Sore ini kembali turun hujan yang sangat deras, membuat Pelangi belum bisa pulang dari kampus. Dia masih berada di area parkir, menunggu agak sedikit reda baru berniat menerobos. Pelangi tidak membawa jas hujan, karena dia pikir hari ini secerah kemarin. Lagi pula sejak tadi siang cuaca begitu panas, tidak menyangka jika menjelang petang hujan turun sebegitu deras, sampai beberapa kali terdengar gledek. Pelangi duduk sendirian di sana, menangkup kedua tangannya sembari berdoa kepada Tuhan. Pelangi berharap agar hujan sedikit bersahabat, langit sebentar lagi menggelap. Dia takut sekali dengan hantu dan sejenisnya, belum lagi merasa kedinginan hingga menggigil.
Jaket rajut milik Pelangi tidak dapat menghangatkan, kulitnya yang putih bersin semakin terlihat memucat. Pelangi sudah mengabari neneknya jika di sana hujan sangat lebat, belum bisa pulang dengan segera. Nenek Mariya beberapa kali menghubungi Pelangi, takut jika kenapa-kenapa dengan gadis itu.
Sibuk berdoa sambil memejamkan mata, Pelangi sampai tidak sabar jika seseorang tengah melangkah mendekatinya. Dia menggunakan payung hitam, wajahnya sama sekali tidak menunjukkan ekspresi. Dia cukup lama berdiri di depan Pelangi, menunggu gadis itu selesai berdoa dan membuka mata. Tingkahnya mencuri perhatian lelaki dingin satu ini, dia memerhatikan dalam diam.
"Aaaa!" pekik Pelangi kaget sekali. Tepat saat dia membuka mata, sosok jangkung tiba-tiba berada di depan matanya dengan pakaian serba hitam. "Zio, ngapain kamu di sini? Aku kaget, aku pikir hantu." Mengusap permukaan dadaa, berusaha mengatur napas. "Hampir aku kena serangan jantung."
"Ikut gue!" katanya tidak terlalu terdengar di telinga Pelangi. Suara hujan jauh lebih berisik.
"Ha, apa? Aku nggak denger."
"Pulang bareng gue," ulangnya sekali lagi sedikit lebih menambahkan volume suara.
Pelangi menggeleng cepat, seketika dia ingat bagaimana sikap Ralina saat dia tahu Pelangi diantarkan oleh Ifander waktu itu. Lalu sekarang yang menawarinya tumpangan adalah Zionathan? Tidak, Pelangi tidak ingin disudutkan lagi menggunakan kalimat kasar. Dia bisa menunggu sampai hujan berhenti, cari jalan aman saja. "Duluan aja, aku bisa menunggu sebentar lagi." Menyunggingkan senyum tipis, kemudian berusaha tersenyum agar Zionathan tidak tersinggung.
"Ralina nggak suka gue, tenang saja."
Pelangi terdiam cukup lama, mengerjapkan matanya kaget saat Zionathan bisa menebak keresahan hatinya. Lelaki dingin ini punya ilmu hebat?
"Ah, nggak usah. A-aku nggak pa-pa. Lagian aku sudah izin sama Nenek kok." Zionathan tidak lagi membuka suara, hanya menatap Pelangi sampai gadis itu kebingungan sendiri mau melakukan apa. Zionathan tidak beranjak, masih setia di tempatnya seperti patung. "Pulang aja. Ini motor aku nanti ilang kalau ditinggal sendirian."
Masih tidak ada jawaban, Zionathan melihat jam yang melingkar pada pergelangan. Dia akan pergi ke acara keluarga jam tujuh nanti, waktunya tinggal sedikit lagi. Mau tidak mau, Zionathan terpaksa menarik tangan Pelangi, membawa gadis itu agar mengikutinya menuju area parkir mobil.
Pelangi menganga, menggeleng cepat tidak ingin. Dia mencoba melepaskan cekalan Zionathan, kemudian berusaha menutupi wajahnya dari anak-anak yang lain. Di sebelah sini ternyata masih ada beberapa anak yang juga menunggu hujan, mereka melihat bagaimana Zionathan memegangi tangannya. "Setelah ini aku bakal dibully lagi." Pelangi menunduk dalam, cairan bening sudah mengambang di pelupuk. "Kamu pulang sendiri aja, aku nggak mau bikin pesakitan baru. Kamu nggak bakal ngerti, ini susah buat aku."
