Julie ternganga saat tubuhnya berada dalam dekapan Julio. Mulut itu tetap membuka, tapi tak terdengar kata apa pun. Dan sebenarnya ia memang tak tahu harus berkata apa. Ia hanya berlari bak orang kesurupan karena mendengar satu nama.
Dan kini pemilik nama yang disebutkan oleh Bu Margaretha itu tengah mendekapnya dengan erat. Melingkarkan kedua lengannya ke punggung Julie. Gadis itu diam, tak juga membalas, tapi juga tidak menolak. Alih-alih untuk menolak, sebenarnya ia menikmati pelukan itu, apalagi di saat ia tengah dirundung kegundahan begini. Sebuah pelukan, entah apa pun maksud pria itu, terasa amat menghibur untuk Julie. Terlebih saat salah satu tangan pria itu bergerak naik untuk menyentuh kepala Julie, mengelusnya.
Hanya mengelus, yang dielus pun rambut. Sungguh, benar-benar mengelus dengan lembut. Tapi, efeknya … membuat berantakan seluruh tubuh Julie, terutama hatinya. Membuat ia merinding, menggelepar, dan jika saja Julio tak mendekapnya erat, mungkin ia telah terbang. Saking tubuhnya terasa ringan, tak bertulang, dan bahkan terasa tak berdaya.
“Kamu baik-baik aja?” bisik Julio tanpa melepaskan pelukannya.
“A-aku … emm ….” Hanya jawaban ambigu yang Julie balaskan, membuat Julio mengendurkan pelukan tersebut agar ia bisa melihat wajah gadis itu. Pelukannya memang mengendur, tapi belum benar-benar melepaskan Julie.
“Kamu baik-baik aja, ‘kan?” ulangnya lagi. Kini kedua telapak tangannya menangkup kedua sisi wajah Julie. Semakin membuat gadis itu kebingungan. Terlebih ketika ujung ibu jari Julio mengelus permukaan kulit pipinya. Perlahan, tapi seluruh tubuh Julie gemetaran karenanya. “Julie?” panggil Julio, menarik kesadaran gadis itu.
Mata Julie mengerjap berkali-kali. Mencoba menyadarkan dirinya. Tapi, ia sudah terlanjur diterbangkan oleh elusan lembut itu, seolah ia sudah berada di awang-awang. Padahal tak berlangsung lama, hanya dua atau tiga detik. Singkat, tapi efeknya sampai membuat Julie berkhayal jika pria itu menikahinya agar ia selamat dari Jonathan.
“Kamu belum menjawabku, kamu baik-baik aja, ‘kan?”
“I-iya,” jawab Julie dengan gugup. Ia mengangguk dua kali. “Aku baik-baik aja.”
“Maaf aku gak nolongin kamu tadi pagi.”
“Kenapa kamu gak nolongin aku?” Tanpa ia sadari, pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulut Julie. Menodong pria itu karena telah mengabaikan permintaan tolongnya. Dari sekian banyak penghuni kos yang melihatnya dibopong oleh Jonathan, sungguh ia amat berharap jika Julio menolongnya. Sayangnya hingga ia dibawa masuk ke dalam mobil, pria itu tetap diam. “Padahal aku minta tolong,” lanjutnya dengan nada suara yang menunjukkan kekesalan. Lebih, ke nada suara yang merajuk.
“Karena itu aku merasa sangat bersalah. Harusnya aku melakukan sesuatu tadi pagi.”
“Kenapa kamu merasa bersalah?” cecar Julie, atau lebih tepatnya mengorek lebih banyak informasi dari pria itu. Berharap jika ia akan mendengar sesuatu yang terdengar menyenangkan. Mungkin sesuatu seperti karena aku mencintaimu. Loh, sudah sejauh itu saja Julie berkhayal.
“Aku khawatir kamu kenapa-napa.”
“Kamu khawatir?”
“Iya.”
“Kamu peduli sama aku?”
Julio terdiam, haruskah ia menjawab dengan ‘iya’ atau hanya diam saja? Benarkah ia peduli pada Julie atau hanya bentuk perlakuan baik kepada sesama manusia?
Julie menanti, sayangnya tak ada jawaban. Bisakah ia mengambil kesimpulan jika artinya pria itu tidak peduli padanya?
“Jul!” teriak Bu Margaretha dari teras. “Tamunya diajak masuk, jangan disuruh berdiri di situ aja.”
Julie berbalik pada mamanya. Baru sadar jika ia belum menyambut pria itu dengan benar.
“Ayo masuk,” ajak Julie. Tak hanya sekadar mengajak dengan ucapan dari mulutnya, karena gadis itu pun mengajak dengan tarikan tangannya.
“Eh, ga-gak usah deh. Udah malem,” tolak Julio.
