4. Karakter Masing-masing

2066 Kata
"Zio, kamu jadi jemput Pelangi pagi ini kan? Katanya kemarin motor Pelangi kamu ditinggal di kampus." Ratih mengingatkan Zionathan yang masih bersantai di ruang baca. Dia sejak tadi mencari putranya, sehabis sarapan tiba-tiba saja menghilang tanpa jejak. Zionathan yang tengah asik membaca buku, tiba-tiba hilang konsentrasi. Dia terdiam sebentar, lalu melompat dari tempat duduk. "Astaga ... aku kelupaan, Ma. Hari ini aku ganti jam kuliah ke siang. Makanya berleha-leha dulu sebelum berangkat." Meletakkan kembali bukunya ke rak, melangkah lebar ke arah kamarnya yang berada tidak jauh dari sana. "Aku bersiap sebentar, Ma." Ratih geleng-geleng kepala. Sejak tadi dia sudah merasa heran, kenapa mobil Zionathan masih berada di depan, harusnya sudah berangkat sejak tadi. Entah apa yang tengah Zionathan pikirkan, dia tidak biasanya kelupaan seperti ini. "Mau Mama siapkan sandwich, Zio?" "Boleh, Ma." Meski sudah sebesar sekarang, Zionathan paling senang jika dibawakan bekal oleh Ratih. Ketika teman-temannya makan di kampus, Zionathan lebih memilih masakan ibunya. Dia sama sekali tidak malu ketahuan membawa bekal, sebab masakan Ratih tiada tanding menurutnya. Untung saja selama ini tidak ada yang meledek Zionathan, semua orang malah terkesan segan dan menghormatinya sekali. Senyum Ratih mengembang, anak-anaknya tidak ada yang menolak ketika dibawakan bekal. Ini lebih sehat dan terjamin semuanya. Ratih selalu menyiapkan lima bekal setiap harinya. Untuk Damian, dan keempat buah hatinya. Ratih bahagia jika keluarga kecilnya menyikai masakan dia, artinya Ratih berhasil menciptakan makanan dengan cita rasa luar biasa. Sering kali Damian bertanya, "Masaknya pakai apa sih, kok enak sekali?" Ratih selalu menjawab, "Pakai cinta dan kasih sayang." Damian langsung tertawa, mengecupi pipi Ratih sampai wanita itu bilang ampun. Damian selalu memanjakan istrinya, tidak pernah membuat wanita itu kecewa walau sedikit saja. Damian sering membuat Ratih marah, hanya saja tidak dengan melukai perasaannya. Sudah cukup Damian dihukum dengan perginya Ratih waktu itu, tidak ingin lagi keluarga kecilnya berantakan. Sejak itu dia coba membenahi diri, selalu meminta koreksi dari Ratih apa saja yang kurang dan perlu diperbaiki dari sikapnya. Untunglah Damian tidak memiliki istri dengan seribu aturan, Ratih selalu menyuruh Damian melakukan apa yang dia sukai dan membuat nyaman. Tidak membebankan sama sekali, sampai akhirnya Damian sadar sendiri apa yang harus dan tidak boleh dia lakukan. "Abel sama Chiara sudah berangkat, Ma?" "Iya sudah. Mama yang nganter mereka sampai teras, makanya sadar kalau kamu kok belum berangkat. Mobil kamu masih ada di depan, Mama pikir menghilang habis sarapan tadi karena buru-buru ke kampus." Zionathan memasukkan bekalnya ke dalam tas, mengecup pipi Ratih kemudian berpamitan. "Terima kasih bekalnya, Ma. Aku berangkat dulu." "Hati-hati di jalan, jangan ngebut ya." Zionathan mengacungkan jempolnya, melangkah sambil memakan sepotong sandwich yang tadi dia ambil di atas piring. "Pak, terima kasih sudah dibersihkan mobilnya." Mengatakan pada seorang pria yang bekerja pada keluarganya. Dia mengangguk ramah, membungkukkan sedikit badan. "Selamat pagi, Mas Zio. Mau berangkat kuliah sekarang?" "Iya. Aku berangkat dulu, sudah terlambat. Permisi, Pak." Sangat sopan, Ratih tidak pernah gagal dalam mendidik anak-anaknya. Zionathan menepikan mobilnya pas di depan rumah Pelangi, melangkah masuk ke sana berharap Pelangi masih berada di rumah. "Permisi," katanya sambil memencet bel. Zionathan melihat jarum jam yang melingkar pada pergelangan, dia beneran telat sekali. Bisa-bisanya