Sebelum Pelangi beranjak, Zionathan sudah mencekal lengannya kembali. Membuka pintu mobilnya, lalu memaksa Pelangi untuk masuk. "Bukan kamu, tapi aku yang bakal diserang. Tolong biarin aku pulang sendiri aja, aku nggak mau berurusan sama kalian."
Bukannya mendengarkan, Zionathan malah melajukan mobilnya. Sampai di depan pos satpam, dia meminta kepada orang di sana untuk mengamankan motor Pelangi hingga besok.
Pelangi menghela napas pasrah, menatap jalanan yang sudah berkabut akibat hujan dan malam segera datang. Kaca mobil berembun, Pelangi menatap jalanan yang lengang oleh pengguna jalan di bawah guyuran air hujan begini. Dia tidak lagi membuka suara, bingung harus mengatakan apa. Besok mungkin saja dia kembali diusik, apalagi mengingat Zionathan adalah lelaki populer di kampus. Banyak sekali yang menyukai dia, sama halnya dengan Ifander. Mereka satu keluarga besar, isinya para bibir unggul semua.
Zionathan menoleh pada Pelangi, menyipitkan mata ketika melihat helaan napas gadis itu mulai beraturan. Dan ya, dalam cuaca kali ini dia ketiduran dengan nyaman. Pantas saja tidak banyak omong lagi, ternyata mengantuk.
Sesampainya di depan rumah Pelangi, Zionathan mencoba membangunkan. Tidak dengan memanggil, tetapi menggunakan cipratan air hujan yang sengaja Zionathan ambil dengan mengulurkan tangannya ke luar kaca mobil.
Pelangi terkesiap, segera melindungi wajahnya agar tidak mendapat cipratan lagi. Hampir saja kepalanya terbentur, akibat kaget melihat raut wajah Zionathan. Bisa-bisanya Pelangi ketiduran di saat seperti ini, bikin malu. "Ah, sudah sampai. A-aku ketiduran sebentar." Zionathan tidak menyahuti apa pun, malah sibuk menyemprotkan pembersih pada tangannya. "A-aku turun ya, terima kasih banyak."
Zionathan mengangguk kecil.
Sebelum Pelangi keluar, dia teringat satu hal. "Oh iya, ini punya kamu." Mencari sesuatu dalam tasnya, kemudian mengeluarkan sapu tangan Zionathan yang kemarin. "Udah aku cuci, terima kasih banyak."
"Simpan aja."
"Jangan, ini punya kamu. Nih!"
Karena tidak mendapat sahutan lagi, Pelangi langsung menaruh sapu tangan itu di atas dashboard. "Terima kasih, sapu tangannya bagus." Mengacungkan jempol, lalu berlarian kecil memasuki kediamannya.
Zionathan menghela napas, segera melajukan mobilnya memasuki pekarangan kediaman Faresta. Habis ini mereka akan berkumpul di kediaman Almeer, acara makan malam keluarga. Kebetulan katanya hari ini Zeline dan suaminya balik ke Jakarta--liburan selama tiga hari, mereka bisa kumpul secara lengkap bersama keluarga Gamya juga.
"Zio, lebat banget di sana hujannya?" Ratih menyambut kedatangan Zionathan, memeluk lelaki itu dengan hangat. Kebiasaan yang tidak pernah berubah sejak kecil, wanita itu selalu menyambut kedatangan anak-anaknya dengan pelukan.
"Lebat, Ma."
"Kamu minum dulu cokelat hangatnya, Papa juga belum balik dari kantor. Mama coba telepon sejak tadi nggak aktif, bikin khawatir." Ratih tidak bisa diam, sejak tadi mondar-mandir di ruang keluarga sembari menunggu Damian dan Zionathan kembali. Anak-anak yang lain di rumah semua, sedang berada di kamar masing-masing. "Apa jalanan lagi macet, Bang?"