Sayangnya Julie tetap menarik pria itu walau Julio telah menolak. Tidak enak sebenarnya untuk berkunjung semalam ini. Apalagi dengan kenyataan ia datang hanya dengan tangan kosong. Niat awalnya hanya ingin memastikan jika Julie ada di rumah orang tuanya atau tidak. Sekadar memastikan bahwa gadis itu baik-baik saja.
“Ayo masuk, sini ….” Bu Margaretha mengajak dengan ramah. Ia menyilakan tamunya itu agar masuk ke dalam rumah.
“Di sini aja, Tante,” ujar Julio dengan kikuk, sambil ia menunjuk kursi di teras.
“Kok di teras, masuk dong. Di luar dingin. Ayo, ayo, gak usah malu-malu.”
“Ayo, kalo kamu nolak nanti mamaku marah,” bisik Julie lalu ia menarik pria itu masuk dan menyuruhnya duduk. “Ayo duduk.”
Baru dua detik Julio mendudukkan dirinya di sofa berwarna coklat yang ada di ruang tamu itu, tiga pelayan sudah bergantian meletakkan makanan dan minuman di atas meja. Menyajikan beragam jenis makanan dan minuman yang membuat Julio salah tingkah.
Kok disambutnya sampai segini banget. Pria itu meringis dalam hati.
“Silakan dinikmati,” ujar Bu Margaretha. “Jul, kalo mau tambah langsung minta pelayan aja.”
“Oke, Ma.”
Nambah? Julio bertanya dalam hati. Jumlah makanan dan minuman di atas meja bahkan cukup untuk mengenyangkan 10 orang. Perut macam apa yang ia miliki jika masih harus nambah makanan lagi.
“Mama tinggal ke dalam ya.”
Sepeninggal Bu Margaretha, Julio merasa makin canggung. Mendadak ia merasa bahwa dengan berada di dalam rumah, walau hanya duduk berdua dengan Julie, tapi seolah seluruh perabot di tempat itu tengah memata-matainya. Seperti di balik guci-guci, lemari, atau bahkan lukisan di dinding menyimpan kamera tersembunyi.
“Yo, dimakan.”
“Iya.”
“Itu minumannya hangat, yang itu dingin seger-seger,” tunjuk Julie. “Mau yang mana?”
“Yang hangat aja.”
“Kamu kedinginan yah?”
“Gak juga sih, soalnya tadi ada yang meluk.”
“Loh, siapa yang meluk? Kamu tuh yang tiba-tiba meluk aku.”
“Oh, aku yah?” goda pria itu. “Kirain kamu yang meluk aku.”
“Ih, bukan aku. Kamu tuh.”
“Iya, aku … karena aku khawatir. Aku pikir kamu kenapa-napa sampai malam gak balik ke kosan.”
“Makanya kamu nyamperin ke sini?”
“Iya. Soalnya aku telpon dan ngirim chat, gak ada jawaban.”
“HP ku ketinggalan di kos. Gak diizinin buat balik ke sana ngambilnya.”
“Kenapa?”
Julie mengerucutkan bibirnya. “Gak usah dibahas, gak seru.”
Untuk mengalihkan pembicaraan yang mulai mengarah pada Jonathan, Julie memilih melakukan hal lain, ia mengangkat teko keramik yang di dalamnya berisi teh hijau, lalu menuangkan ke cangkir Julio. Pun setelahnya ia juga menuangkan minuman yang sama ke cangkir di hadapannya. Begitu Julie menuangkannya, aromanya langsung menyeruak hingga ke hidung Julio. Aroma yang menenangkan, sedikit melunturkan rasa gugup pria itu.
“Silakan.”
“Terima kasih, Jul.” Pria itu mengangkat cangkirnya, namun hanya hingga sebatas d**a. Karena ia mendadak kembali diserang kecanggungan setelah memanggil Julie hanya dengan ‘Jul’. “Maksud aku, makasih, Julie.”
“Aneh, ‘kan?” Sepertinya gadis itu peka sekali kalau Julio terlalu canggung memanggil namanya. “Kalo aneh, kamu boleh manggil aku … Ai,” ujarnya agak lirih, tapi matanya bergerak penuh harap.
“Gapapa?” tanya Julio.
“Cobalah.”
“Makasih, Ai ….”
Sumpah, Julie merutuki dirinya telah membiarkan pria itu memanggilnya dengan sebutan ‘Ai’. Dan kenapa pula Julio memanggilnya dengan cara selembut itu?
“Beneran gapapa aku panggil ‘Ai’?”
“Kenapa? Kalau aku kenapa-napa, emangnya kamu mau tanggung jawab?”
“Emangnya kamu kenapa-napa?”
“Tehnya gak kamu minum?” Julie mengalihkan pembicaraan. Ia hampir tak bisa mengontrol dirinya hanya karena panggilan sederhana itu. Ah, kata siapa itu panggilan yang sederhana? Rasa-rasanya itu panggilan paling menyejukkan hati yang pernah ia dengar seumur hidup.