Zionathan lupa jika dia memiliki tanggung jawab mengantarkan Pelangi. Andai kemarin sore tidak pulang bersamanya, Zionathan tidak akan repot-repot menjemput Pelangi. Motor gadis itu ditinggal di kampus, lalu menggunakan apa dia berangkat jika tidak bersama Zionathan bukan? Nenek Mariya membukakan pintu, tersenyum manis pada Zionathan. "Ada apa, Nak?" tanyanya masih dengan seulas senyum. "Pelanginya ada, Nek?" "Oh Pelanginya sudah berangkat, Nak. Baru saja, mungkin sekitar sepuluh menit yang lalu." Zionathan mendesah kesal pada dirinya sendiri. Dia merasa bersalah dan seketika tidak bertanggung jawab, apalagi Pelangi perempuan. "Oh ya sudah, Nenek. Aku pamit dulu, selamat pagi." Nenek Mariya tersenyum, mengangguk ramah. "Selamat pagi, Nak. Hati-hati di jalan." Zionathan segera melajukan mobilnya. Mengejar kepergian Pelangi, siapa tahu gadis itu menunggu taksi di halte depan perumahan bukan? Sesampainya di halte, ternyata tidak ada siapa pun di sana, Zionathan mengusap wajahnya. Baru pagi, moodnya sudah berantakan. Segera dia melajukan mobilnya menuju kampus untuk menemui Pelangi. Berharap agar gadis itu tidak terlambat, sebab Zionathan akan semakin merasa bersalah jika kejadian yang tidak diinginkan. Pelangi ini setahu dia gadis berprestasi, beberapa kali namanya bersaing dengan Zionathan di urutan teratas, hanya sama tetap dialah yang paling unggul di antara yang lain. Selain Zionathan, Ifander juga selalu berada di urutan lima tertinggi. Pernah satu semester Zionathan yang paling tinggi seangkatan, kemudian beda tipis di bawahnya adalah Ifander. Meski Ifander lebih tua satu tahun, dia masuk kuliah barengan dengan Zionathan, hingga keduanya sekarang berada di angkatan yang sama. Tidak heran kenapa keduanya begitu digandrungi oleh kaum hawa. Memiliki wajah bak seorang dewa Yunani, membuat keduanya memesona dan bersinar di antara yang lain. Tapi dari kedua lelaki ini sangat jelas terlihat perbedaannya. Ifander terkenal humble dan hangat, sementara Zionathan tidak. Dia seperti kutub, tidak tersentuh, hingga terkenal bak sebuah tembok berjalan. Sangat jarang anak-anak melihat Zionathan tertawa, tatapannya saja terlihat tajam dan memenjara. "Bang ...!" Zionathan menyapa Ifander yang sedang berada di area parkir--mengobrol dengan Agam dan Agler. "Tumben pagi-pagi sudah ke kampus. Bukannya kita pindah jam siang?" Ifander menaikkan bahu, menyalami Zionathan seperti biasanya. "Lagi pengin aja, malas di rumah. Lo sendiri ngapain pagi-pagi udah muncul aja? Biasanya kalau nggak mau masuk kelas, baru kelihatan batang hidungnya." "Ada liat Pelangi lewat sini nggak?" Ini kali pertama Zionathan membicarakan soal perempuan selain daripada keluarga besar mereka atau bisa dibilang orang asing. Agam langsung menatap Agler. "Bang Zio serius nanya soal cewek?" tanyanya menganga, kemudian terkekeh senang. "Ternyata Bang Zio beneran normal!" Agler mengusap dadaa lega, saling high five dengan Agam. Keduanya cekikikan tanpa merasa bersalah telah mengatakan Zionathan tidak normal secara terang-terangan. Habisnya lelaki itu memang langka sekali, tidak terlihat menyukai lawan jenisnya. Padahal kalau kata Ifander, banyak sekali cewek cantik di kampus, tidak ada satupun yang Zionathan kencani sejak awal memasuki dunia perkuliahan. "Tumben lo tanya beginian. Ada apa, suka Pelangi?" Ifander tersenyum tipis, dia memiliki saingan eh? Tidak lucu jika keduanya menyukai orang yang sama bukan? Apalagi Zionathan sudah seperti saudara kandungnya, tidak mungkin saling berebutan. Zionathan tidak menunjukkan ekspresi apa pun, meski sudah digoda oleh Agam dan Agler. Wajahnya tetap seperti itu, seperti tidak memiliki selera humor yang