Bab 2. Aku Bukan Pembantu

1739 Kata
"Nih tugas lo!" Kulihat beberapa tumpukan buku paket dan buku pelajaran yang dilempar Erina tepat di depan mataku. Aku baru mau mengganti baju sekolahku dengan baju bekas miliknya, dia sudah masuk dan melempar buku-buku yang penuh dengan ilmu berharga itu. Sebenarnya, tanpa perlu bertanya lagi aku sudah tahu maksud dan tujuannya tiba-tiba masuk ke dalam kamar, bahkan sampai melempar buku tanpa permisi. Dia melakukannya bukan sekali atau dua kali, tapi berkali-kali hingga aku sendiri muak dengannya. Kalau aku tidak salah mengingat, ini sudah terjadi 10 tahun lamanya, tepatnya dimulai ketika kami berdua masih di bangku Sekolah Dasar. Bayangkan, sejak kecil aku sudah diperbudak olehnya, tanpa bantah. Kutolehkan pandanganku, melihatnya yang tampak asik memainkan ponselnya. Ia bahkan belum mengganti baju sekolahnya, adalah kebiasaan yang dilakukannya sejak kecil. Ia punya banyak baju ganti sekolah, sedangkan aku hanya memiliki satu baju sekolah, itu pun bekas bajunya. Sayangnya, aku harus jujur pada satu kenyataan besar ini kalau semua barang yang kupakai adalah barang pemberiannya, lebih tepatnya barang bekas pakainya. "Ada apa?" Tanyaku, agak bodoh padahal aku sudah tahu yang sebenarnya. "Kerjakan semua tugas gue sekarang juga. Gue gak mau ada satupun nomor yang salah dan gak boleh ada noda cacat sedikitpun. Satu noda, gue adukan lo ke Mama biar disiram pake air panas! Biar lo mampus!" Ya, itu lah gaya bicaranya. Tanpa berpikir panjang langsung ceplas-ceplos, tanpa memikirkan apakah kata yang keluar itu bisa menyakiti atau tidak. Sebenarnya, kalau dipikir-pikir, Erina adalah orang yang lemah. Ia menjadi kuat karena bersembunyi di bawah ketek Mama dan Papa. Jika dirinya sendiri, aku jelas yakin dia akan menangis setiap hari. "Nanti gue kerjain. Gue mau cuci piring dulu, masih numpuk di dapur. Gue juga belum nyuci. Gue harus mastiin semuanya bersih dulu, baru gue bisa kerjain tugas lo. Tugas gue juga belum jadi kok," kataku. "Apa?! Jadi maksud lo, gue harus nunggu sampai nanti malam, gitu?!" "Iya, mau gimana lagi? Kerjaan gue banyak, gak cuman urusin tugas lo aja," jawabku. "Lo budeg atau gimana sih?! Lo gak ngerti maksud gue?" Aku hanya menyipitkan mata, mencoba mengingat apa saja yang dikatakannya beberapa menit yang lalu hingga akhirnya aku sadar kalau yang dia minta adalah sekarang, saat ini juga, detik ini juga. Aku menghela napas sekali. "Harus banget sekarang, nih?" "Iya lah! Lo pikir tahun depan?!" sahutnya, masih dengan nada yang tinggi. "Buku itu mau diambil sama temen gue nanti magrib. Kalau lo gak jadiin sekarang, gue bisa malu di depan temen-temen gue!" "Ya udah, nanti gue kerjain sambilan nyuci baju. Nanti gue bawa buku lo ke bawah biar sekalian gue nyambi kerja yang lain," kataku. "Eh, enak aja lo!" "Gue gak mau ya lo kerjain tugas gue sambil nyuci-nyuci baju kotor gitu. Gue gak mau buku gue lecek, kotor, dan bau hanya karena lo nyambi nyuci baju. Gue gak mau!" Pemilih sekali. Dia seharusnya beruntung tidak harus memeras otak menjawab tugasnya, tinggal suruh saja. Lantas mengapa dia berbeda? Tapi, aku tidak punya pilihan lain selain menuruti keinginannya. "Iya, sekarang juga gue kerjain tugas lo. Secepatnya." Bisa kalian bayangkan bagaimana lelahnya aku setiap hari. Sepulang sekolah, aku harus mencuci piring yang dipakai tadi pagi saat sarapan, menyapu rumah, mengepel, mencuci baju, memasak untuk makan malam, dan ketika malamnya pun aku harus melipat baju hingga menyetrikanya. Aku benar-benar tidak punya waktu tuk sekedar berleha-leha. Ditambah lagi, Erina sering tiba-tiba memerintah tidak jelas. Ditolak malah marah-marah. Mungkin orang rumah berpikir aku adalah sebuah robot. Sebanyak apapun tugas yang diberikan, tetap bisa dikerjakan tanpa merasa lelah. Padahal, mereka salah besar. Menolak pun juga menjadi salah. Sekuat apapun aku mencoba menolak, tetap saja akulah yang harus mengalah. Andai, satu hari saja Erina mencoba menjadi diriku, merasakan setiap pekerjaan demi pekerjaan