Zionathan memakan roti bakar bikinan Ratih, menyeruput cokelat hangat kesukaannya. "Enggak." Mengganti siaran televisi, mencari acara yang lebih bersahabat dan menarik untuk dilihat.
"Papa nggak ngabarin Mama kalau mau lembur, ditelepon juga nggak aktif. Mau nggak mau kalau begini caranya bikin Mama cemas. Biasanya jam segini Papa sudah bersantai menonton berita atau membaca surat kabar sambil minum kopi."
"Paling kerjaannya nanggung, jadi diselesaikan sekalian."
"Papa ada ngabarin kamu?"
"Enggak ada."
Ratih memajukan bibir. "Coba Mama telepon Tante Tasya dulu, siapa tahu lagi ada di kediaman Almeer."
Kembali sibuk mencari nomor Natasya Almeer, kemudian menunggu panggilannya terhubung. "Halo, Tasya. Damian ada di sana nggak? Kok belum balik ya jam segini."
Belum selesai Natasya berbicara di seberang sana, terdengar suara Damian menyapa. Ratih tersenyum lebar, kemudian segera memutuskan sambungan telepon mereka yang membuat Natasya mendesis sebal, kebiasaan sekali.
"Mas, kok baru balik? Aku dari tadi telepon kamu, tapi nggak aktif." Memeluk Damian, menerima kecupan dari sang suami di permukaan wajahnya seperti biasa. "Banyak banget kerjaan kamu hari ini?" Mengusap rahang pria itu, tersenyum lega saat melihat dia sudah berada di hadapannya sekarang. Semakin berumur mereka, Ratih semakin takut kehilangan Damian. Benar-benar belum siap, masih ingin hidup bersama hingga benar-benar menua dan memiliki banyak kebahagiaan.
Damian mengangguk, mengecup gemas bibir Ratih. Zionathan yang melihat itu geleng-geleng kepala, untung hanya dia yang ada di ruang keluarga. Bagaimana jika ada Abella dan Chiara juga? Susah kalau semakin tua, semakin menggebu-gebu perasaan cintanya. Ngalahin anak muda seperti Zionathan saja.
"Aku baik-baik saja, jangan khawatir." Merangkul pinggang Ratih, duduk bersama dengan Zionathan. "Kenapa wajah kamu ditekuk begitu, Zio? Kalau iri melihat kemesraan Papa sama Mama, cari istri sana." Ini hanya ledekan, Zionathan tidak mungkin menikah diusianya yang sekarang. Fokus anak itu selalu pada pendidikan dan karier.
"Di kamar saja, Papa."
"Kebablasan, mohon maaf." Zionathan memutar bola matanya malas, sementara Ratih hanya bisa tertawa dan memukul pelan lengan suaminya agar tidak menjahili Zionathan. "Gimana kuliah kamu mendekati semester akhir kali ini, lancar?"
"Lancar."
"Nanti mau lanjut atau langsung bekerja dulu di perusahaan?"
"Lanjut kuliah sambil kerja mungkin?"
"Bagus, itu pilihan yang Papa maksud."
Zionathan mengangguk singkat, kemudian beranjak duluan ke kamarnya. "Jangan bermesraan di sini, nanti diliat Ade-ade, Papa." Menegur cepat saat melihat Damian mengecup tangan Ratih.
"Sewot aja kamu, Papa kan berniat mau ngasih adik lagi buat kamu." Ratih memukul dadaa Damian pelan, terkekeh geli.
"Ingat umur, nggak usah macam-macam." Memicingkan matanya. Jangan sampai Ratih hamil lagi, apalagi saat mereka sudah sedewasa sekarang. Diusia Ratih dan Damian yang sekarang bukan waktunya repot mengurus bayi lagi, tapi sudah lebih tepat menikmati kebahagiaan dan menanti keberhasilan anak-anaknya saja.
"Papa hanya bercanda, Bang. Tidak mungkin Mama hamil lagi, mau saja kamu digodain sama Papa."
Zionathan menghela napas malas, segera melenggang pergi.
"Mas, jangan gitu ih. Nanti Zio beneran marah kalau bercandanya soal bayi."