bagus. "Enggak. Ya sudah, gue masuk dulu." Menepuk bahu Agler. "Jangan mengatakan yang enggak-enggak." "Maaf, Bang. Bercanda." Zionathan mengangguk singkat, setelah itu melangkah menyusuri koridor. Dia berniat menuju kelas Pelangi, hanya ingin memastikan jika gadis itu sudah masuk kelas atau belum. Belum Zionathan sampai, dari kejauhan matanya sudah menangkap sosok gadis yang sedari tadi dia cari. Sedang duduk di kursi panjang depan kelas. Dia di keluarkan karena terlambat? "Terlambat?" Pelangi yang sejak tadi menunduk lesu, akhirnya memusatkan tatap pada Zionathan. Wajahnya penuh kesedihan, kecewa karena terlambat dan jadi pusat perhatian di antara teman-temannya. "Iya." Dia tersenyum manis, mengangguk pelan berusaha menunjukkan dia baik-baik saja. "Gue kelupaan nganter lo lebih awal. Maaf." Pelangi mengerjap polos, terkejut melihat Zionathan meminta maaf penuh rasa bersalah. "Ah, iya ... nggak pa-pa. Aku terlambat bukan karena kamu, tapi emang kesiangan bangun." "Lo mau ke mana habis ini?" "Pulang. Kelas selanjutnya kosong, dosennya lagi ada tugas luar." "Mau gue anter pulang sekarang?" "Jangan!" Pelangi menggeleng cepat. Kemarin sore rasanya sudah mau jantungan, apalagi kalau sekarang ketika semua mahasiwi ada di sini. Pelangi bisa diserang oleh penggemar Zionathan. "Aku kan udah ada motor, lagian pagi ini cerah. Nggak bakal hujan lagi." Zionathan mengangguk saja mengiyakannya. "Buat lo." Memberikan wadah bekalnya kepada Pelangi. "Ambil." Pelangi menolak, menoleh ke kiri dan ke kanan was-was. Takut ada yang memerhatikan mereka, Pelangi tidak ingin diserang lagi. "Jangan. Tolong jauhi aku, jangan sampai ada yang lihat. Sekarang semua orang lagi ada di sini, nanti aku dipermalukan lagi. Aku nggak mau." "Ambil." Menarik tangan Pelangi, memberikan bekal sandwichnya tadi. Setelah diterima oleh Pelangi, Zionathan langsung beranjak tanpa mengatakan apa pun. Dia tidak lagi menoleh pada Pelangi, memasang earphonenya menuju perpustakaan. Lebih baik membaca buku sembari menunggu jam kelasnya tiba. Dia emang sedatar dan setidakpeduli itu. "Zio, ikut yuk ke kafe depan. Gue sama yang lainnya mau kumpul ke sana, sambil main Uno." Zionathan membuka earphonenya. "Boleh deh." Mengiringi langkahan Ifander. Bila kedua lelaki itu sudah melangkah bersama, seluruh kaum hawa yang ada di koridor selalu memusatkan perhatian pada mereka. Beberapa cewek menyapa, Ifander membalasnya dengan anggukan kepala dan senyuman tipis. Sementara Zionathan? Tidak sama sekali, dia malah tidak mendekatkan apalagi memerhatikan orang-orang itu. Tatapannya lurus ke depan saja, mengisi pendengaran dengan musik yang sedang dia putar. "Jangan terlalu datar. Kapan punya cewek kalau kayak es batu begini?" Ifander mengambil sebelas earphone Zionathan, memasang ke sebelah telinganya. "Ayo buka hati, usia kita bukan anak remaja lagi. Waktunya memilih wanita yang terbaik, melakukan pendekatan sebelum ke jenjang yang lebih serius." "Belum tertarik." Menaikkan bahu, cuek. Benar-benar malas membicarakan soal perempuan, bukan keseruan seorang Zionathan. "Lo sebenarnya pernah suka lawan jenis nggak sih? Heran gue." "Menurut Abang?" "Pernah, cuman nggak yakin." "Pernah." "Seriusan? Terus sekarang gimana, udah lo deketin orangnya." Zionathan menggeleng. "Suka aja, tidak mencintai." Ifander menganga, langsung mengantup mulutnya kalah telak. "Anjirlahh! Gue serius tanyanya, lo malah jawab bercanda." "Gue juga serius. Pernah suka, tapi belum ke tahap cinta." Ifander mengusap rambutnya, menyeberang jalan untuk ke kafe. "Target menikah lo usia berapa, Yo?" "Nggak tahu, belum kepikiran." "Jangan buat gue kesal. Jawab yang lebih panjangan sedikit." "Masih