yang aku lakukan, mungkin dia paham bagaimana lelahnya menjadi aku, menjadi seorang Abila Sanda. Tetap sabar, tetap tersenyum, dunia memang sekejam ini. Apapun yang terjadi, ragaku harus kuat di saat jiwaku ingin menyerah dan berpasrah. "Semangat, Abi. Hidup terus berjalan." *** Bagaimana sih rasanya harus mengerjakan sesuatu dengan cepat, rapi, benar, tanpa cacat sedikitpun, sedangkan pikiran malah bercabang kemana-mana? Aku berusaha secepat mungkin mengerjakan tugasnya Erina dengan sempurna seperti yang dia perintahkan, hanya saja sedari tadi sudah hampir sepuluh kali Mama memanggilku. Ia menyuruhku untuk segera turun ke bawah untuk membersihkan rumah dengan segala jenis kekacauannya. Pertanyaanku, kenapa tidak Mama saja yang mengerjakannya? Atau kenapa tidak memperkerjakan asisten rumah tangga saja sejak awal? Kenapa malah melimpahkan semuanya padaku, sedangkan ia yang sebagai Ibu RumahTangga malah berleha-leha mempercantik diri, merias kuku, mengambil foto selfie, dan mengupdate status di media sosial. Kalau di pikir-pikir, kejam sekali mereka. Memanfaatkan ketidakberdayaanku dan menjadikanku sebagai makhluk paling lemah yang senantiasa dipecut setiap saatnya. Dipaska, dipaksa, dan dipaksa. "Abila!" "Turun kamu cepat!" Teriakan demi teriakan itu terdengar. Dengan cepat aku menggerakkan tanganku mengerjakan tugas itu, memaksa otakku berpikir lebih cepat lagi dari biasanya. Mungkin kalau aku bisa membedah otakku, aku bisa melihat bagaimana kerasnya otot otakku bekerja. Telingaku sudah cukup lelah mendengar teriakan demi teriakan yang sebentar lagi berubah jadi bentakan, khusus hari ini dan pastinya akan berlanjut ke hari esok. "Awas kalo tugas gue kecoret dikit aja, gue coret muka jelek lo!" Suara ancaman itu berasal dari belakang tubuhku. Iya, Erina mengawasiku. Sama seperti Mama, dia juga menggenjotku untuk lebih cepat bekerja. Seperti rasanya semua arah pergerakanku diawasi sepenuhnya. Dipaksa melakukan pekerjaan sesempurna mungkin, tapi waktu yang diberikan sangatlah singkat. Apakah itu mungkin? Hanya sedikit orang yang mampu, sisanya menyerah. "Iya, tinggal satu lagi. Setelah itu tugas lo kelar," kataku agak ketus. Baru saja aku mengatakannya, terdengar gebrakan pintu yang membuatku sedikit terkejut. Kutolehkan pandanganku dan melihat Mama yang terlihat begitu marah, garang, rahangnya mengetat, bahkan matanya hampir lompat dari tempatnya. Sebentar lagi pasti ada kekacauan dahsyat di rumah ini. "Kamu gak dengar kata Mama?! Rumah masih kotor, tapi kamu malah asik-asikan di kamar. Teman kakak kamu bentar lagi mau datang!"bentak Mama. "Aku lagi ngerjain tugasnya kak Erina, Ma," kataku, melemah. Mama memang selalu kasar dan keras padaku, tapi aku tidak pernah mau melakukan hal yang sama. Entah mengapa, rasanya sulit membalas dengan cara yang sama, cara yang kasar dan keras seperti yang mereka lakukan padaku. "Loh, kok gue sih yang lo salahin?!" tanya Erina, pura-pura kaget tidak mau disalahkan. Sontak aku langsung menoleh ke arah Erina. Ucapannya membuatku cukup syok. "Gak ada yang salahin lo. Kan lo sendiri yang minta gue kerjain tugas lo dulu baru ngerjain tugas rumah," kataku, mencoba membela diri meski sudah tahu ujungnya seperti apa. "Oh, jadi gue yang salah?!" Mata Erina yang berkaca-kaca membuatku muak. Dia sedang akting, merasa paling disalahkan dan merasa paling tidak beruntung di dunia ini. Sebentar lagi juga dia pasti menangis dan mengadu ke mama. Ujung-ujungnya akulah yang disalahkan, dibentak, bahkan kemungkinan terburuk aku bisa saja dipukul. Aku sudah terbiasa merasakan sakit hati, melihat luka lebam membiru di sekujur tubuh, mendengar suara lantang yang seperti suara petir dan begitu menusuk terdengar di telinga. Sangat-sangat terbiasa. "Lo gak salah. Gue yang salah," kataku, masih menatap Erina. Aku beralih menatap Mama. "Ma, aku mau kerjain tugas kak Erina dulu, tinggal satu nomor. Habis itu aku turun ke bawah ngerjain tugas rumah. Mungkin kalau kak Erina bisa bersabar dikit, aku udah kelar beresin