besarnya dengan ruangan pribadi yang dimiliki Adam di mall itu. Hanya saja di sana sudah dipastikan aman, sedangkan di sini harus hari-hati lagi karena bahannya yang dari kayu mudah rapuh. Semoga kayu ini tidak ada yang rapuh lagi. Harapanku sangat besar, sebesar aku berharap hidupku tidak akan rapuh di kemudian hari nanti.
Kemudian aku masuk lebih dalam ke rumah pohon itu. Aroma kayunya amat sangat menyengat. Kotor dan harus dibersihkan setelah ini. Meski hanya satu malam, tetap saja harus dibersihkan. Setidaknya kalau Adam mau menggunakannya lagi suatu hari nanti, dia tidak akan terlalu banyak memperbaiki atau membersihkannya. Ada baiknya juga aku ke sini, maka seharusnya aku tidak merasa risau.
Mulai memeriksa kembali apakah ada kayu yang lapuk. Benar-benar satu per satu, tidak aku lewatkan satupun. Jika tadi ketika aku memeriksa anak tangga dengan penuh hati-hati, maka ini lebih-lebih lagi, bahkan dua kali lipatnya. Sampai akhirnya aku mendapatkan satu jawaban kalau kemungkinan besar bahan kayu yang dipakai di rumah pohon ini berbeda dengan bahan kayu di anak tangga tadi. Pasalnya, tidak ada kayu yang rapuh ataupun goyah di sini, masih kuat dan kokoh. Akhirnya aku bisa bernapas lega, tenang.
"Aku hanya tinggal membersihkannya saja."
Pas saat aku mau turun ke bawah, aku melihat Adam yang hendak menaiki anak tangga. Sebelah kakinya sudah naik, dan sekarang dia menatapku dari bawah. "Lo udah periksa semuanya sudah aman atau enggak?" tanyanya.
"Udah kok, udah aman. Ternyata kayu di rumah pohon itu lebih kuat dibanding kayu di anak tangga ini. Saat lo pergi, dua anak tangga copot. Tapi gue udah ganti, kok. Jadinya udah aman, tinggal kita bersihkan rumah pohonnya, habis itu urus kardus itu."
Karena Adam tidak jadi naik, maka aku memutuskan turun saja. Ada banyak hal yang harus dilakukan, apalagi kardus-kardus itu belum diurus lagi. Ketika aku sudah hampir sampai di bawah, Adam mengulurkan tangannya kepadaku. Aku menerimanya karena kebetulan kayu agak licin, tidak ada niatan lain juga.
Sesudah sampai di bawah, ternyata Adam tidak langsung melepaskan tanganku. Dia malah memperhatikan hal lain. Ia salah fokus dengan telapak tanganku. "Ini tangan lo kenapa merah-merah? Lo habis jatuh ya?" tanyanya.
Buru-buru aku menarik tanganku, menyembunyikannya. Buat apa pula aku menjawab jujur kalau aku memang jatuh? Memangnya setelah aku menjawab demikian semuanya akan berubah? Kenyataan aku jatuh akan sirna, dan rasa sakit di pinggang dan bokongku tidak akan terasa? Tentu tidak, kan. Lebih baik diam dan mulai mengurus hal yang lain saja. Waktu terus berjalan, maka tidak boleh disia-siakan.
"Aku butuh alat-alat kebersihan seperti sapu, lap, dan lain-lain. Mungkin lo bisa cariin gue sekarang biar gue bisa langsung bersihin rumah pohon di atas." Aku mengalihkan perhatian ke hal yang lain juga selain dengan ucapanku tadi yang langsung loncat ke hal lain. Membuka kardus yang isinya alat-alat masak, mulai mengeluarkannya dari sana. "Ini semua mau dimasukin ke atas atau dimana?" tanyaku lagi meski yang sebelumnya belum direspon Adam.
Aku terlalu sibuk dengan urusan kardus itu sembari menunggu respon Adam. Dari sudut mataku, aku melihat Adam masih berdiri di tempat semula. Mungkin ia hanya mau jadi pemerhati, tidak mau langsung beraksi untuk kali ini. Tidak masalah, toh di sini aku lah yang sifatnya numpang. Sudah seharusnya aku lah yang lebih banyak melakukan ini dan itu. Biarkan Tuan Rumah bersantai.
Hingga semua alat-alat yang dibeli Adam kukeluarkan, setelahnya aku bingung mau melakukan apa. Mau mencoba melakukan ini, tiba-tiba diserang perasaan takut akan berbuat salah. Mau coba melakukan itu, terpikirkan mau melakukan ini. Hadeh, jadi serba salah. Satu-satunya yang aku lakukan sekarang adalah bertanya pada Adam mau melakukan apa lagi setelah ini.