mau fokus belajar, sukses, baru deh putar haluan ke arah percintaan." Zionathan menarik kursi, meminta pada Ifander agar sekalian memesankan kopi kesukaannya. Tidak lama mereka sampai, Agam dan Agler menyusul. Kemudian datang lagi Angela Almeer. "Baru selesai kelas, Ngel?" Angela mengangguk, menghela napasnya lelah. "Pusing, tugas mulu. Semester lima ini aku kewalahan banget, belum lagi menuju skripsian. Bisa gila nih, kepalaku sudah mau meledak." "Lebay!" Ifander menyahuti keluhan adik perempuannya. "Terlalu berlebihan, menggelikan. Kamu tahu?" Angela memajukan bibir, meninju lengan abangnya. "Resek, orang Bang Zio dengerin curhatan aku dengan baik. Iyakan, Bang?" Zionathan mengangguk singkat. "Percaya lo sama dia? Orang telinganya aja dijejalin earphone gitu." "Volumenya pelan, gue bisa denger." Agam dan Agler siap memesan, gabung bersama. "Percuma berangkat pagi, ternyata dosennya sakit. Pantas dari tadi nggak ada kabar. Padahal tadi gue enak-enakan tidur, dibangunin sama Mama." Agler mengeluhkan kekesalannya terhadap salah satu dosen. Kenapa tidak mengabari lebih awal, jadi mahasiswa tidak perlu bolak-balik seperti setrikaan. "Dih lo bertiga ngeluhnya janjian." Ifander berkomentar heran. "Baru semester awal lo, belum lagi kayak gue sama Zio. Udah harus bolak-balik kampus ngurus ini dan itu untuk skripsian yang sudah di depan mata." Angela langsung meminum kopinya, mencomot kentang milik Ifander. "Bang, nanti bantuin ngerjain tugas. Aku pusing sendirian, kita bagi tugas." "Dih elu ngerepotin terus kerjaannya. Sana minta bantuin sama Kak Zeze, mumpung dia ada di rumah. Dia lebih pinter daripada gue, itu anak jenius. Kepintaraannya spek dewa." "Yaudah deh." "Enak ya yang punya Abang atau Kakak bisa minta bantuin ngerjain tugas. Lah kita gimana? Mau minta bantuan sama Flora takut malah tambah kacau tugasnya." Angela terkekeh, memeletkan lidah. "Makanya jangan jadi anak pertama, kecuali kamu sepintar Bang Zio." Kemudian terbahak, dapat teguran dari Ifander. "Kalo ketawa dikondisikan sedikit, terlalu keras. Malu sama yang lain, apalagi kamu cewek. Duduk yang benar, biar cowok nggak ilfeel." "Dia sama persis kayak Abella, cocok mereka kalau bersama. Chiara agak kalem dikit, tapi kalau diajak Abel menggila juga ikutan sih." "Nggak jauh beda dari Angela. Samalah mereka, sebelas dua belasan." "Nggak boleh para abang menjelakkan ade-adenya. Nggak ada yang bener ih kalian jadi Abang." Angela geleng-geleng kepala. "Abel sama Chiara udah mau selesai kelas, aku nanti kumpul bareng mereka aja daripada sama kalian. Ghibahnya kagak seru." "Lo pikir aja, Ngel, yakali kita cowok begini ngeghibah." Angela menaikkan bahu. Selalu merasa sebal sama Ifander. "Kakinya diturunin, Angela Almeer. Nggak sopan kayak gitu di depan Bang Zio, Agam, dan Agler. Mereka yang cowok aja nggak ada kakinya dinaikkan ke atas kursi. Ini di tempat umum, bukan di rumah." Kebiasaan sekali, cewek itu sama sekali tidak ada kalem-kalemnya. Angela berdecak sebal. "Aku pindah duduk ke rooftop aja. Abang ini ngeselin banget, aku aduin Mama nanti ya!" Lihat, singa betina ini sangat mirip dengan ibunya. "Iya, gih sana laporin." Zionathan geleng-geleng kepala. "Sudah, biarin dia angkat kaki. Asal jangan duduk di atas meja." Agam dan Agler seketika tertawa. Zionathan banyak diam, tapi sekali buka suara langsung serecek ini. "Ngelawak, Bang?" "Jangan sampai Zio marah, bisa ditendak lo berdua." ***** Belum masuk kebagian Pelangi dan Zio lebih dekat. Ini masih perkenalan karakter masing-masing dari mereka yah. Semoga tetap bisa dinikmatin dengan baik. Maaf kalau ada typo, revisi menyusul.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN