"Lepas! Lo jangan SKSD deh. Jangan sok kenal sok dekat sama gue!" Kutarik tanganku dari genggaman Adam yang terus menyeretku menuju ruang UKS. Begitu banyak siswa-siswi yang melihat kami seperti ini, membelah kerumunan yang diakibatkan oleh cowok terkenal yang satu ini. Sebenarnya aku tidak takut dengan pendapat mereka, mereka mau ngehujat aku, mau fitnah aku, marah sama aku, it's okey! Mereka hanya tidak mengerti apa yang aku rasakan selama ini.
Malah aku lebih takut dengan hukuman yang menantiku nanti saat sampai di rumah. Hukuman yang berawal dari k kekesalan Erina, kemudian menghasut mama dan papa yang pada akhirnya nanti mereka akan membentuk geng. Ya, geng super duper kompak untuk menyakitiku, membanting mentalku. Apalagi tadi aku sempat melihat Erina menatapku penuh murka, kekesalan yang teramat sangat nyata di matanya. Huft... Semoga aku bisa selamat esok harinya.
Benar kataku, Adam tipikal cowok yang keras kepala. Jika dia berkata A, maka harus A. Dia kembali menarik tanganku, bahkan genggamannya lebih erat dibanding sebelumnya. Semakin aku berusaha bebas, semakin ia bersemangat membawaku membelah kerumunan itu hingga sampai di ruang UKS. Sebenarnya apa sih maksud cowok yang satu ini? Kenapa begitu memaksa?
"Apaan sih lo! Gak jelas banget!" Tak sengaja aku mendorong Adam hingga menabrak bed UKS, berguncang mengakibatkan sebuah kotak yang ada di atas lemari jatuh menimpuki kepala Adam. Aku kelabakan sendiri, cemas, takut dia terluka akibat ulahku sendiri. "Lo gak apa-apa, kan? Gue minta maaf ya," kuperiksa kepalanya yang tadi kena timpukan kotak.
Tidak ada luka. Lega.
"Syukur deh, kepala lo gak kenapa-napa," kemudian kulihat ke bawah, ke lututnya yang menabrak besi tiang kasur tadi. Aku tidak bisa melihatnya dengan jelas, pasalnya lututnya tertutupi oleh celananya yang panjang. "Lutut lo sakit gak? Jujur sama gue," aku menoleh menatapnya.
Tepat sekali, dia juga sedang menatapku. Anehnya, sepersekian detik setelahnya aku malah susah mengalihkan pandangan ke arah lain, kenapa? Rasanya di samping kakan-kiri ku ada yang menyekatnya dan memaksaku tuk hanya melihat dirinya saja. Hanya cowok ini, cowok yang begitu keras kepala dan tahu segalanya tentangku. Sampai sekarang aku bingung, dari mana dia tahu aku berlarian dari rumah sampai ke sekolah dan dari mana pula ia tahu aku jatuh hingga lututku lecet sampai berdarah? Sangat membuatku penasaran dengan cowok misterius yang satu ini. Dia begitu misterius, banyak rahasia yang dipegangnya, tapi sangat haram untukku kulik lebih dalam. Dia kesayangannya Erina.
"Gue gapapa kok. Justru lutut lo yang sakit," aku sontak mundur kala ia berjongkok di depanku, namun dengan sigap menahan betis belakangku. "Gue cuman mau liat luka lo aja," kutengok dia terlihat begitu serius menatap lututku yang berdarah, terluka akibat kesandung tadi pagi. Dia memencetnya, spontan aku mendesis menahan sakit. Kemudian ia meniupnya.
"Perih gak?" Tanyanya.
Aku mengangguk. Seketika aku menjadi lemah, tidak meledak-ledak seperti sebelumnya. "Tapi gue sudah sangat biasa terluka, kok. Ini gak ada apa-apanya bagi gue, jadi lo gak usah sok kenal apalagi sok dekat sama gue. Mending lo balik ke kelas lo aja deh, gue juga balik ke kelas gue," kumenolak maksud baik cowok ini.
Bukan apa-apa, tapi sikap baik cowok ini bisa menjadi boomerang untukku. Setiap kali dekat dengannya, sudah bisa dipastikan aku akan mengantongi kemurkaan Erina dan akan meledak ketika pulang nantinya. Aku takut nyawaku melayang dengan cara yang tidak terhormat. Sia-sia saja dong perjuanganku bertahan hidup selama 17 tahun ini? Tentu aku tidak mau.
"Gue balik kalau gue udah mastiin luka lo terobati. Sebelum semua luka lo tertutup obat dengan baik, gue bakal terus keras kepala gak biarin lo keluar," bahkan ia sampai mengunci pintu ruang UKS ini, saking serius perkataannya, tapi sayangnya dia juga berlaku bodoh dengan membiarkan kunci tersebut menggantung, belum menariknya. Aku bisa saja kabur saat ini juga, di saat dia lengah.