Damian terkekeh pelan. Kalau Abella dan Chiara yang digodai seperti ini pasti mereka setuju, katanya malah pengen punya adik bayi kembar biar nggak saling berebutan.
****
"Abella, Chiara, kalau di rumah Paman Kenan jaga sikap. Jangan susah ditegur." Zionathan memperingati kedua adik kembarnya yang biasa langsung membuat kehebohan bersama Angela Almeer. Mereka senang menjahili Flora Gamya yang masih berusia tiga belas tahun, seumuran dengan Gabriel--mereka hanya berbeda beberapa minggu. Entah bagaimana ceritanya, tiba-tiba saja waktu itu Nessi dan Ratih hamil barengan, mungkin Damian dan Felix sudah mendiskusikannya.
Abella dan Chiara mengangguk paham, Gabriel masih asik bermain game. "Gabe, nanti kalau waktunya makan, jangan main games terus. Hargai keluarga yang datang ya."
"Iya, Bang. Udah dikasih tau Mama tadi, aku nggak bakal main games kalau di sana. Paling pinjam ps Bang Ifander nanti." Menjawabnya sambil tertawa kecil, bercanda agar tidak terlalu serius.
"Abang serius, Gabe."
Gabriel menatap Zionathan, kemudian mengangguk paham. "Jangan terlalu serius ih, Abang. Serem!"
Ratih menoleh ke belakang, menegur Zionathan jangan terlalu serius kalau berbicara dengan adik-adiknya. "Abella, Chiara, nanti kalau ade Flora pengin ikutan main diajakin ya. Kesian dia nanti nggak ada temannya."
"Flora nggak seru, dia maunya main games terus. Sama tuh kayak Gabriel, cocok mereka temenan."
"Gabe nanti temenin Flora ya?"
Gabriel mengangguk. "Meski Flora agak cerewet, nggak pa-pa deh. Kesian dia, nanti mengadu lagi pada Mamanya."
Mereka selalu gemas melihat tingkah laku Flora yang begitu aktif, kadang selalu membuat kehebohan. Angela sering gemas ingin mencubit, kalau dibilangi selalu tidak mau mendengarkan. Giliran dicuekin, Flora akan mengadu pada Nessi jika kakak-kakaknya tidak mau berteman dengan dia. Alhasil Angela, Abella, dan Chiara kena teguran lagi.
Sesampainya di kediaman Almeer, mereka barengan sampai dengan keluarga Gamya. Flora bertepuk tangan senang, kemudian langsung menghampiri Abella dan Chiara. "Kakak, kita temenan ya?" katanya polos sekali. Dia selalu ceria, tidak bisa diam walau sebentar saja.
"Flora, jangan jahil sama Kak Abell dan Chiara ya?" Nessi memperingati sekali lagi, Flora mengangguk dan berjanji pada ibunya.
Agam dan Agler berkumpul bersama Zionathan dan Ifander, mengobrolkan beberapa seputar kampus dan olahraga kesukaan mereka yaitu basker dan sepak bola. Mereka begitu nyambung kalau urusan mengobrol, sebab sejak kecil sudah main bareng.
"Flora, sini main games sama aku." Gabriel memanggil Flora, menunjukkan tabletnya bermain puzzle.
Mata Flora berbinar, dia langsung meninggalkan Angela, Abella, dan Chiara. Berlarian kecil, senyumnya mengembang lebar. "Flora, jangan berlarian, nanti jatuh. Mau bibirnya berdarah lagi akibat kebentur ubin?"
Flora menggeleng. "Baik, Abang. Nanti aku jalan pelan-pelan." Bergabung dengan Gabriel, ikut menyusun puzzlenya.
Kediaman Almeer sangat ramai sekali, cuman sayang tidak ada Bastian dan Senja. Mereka sedang berada di pulau Jawa sekarang, katanya kebetulan ada acara keluarga juga di sana.
Mendengar gelak tawa Abella, Zionathan langsung menyipitkan matanya. "Turunkan sedikit suaranya, Abel. Terlalu berisik, nanti di marahi Mama loh."