Aku mendongak melihatnya, ternyata ia pun juga sedang memperhatikan aku dengan santai sambil melipat tangan di depan d**a. Agak sedikit angkuh, apalagi ia tanpa suara. Entah apa yang ada di pikirannya tentangku sekarang. Aku takut ia mulai membaca alasan kenapa aku mulai mencoba mengalihkan semuanya ke hal lain, tidak kunjung membalas baik rasa khawatirnya itu. Khawatir... ya, aku rasa ia demikian ketika bertanya apakah aku habis jatuh atau tidak. Atau mungkin aku berlebihan. Lupakan!
"Gue bingung. Ini mau ditaruh dimana?" tanyaku, berusaha santai dan fokus pada satu hal. "Kita harus gerak cepat sebelum petang. Nanti kalau sudah malam, kita enggak leluasa melakukan ini itu. Apalagi di rumah pohon itu enggak ada lampu. Belum lagi bersih-bersih. Tolong kerjasamanya."
"Pertanyaan gue cuma satu, lo jatuh atau enggak?"
Oh, ternyata ini lah alasan yang membuatnya diam. Karena dia masih menungguku menjawab pertanyaannya itu. Sedikit merasa janggal, tapi ya sudah lah. Mari menjawabnya. "Iya, gue jatuh tadi sedikit," jawabku, menarik senyum yang malah aku sendiri merasa itu aneh.
Dan karena jawaban itu, si cowok ini menurunkan tangannya, tidak lagi melipatnya di depan d**a. Melihat ke arah anak tangga dan aku bergantian, entah apa yang ada di pikirannya. Sedikit penasaran, bukan berarti aku memaksa dia mengungkapkan itu. Sekali lagi, itu adalah haknya.
"Untuk sementara karena rumah pohon itu mau dibersihkan sama anak tertua kakek penjaga, lo bisa bantu gue buat tenda darurat. Kemungkinan nanti juga dipasang lampu biar enggak gelap."
"Pasang tendanya dimana?"
"Di sini. Tunggu, gue mau ambil tendanya dulu."
Lalu ia pergi, seharusnya mengambil tenda seperti yang ia katakan. Hmm... apakah mungkin alasan dia menyuruh anak tertua kakek membersihkan tenda karena tahu aku jatuh? Apakah mungkin dia sebegitu khawatirnya padaku sampai-sampai dia berani mengeluarkan banyak hal dan berani mengorbankan banyak hal yang tidak bisa aku ganti dengan apapun? Kalau itu benar terjadi, maka setelahnya akan menjadi sesuatu yang membingungkan. Bagaimana semuanya terjadi?
"Tuhan, aku tidak pernah mau merasakan kebingungan yang sangat besar seperti ini? Maka aku mohon, perjelaskan apapun yang setidaknya meresahkan di hati ini. Hamba siap tahu dan siap menghadapi," gumamku kecil.
Tidak lama Adam balik membawa tenda. Di belakangnya ada seorang lelaki yang bisa jadi itu adalah anak tertua si kakek, bahkan tidak lama kemudian terlihat si kakek dengan seorang nenek yang kemungkinan besar adalah istrinya--seseorang yang bertanggung jawab atas kebersihan di villa ini. Tiba-tiba jadi banyak yang datang, aku takut di antara kita tidak ada yang bisa menyimpan rahasia dan pada akhirnya mulai membuka kebenaran.
Tapi tiga orang ini bisa aku rasakan punya aura yang sama, tulus dan tenang. Mereka terlihat seperti orang yang baik dan murah senyum. Aku yakin mereka tidak akan mencoba berkhianat. Berbeda dengan Adam, kulihat dia terus cemberut semenjak melihat tanganku memerah. Begitu saja sudah merubah moodnya, padahal kita bukan siapa-siapa.
"Halo," aku mencoba menyapa lebih dulu. Meraih tangan lelaki itu, kemudian salim. Hal yang sama aku lakukan pada si nenek. Terlebih dia seorang ibu, jiwa-jiwa keibuannya masih amat melekat. Kala aku mencium tangannya, ia mengusap kepalaku. Adalah hal sama yang dia lakukan persis seperti suaminya--si kakek. "Saya Abila," ujarku, memasang senyum manis dan ramah.
"Oh jadi ini pacarnya Den Adam?"
Aku kaget. Maksudnya apa?