Hanya kami berdua saja di ruangan ini. Seakan dia tahu setiap sudut yang ada di ruangan ini, mulai mencari keberadaan kotak P3K. Dan saat inilah yang menjadi kesempatanku untuk kabur dari ruangan ini. Persetan dengan lukaku yang masih terbuka, tak peduli pula dengan kebaikan Adam, yang terpenting adalah selamat.
"Jangan kemana-mana dulu. Luka lo harus sembuh sebelum jam pelajaran pertama mulai." Ujar Adam, masih tampak serius mencari keberadaan kotak P3K. Sayangnya, aku tidak menjawabnya.
Segera kubuka kembali kunci pintu ruangan UKS ini. Berhasil terbuka, senang sekali rasanya. Aku sampai menjinjit kakiku, berjalan sangat perlahan-lahan hingga suara langkahku tidak terdengar di telinga Adam, bahkan mungkin semut sekalipun. Baru saja aku membuka pintu, di depanku sudah ada Erina dan geng-gengnya yang menungguku.
"Ikut gue sekarang juga!"
Erina menarik rambutku, menyeretku ke toilet yang ada di samping ruang UKS. Toilet ini sudah lama tidak terpakai karena pintunya suka seret dan susah dibuka, kecuali engselnya dicabut. Baru saja masuk, aku sudah ingin muntah. Pasalnya ada oknum yang tidak bertanggung jawab, buang air besar tanpa membersihkannya. Tidak hanya itu saja, air di bak besar itu sudah tercampur lumut, hijau dan sudah pastinya tidak bersih. Lalu sekarang Erina bersama teman-temannya membawaku ke toilet yang sudah tidak terurus ini.
Sebelum teman Erina menutup pintu, aku melihat Adam berlari keluar dari ruang UKS. Mungkin dia mencariku, mungkin juga dia balik ke kelasnya. Aku hanya tidak mau berharap banyak pada cowok itu. Aku hanya takut ekspetasiku terlalu tinggi, sedangkan dirinya sajae
tidak bisa kumiliki. Jangankan memiliki, sekadar memikirkannya saja sudah merupakan sebuah kesalahan besar untukku. Ingat, dia kesayangan dan harapan tuan putri Erina Tahsina.
Byur!
"Ini pelajaran buat lo karena berani rebut Adam dari gue!"
Bisa-bisanya Erina mengguyurku dengan air kotor penuh lumut di bak itu. Bahkan saat aku menunduk, aku melihat ada cacing menggeliat terjun dari kepalaku. Astaga, air itu sangatlah kotor.
"Gue gak pernah rebut Adam dari lo. Gue udah berusaha ngehidar—"
Byur!
"Ini akibat karena lo suruh Adam gue buat angkat barang-barang yang seharusnya menjadi kerjaan lo!"
Kutahan semua perlakuan keji Erina, meski sebenarnya aku sangat ingin muntah saat ini juga. Bagaimana tidak, terpampang jelas dan nyata bagaimana kotornya air yang digunakan Erina tuk menyiramku. Tidak, bukan aku yang kotor setelah ini, tapi jiwa dan hati mereka lah yang kotor.
Byur!
"Dan ini buat lo yang udah gatel berduaan sama Adam di ruang UKS!"
Bruk!
Erina mendorongku sampai menabrak bak air kotor itu. Ia dan teman-temannya keluar begitu saja setelahnya dan menguncinya dari luar. Mereka meninggalkanku sendirian di dalam toilet yang sangat kotor ini dalam keadaan yang super duper kacau. Baju basah dan tercium bau amis, rambut kotor berhias lumut dan mungkin saja ada cacing menggeliat manja di atas rambutku, dan yang paling aku benci adalah aroma toilet ini.
"Sampai kapan aku di sini?"
***
Aku sudah sangat pusing mendekam di toilet kotor ini, entah karena baunya, tidak ada lubang pertukaran udaranya, sumpek, semuanya membuatku merasa pusing yang luar biasa. Sudah lewat jam pelajaran kedua, dan pasti sebentar lagi akan bunyi bel istirahat pertama. Akan tetapi, sampai saat ini belum ada yang bermurah hati membantuku. Berulang kali kuketuk pintu toilet, tidak ada satupun yang terdengar mendekat ataupun menyahutiku. Apa yang terjadi di luar sana? Aku butuh pertolongan.
Tok! Tok! Tok!
"Tolong!" Teriakku.
Tetap tidak ada yang menyahut.
"Apes banget aku hari ini. Pagi-pagi udah dipaksa lari dari rumah sampai sekolah, jatuh menggelinding sampai lutut lecet, terus Erina sengaja ngurung aku di toilet yang sangat menjijikkan ini," gumamku dengan kepala yang bersandar di pintu. "Aku kedinginan, aku pengen muntah. Aku juga lapar, perutku panas. Tadi malam mama gak kasih aku masuk dapur, padahal aku yang masak." Kuratapi nasibku yang begitu buruk ini. Mau bagaimana pun aku mengadu, entah kenapa aku merasa Tuhan sangat tidak adil dalam pembagian kasih sayang dan kebahagiaan untukku. Semua orang yang kutemui bisa tersenyum, tapi aku? Sehari pun tidak.