Abella langsung membekap mulutnya, mengangguk paham. "Abang, kenapa nggak ngajak Kak Pelangi sekalian sih? Kesian dia nggak punya teman." Zionathan tidak menanggapi banyak, hanya menaikkan bahu cuek.
"Aku kemarin dengar kabar kalau Ralina memarahi Kak Pelangi di koridor. Gilaa sih, itu sudah keterlaluan menurut aku." Bibir Angela mencebik tidak senang, matanya memutar jengah. Kalau urusan menggibah, dia nomor satu. Angela ini lebih tua satu tahun dari si kembar Agam dan Agler, usianya sudah menginjak dua puluh satu tahun.
"Iya, aku juga liat videonya. Sudah tersebar ke seluruh penjuru kampus kayaknya, ngeri banget. Kalimat dia kasar, padahal Kak Pelangi itu sebenarnya baik. Mama aja suka main sama dia setiap sore di taman." Chiara menanggapi jujur. Saat dia lihatkan video itu kepada Ratih, wanita itu sangat terkejut jika anaknya Dewa Lidwix bisa melakukan hal seperti itu. Ini sangat mengagetkan, tidak bisa dibenarkan sikapnya.
"Kata pihak kampus orangtua Ralina dipanggil untuk memberitahu bagaimana sikap anaknya. Dia juga mendapat surat teguran gitu. Kesian Kak Pelangi, untung mentalnya kuat."
Angela menghela napas, menaikkan bahu jengah melihat kelakuan Ralina yang tergila-gila dengan Abangnya. "Padahal banyak lo anak-anak lain yang melakukan kayak gini juga, cuman belum ketahuan pihak kampus aja. Kak Pelangi itu sudah terkenal di mana-mana, selalu disudutkan dan menerima perlakuan tidak baik dari teman-temannya. Kalau aja aku punya kekuasaan lebih, udah aku bantuin jambak tuh. Geram aku!" Sayangnya setiap Pelangi diserang, Angela tidak pernah menemuinya secara langsung. Entahlah, sepertinya Tuhan tidak membiarkan Angela ikutan mengamuk di sana.
"Anak-anak, waktunya makan malam. Yuk sini, ngumpul dulu." Suara Natasya mengisi setiap sudut ruangan.
"Hei, Kak Zeze. Gimana udah isi?" Agam Gamya--lelaki berusia dua puluh tahun itu membuka suara, terkekeh melihat pengantin baru yang kelihatannya tengah berbahagia sekali.
Zeline terkekeh. "Belum ngecek, semoga aja segera isi bulan ini. Bantu doa ya." Pandangannya beralih pada Zabir, mengambilkan menu kesukaan suaminya. "Makan yang banyak, Sayang."
"Dih penganten baru pamer kemesraan mulu." Kini Ifander yang menyahuti, langsung mendapat cubitan dari Zeline.
"Gabe, ambilkan sosisnya dong. Aku mau!" Flora menunjuk sosis bakar yang ada di dekat Gabriel. Dia langsung mengambilkan, membuat senyum Flora mengembang lebar. "Makasih, Gabe."
"Zio, wajahnya tolong dikondisikan sedikit. Jangan terlalu datar. Ya Tuhan anak ini, bahkan melebihi Papanya dulu." Natasya menggoda Zionathan yang nampak tidak banyak suara, dia yang paling santai di antara yang lainnya.
Ifander menyenggol lengan Zionathan, lelaki itu hanya membalas dengan anggukan kecil. Sejauh ini belum ada seseorang yang benar-benar bisa membuat Zionathan menghangat. Ketika semua ngumpul bareng, hanya Zionathanlah yang paling mencuri perhatian, sebab hanya dia yang paling betah menutup mulut. Entah dia tertarik atau enggak dengan acara keluarga ini, tapi setiap kali ada perkumpulan Zionathan tidak pernah absen.
****
Selamat kangen-kangenan. Kali ini lengkap yaa mereka semua. Hitung dah tuh ada berapa anak yang dihasilkan oleh Kenan, Damian, dan Felix. Hahaha ....
Maaf banyak typo ya, revisinya akan menyusul. Semoga bisa menjadi pembuka yang menyenangkan di ceria ini.