Julio tersenyum samar, ia angkat cangkir tehnya semakin dekat ke depan mulut. Ia meresapi aromanya perlahan sebelum ia sesap dan mengaliri tenggorokannya.
Mata Julie tak melepaskan wajah pria itu. Lekat-lekat ia amati kali ini. Mulai dari bentuk matanya, bukan seseorang dengan mata yang tajam. Justru tipe dengan mata yang sedap dipandang berlama-lama. Makin dipandang makin hati Julie sejuk. Seseorang dengan tatapan mata yang dalam sekali. Dalam, tapi Julie tak keberatan menyelami kedalaman matanya. Di masing-masing mata itu, dihiasi bulu mata, tak panjang dan tak pendek, normal untuk ukuran pria pada umumnya.
Lantas arah matanya bergerak sedikit lebih ke atas, pada alisnya. Cukup tebal dan rapi. Membuat gadis itu merutuk dalam hati. Alisku saja harus dirapikan tiap hari biar kelihatan cantik, tapi miliknya bahkan sudah rapi dari sononya. Bikin orang iri saja.
Berpindah dari matanya, ke bagian di antara kedua mata Julio—pangkal hidungnya—ia mengikuti garis hidung pria itu dengan arah matanya. Membayangkan jika saja jemarinya yang bertakhta di sana, menelusuri lekukan hidung pria itu yang bergerak naik hingga ke puncak hidungnya. Bolehkah jika tangannya benar-benar ia sapukan ke sana?
Jangan gila! Suara di kepalanya mengingatkan. Tapi, ia sudah terlanjur amat terpesona dengan seluruh apa yang ada di wajah pria itu. Bahkan untuk sesuatu yang mungkin biasa saja. Tapi, penilaiannya sudah dikuasai oleh satu kesimpulan, bahwa Julio terlalu indah untuk sekadar dilihat saja. Ia ingin menyentuh juga.
Apalagi kalau melihat bibir pria itu, warnanya sedikit kemerahan. Jelaslah itu bukan pengaruh pemerah bibir. Tapi, asli memang begitu warna bibirnya. Dan ketika ujung lidahnya keluar, hanya sedikit, untuk menyapu sisa teh di permukaan bibirnya, di saat yang bersamaan Julie juga melakukan hal serupa. Tanpa ia sadari tentunya.
Kenapa ia baru sempat mengamati pria ini? Sebelum-sebelumnya, apakah matanya tertutupi sesuatu hingga tak pernah menyempatkan diri untuk takjub akan pesona pria penghuni kamar 21 ini?
“Ai ….” Julio memanggil. Sialnya, Julie sampai tremor gara-gara dipanggil begitu. “Ada yang aneh ya dari mukaku, ada beleknya?” tanya pria itu. Ia sampai mengusap-usap matanya. Mengira jika ada yang aneh dari mukanya gara-gara Julie terus memperhatikannya.
“Ga-gak, kok,” jawab Julie, secara reflek tangan gadis itu menyentuh pergelangan tangan Julio. Bermasud menghentikan pria itu memeriksa wajahnya sendiri. “Gak ada, kok. Gak ada sesuatu yang aneh.”
“Hmm … oke,” jawab Julio dengan senyum terkulum. Ia memperhatikan tangan Julie yang tetap betah memegangi kedua pergelangan tangannya. Bahkan walau Julio telah menurunkan tangan ke atas pahanya. Rupanya gadis itu tak sadar, atau justru sadar tapi sengaja mengambil kesempatan.
“Ayo, dimakan.” Arah mata Julie berpindah, dari wajah Julio ke makanan-makanan yang tersaji di atas meja.
“Boleh nyuapin aku, gak, Ai …?”
“Hah? Apa?” tanya Julie dengan suara yang tercekat. Meminta pria itu mengulang ucapannya. Kalau ia tak salah dengar, Julio tengah meminta disuapi. Benarkah demikian? Atau ia hanya berhalusinasi? Gadis itu menelan ludah. Tapi, sebenarnya kalau benar-benar disuruh menyuapi Julio, ia tak keberatan.
“Boleh minta disuapin, gak?” ulang Julio. “Soalnya tanganku gak bisa, tanganku lagi dipegang seseorang.”
“Heh!” Julie langsung menarik tangannya. Baru sadar kalau ia sedang memegangi pergelangan tangan pria itu. Sampai memerah wajahnya karena malu. “Maaf, gak sengaja. Maaf, Yo.”
“Gapapa, Aiii ….”
Julio k*****t, pintar sekali dia bikin orang baper. Manggilnya bisa biasa aja, gak? Gak usah bernada lembut terus ujungnya dipanjangin. Kan antara ‘Ai’ dan ‘Aiii …’ itu beda banget kedengarannya. Mana manggilnya sambil ngelus rambut lagi. Ini orang niatnya apa sih?
“Kamu mau gak jadi pacar aku?”