"Ada orang di dalam?"
Aku cukup terkejut. Suara orang itu membuat semangatku langsung naik ke permukaan. Aku yang tadinya hampir menyerah, menyalah-nyalahkan Tuhan, tapi semenit kemudian Tuhan mendatangkan seseorang untukku.
"Iya. Ada orang. Tolong bukain dong. Gue kekunci nih!" Teriakku dari dalam.
"Oke. Gue bukain."
Aku sangat senang, sampai-sampai aku berjingkrak dan tersenyum salah tingkah, padahal hanya sekadar dibukakan pintu toilet saja. Dan mungkin ini kali pertamanya aku begitu senang sampai tersenyum. Seumur hidupku.
Ceklek.
Pintu toilet ini dibukakan oleh seorang siswa yang kukenal ialah salah satu temannya Adam. Hadeh, pada akhirnya aku akan kembali berurusan dengan pria itu. Baru saja aku senang, kembali down dengan kebenaran ini. Tuhan terlalu pintar membuat perasaanku naik turun seperti rollercoaster.
"Terima kasih, ya. Gue bersyukur banget lo bantu gue," kataku, agak menghindarinya karena ia tampak tidak nyaman dengan bau dari tubuhku. Jelas, aku saja merasakannya, apalagi dia.
"Iya, sama-sama. Sebentar, tunggu di sini dulu," ia menutup hidungnya dan pergi begitu saja setelah menyuruhku tetap diam di depan toilet. Ada apa dengan cowok itu? Aneh.
Dan ternyata apa yang dia lakukan? Sungguh di luar dugaan.
"Adam! Nih cewek yang lo cari!" Teriaknya begitu lantang, dan bisa aku pastikan semua siswa-siswi yang masih belajar di kelasnya bisa mendengarnya. Dan tentunya Erina juga termasuk di dalamnya. Aduh, semoga tidak triple kill saja untuk hari ini.
"Mana?" Dan itu adalah suara cowok itu—Adam, sang idola Erina, impiannya Erina.
"Lo cepetan ke sini! Badannya basah semua woy!" Balas cowok yang tadi menyelamatkanku.
Tidak lama setelahnya, muncul Adam yang tampak ngos-ngosan, langsung menatapku. Habis dari mana dia sampai ngos-ngosan gitu? Apa dia habis lari maraton sepanjang 5 km sampai-sampai dari aku bisa melihat muka kelelahan dari wajahnya.
"Gue minta tolong ambilin baju olahraga gue di kelas," Adam meminta kawannya.
"Gue gak bisa, Dam. Gue takut. Di dalam kelas ada pak Joko, nanti gue dihukum karena bolos pelajaran dia. Lah lo enak, santai, papa lo pemilik sekolah ini." Tolak temannya.
"Kalau gue bilang ambil, cepet ambil b**o!" Bentak Adam pada temannya, aku sedikit kaget dengan bentakannya. Memangnya baju olahraga itu buat siapa sih?
"Dia kedinginan tuh!" Tunjuk Adam padaku.
Maksudnya baju olahraganya buat aku? Dia terlalu baik, tapi juga jahat. Dia bisa menjadi alasan Erina semakin memberikan triple kill untukku hari ini. Kalau sampai baju olahraganya nempel di badanku, bisa aku pastikan, tidak hanya Erina saja yang murka, tapi semua cewek-cewek di sekolah ini akan berkomplot dengan Erina, kemudian menyiksaku secara bersamaan.
"Jangan lupa traktir gue bakso setelah ini! Awas aja lo gak traktir gue!"
"Bila perlu gerobaknya sekalian. Gua jabanin!" Balas Adam.
Setelah itu baru kemudian temannya berlari pergi. Mungkin dia akan menantang maut di kelasnya, ketahuan bolos. Kemungkinan terbesar dia akan dihukum, dan semuanya adalah karena aku.
"Siapa yang kunciin lo di toilet itu?" Tanya Adam padaku, penekanan suaranya seperti orang yang begitu marah. Entahlah, aku tidak terlalu mengerti dengan orang ini.
Aku tidak menjawab, membungkam. Aku tidak mungkin menyebut nama Erina di depan Adam. Cowok ini bisa langsung murka pada Erina kalau sampai tahu yang sebenarnya.
"Lo kedinginan gak?" Tanyanya, kali ini suaranya terdengar melembut. Dia cepat berubah dalam waktu yang bersamaan.
Aku tetap diam, bungkam.
"Jawab, Abila! Gue udah cukup lelah cari lo kemana-mana sampai gue kerahin semua temen-temen gue! Gue hampir laporin cewek itu kalau sampai jam istirahat lo gak ketemu juga."
Aku tahu siapa yang di maksud 'cewek itu' oleh Adam.
"Jangan," kataku.
"Gue yang salah," ujarku lagi.