rumah." Baru saja aku selesai mengatakan itu, suara isakan tangis terdengar dari sampingku. Erina menangis seperti habis dipukul-pukul, dibentak-bentak hingga mental tidak kuat menerima kenyataan lagi. Lalu bagaimana denganku? Aku bahkan menghadapinya setiap hari, tapi tidak sedrama tangisan dirinya. "Mama..." Rengek Erina, memeluk mama. Miris. Melihat bagaimana Mama memeluk Erina, mengusap rambut Erina penuh sayang, bahkan membisikkan kalimat sayang untuk Erina, aku merasakan sakit hati. Aku iri, aku cemburu, aku ingin merasakan hal yang sama. Aku merindukan kasih sayang yang tidak pernah aku rasakan sampai detik aku bernapas ini. Dadaku rasanya dicubit, napasku bergemuruh. Air mataku tidak bisa dibendung, aku menangis dengan alasan merindukan rasa sayang yang seyogyanya semua orang bisa merasakannya. Itu adalah kebutuhan dan keinginan dasar setiap manusia. Tuhan... Aku merindukan kasih dan sayang. Sampai kapan aku bersabar dan berjuang? Jika sakit yang Engkau berikan begitu sakit hingga mengoyak kulit, lantas mengapa Engkau membiarkan tubuhku tetap memaksa hidup, sedangkan hatiku sudah lama mati tak memiliki rasa? Aku hanya ingin damai tanpa rasa sakit. "Kamu ngapain bengong terus?! Kerjakan tugas kakakmu dan cepat beresin rumah!" Bentakan mama menyadarkanku. Dengan cepat aku mengusap air mataku yang ternyata sudah membasahi pipiku. "Lelet kok dipelihara! Kayak kakakmu dong, berprestasi!" Berprestasi? Sayangnya, selama hidupnya akulah yang mengerjakan semua tugasnya. Seharusnya namaku lah yang tersemat menjadi siswa terpintar di sekolah, tapi malah tergantikan dengan nama Erina. Apakah itu layak? Jelas, tidak. *** "Abila, cepat bawa jajan sama minuman buat temen gue!" "Iya!" Dengan cepat aku menaruh pisau yang kugunakan untuk memotong beberapa sayuran. Aku sedang membuat lauk makanan untuk teman Erina dan untuk makan malam yang sebentar lagi. Karena minuman dan makanan yang akan disuguhkan untuk teman Erina sudah aku siapkan, aku tinggal mengangkutnya saja ke ruang tamu. Sebenarnya, teman Erina temanku juga, lebih tepatnya teman kelas. Hanya saja tidak ada satupun yang berani main denganku, apalagi di depan mata Erina langsung. Siapapun yang mau berteman denganku harus siap-siap menjadi bulan-bulanan Erina dan geng-gengnya. Tidak ada yang mau merugi, tidak ada yang mau disakiti, karena itu lah tidak ada yang mau mendekatiku. Bukan masalah besar bagiku, malah aku lebih senang menyendiri dibandingkan memiliki teman yang pada akhirnya nanti menjadi musuh dalam waktu yang tidak di duga-duga. "Ini jajan sama minumannya," kataku. Tidak ada yang memperdulikan suaraku. Mereka masih asyik dengan ponsel mereka masing-masing. Jujur saja, aku penasaran dengan apa yang orang kerjakan bersama benda ajaib itu. Terkadang, aku melihat orang lebih asik dengan ponselnya dibandingkan dengan orang lain. Ada yang bilang kalau kita akan menemukan dunia lain dari hanya sebuah ponsel. Aku penasaran, bagaimana rasanya? Sampai sekarang aku tidak mempunyai ponsel. Lebih tepatnya, aku dilarang memilikinya. Setiap kali Erina mengganti ponselnya, aku selalu berharap bisa mendapatkan ponsel bekasnya. Tapi sayang, Erika lebih memilih memberikannya kepada orang lain, alih-alih memberikannya kepadaku sebagai adiknya atau setidaknya sebagai orang yang sering membantunya. "Nih guys buku gue. Gue udah kerjain semuanya. Gue yakin semua jawaban gue benar semua kali ini." Aku hampir menertawakan pengakuan yang dilakukan Erina. Dia selalu mengakui kalau semua tugas dikerjakan oleh tangannya, hasil perasan otaknya sendiri, padahal usahanya nol besar. Itu adalah usahaku, tulisan tanganku, perasaan otakku. Andai semesta tahu. "Ngapain lo berdiri terus di sini?! Tempat lo tuh di dapur, bukan di sini, pembantu!" Erina mengejekku di depan teman-temannya yang langsung menertawakanku. Aku bukan pembantu. Tapi Erina dan teman-temannya selalu menganggapku sebagai pembantu. "Abila, ada bau gosong!" Teriak Mama. Mampus!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN