Kamu baik-baik aja?
Sekarang di mana?
Udah balik di kosan?
Atau di mana?
Maaf, tadi gak nolongin. Aku dengar Pak Jonathan itu calon suami kamu. Gak enak ikut campur dengan urusan rumah tangga orang.
Tapi, kamu baik-baik aja, ‘kan?
Tolong balas pesan ini kalau kamu baik-baik saja.
Aku merasa bersalah karena tidak melakukan apa pun untuk menolongmu.
Bisakah memberi kabar?
Pesan-pesan itu berakhir begitu saja. Tak ada balasan dari Julie. Membuat Julio memcemaskan gadis itu.
“Argh!” Ia meremas rambutnya. “Kalo tau bakalan khawatir begini, harusnya tadi aku melakukan sesuatu. Sial! Harusnya tadi aku ngikutin mereka. Bukannya baru nyesel sekarang.”
Pria itu berjalan mondar-mandir di depan kamarnya. Berkali-kali melihat parkiran, menunggu Julie kembali. Atau justru menengok ke arah kamar Julie di gedung sebelah. Tapi, tak ada tanda-tanda keberadaan gadis itu di kamarnya. Lampu di balkon kamar Julie bahkan masih menyala, tak pernah dimatikan sejak tadi pagi saat Julie dibawa pergi oleh Jonathan. Jelaslah lampunya masih menyala, dimatikan saja belum pernah.
Mobil Jonathan pun tak kunjung muncul di parkiran. Padahal di malam sebelumnya, pria itu sudah sampai di kosan di jam 7 malam. Ini bahkan sudah lewat lima belas menit.
Jonathan tak kembali. Julie pun tak diketahui keberadaannya. Lantas di mana mereka berdua? Jika saja mereka perginya dalam keadaan baik-baik, bukan dipaksa seperti tadi, Julio tak akan mencemaskan seorang gadis yang baru ia kenal itu.
Julio mencoba menelepon Julie, untuk yang kesekian kalinya. Namun, hasilnya masih sama. Tak terjawab.
“Sepertinya dia tidak baik-baik saja.” Julio menyimpulkan. “Kalau dia baik-baik saja, setidaknya dia akan menjawab teleponku atau setidaknya membalas pesanku.”
Karena rasa penasarannya, Julio memutuskan untuk mencari keberadaan Julie. Walau tak punya petunjuk, setidaknya ia bisa mencari keberadaan gadis itu dengan melacak keberadaan Jonathan.
Pria itu melajukan motornya, membelah jalanan ibu kota di antara ramainya kendaraan-kendaraan lain. Motornya kali ini berbeda dengan motor yang ia pakai membonceng Julie terakhir kali. Jika sebelumnya ia membonceng Julie dengan skuter, kali ini ia membawa motor retro bergaya klasik.
Motor berwarna serba hitam itu ia hentikan di gedung kantor Jonathan. Ia mengecek di parkiran, melihat satu persatu mobil di sana. Tapi, tak menemukan keberadaan mobil yang biasanya digunakan oleh Jonathan.
“Sepertinya sudah pulang,” ujar Julio. “Tapi, pulang ke mana? Ke rumahnya, ke kosan, atau ke tempat lain.”
Perseteruan antara Julio dan Jonathan membuat ia tahu sedikit banyak tentang Jonathan. Ah, bisa dibilang banyak hal yang ia ketahui tentang pria mengerikan itu. Dan untuk menebak di mana keberadaannya adalah hal yang terbilang sangat sulit, karena Jonathan punya banyak sekali tempat. Ia punya beberapa rumah, belum lagi unit apartemennya, ditambah ribuan kamar kosnya. Dan semua itu bisa jadi tempat baginya untuk pulang. Sial sekali, kenapa pria itu punya segitu banyak tempat?
Julio merogoh saku celana jeansnya, mengambil ponsel di dalamnya. Ia menghubungi seseorang.
“Apa dia ada di situ?” tanyanya tanpa basa-basi.
“Tidak,” jawab seseorang di sambungan telepon.
“Kapan terakhir kali dia ada sana?”
“Empat hari yang lalu.”
“Apa ada seseorang yang dibawa pulang ke sana?”
“Tidak ada.”
“Baiklah, terima kasih.” Julio hampir mematikan sambungan telepon itu jika saja tak terdengar sebuah pertanyaan dari seberang telepon.
“Kau sendiri, kapan kembali?”
“Entahlah.”
****
“Pa, sepertinya Pak Jonathan itu benar-benar menakutkan,” ujar Bu Margaretha, suara wanita itu memecah kesunyian yang sejak tadi mencekam mereka.
Pak Pramudya, Bu Margaretha, dan ketiga anaknya tengah berkumpul di ruang keluarga. Berniat mendiskusikan masalah yang menimpa Julie. Sayangnya hampir setengah jam mereka berkumpul di sana, hanya suara napas panjang yang terdengar. Tak ada yang berdiskusi. Justru terlihat sibuk dengan pikiran masing-masing.
Mereka semua bingung. Biasanya tiap kali Julie membuat masalah atau terlibat dalam masalah, solusinya bisa dituntaskan dengan beberapa gepok uang. Tapi kali ini, bukan uang yang akan menuntaskannya. Mungkin uang bisa menuntaskannya, tapi kalau dibandingkan dengan uang milik Jonathan, milik Pak Pramudya tak akan mampu menjadi solusi kali ini.
“Papa juga tidak menyangka akan jadi begini, Ma.” Akhirnya Pak Pramudya terdengar bersuara setelah ia membuang napas dengan berat. “Papa dan Pak Jonathan tak pernah membicarakan bahwa akan ada perjodohan. Waktu itu Pak Jonathan hanya terlihat bercanda saat mengatakan bahwa ia mencari seorang gadis. Papa pun hanya menanggapi dengan candaan juga, kalau Papa punya dua orang anak gadis. Setelah itu, tak ada pembicaraan lebih lanjut.”
“Tapi, orang itu bahkan sudah menyeret Julie ke rumah sakit untuk diperiksa apakah Julie subur atau tidak. Ah, dasar pria tua tak tahu diri. Dibandingkan Julie, harusnya dia yang periksa kesuburan,” ujar Sophie dengan kesal.
“Papa sih, kenapa Papa bilang kalo Papa bakalan nikahin Julie sama Pak Jonathan itu.” Bu Margaretha menyalahkan suaminya. “Julie juga nekat banget nemuin Pak Jonathan dan berkali-kali bikin masalah. Liat, malah begini jadinya. Ah, Mama jadi pusing.”
“Tunggu ….” Julie menyela. “Tadi Papa bilang kalo waktu itu Papa sama Om Jonathan cuma saling bercanda dan gak ada pembicaraan lebih lanjut setelahnya?”
“Iya. Papa gak pernah bahas-bahas soal perjodohan sama Pak Jonathan.”
“Tapi, waktu Julie ketemu sama Om Jonathan dia udah kenal sama Julie, Pa. Dia bilang dia udah tau siapa Julie. Dia udah tau nama lengkap Julie. Katanya dia udah ketemu Papa dan ditunjukin foto aku, makanya dia kenal aku.”
“Ditunjukin foto? Papa gak pernah nunjukin foto kamu atau Sophie pada Pak Jonathan.”
“Tuh, orang itu emang menakutkan, ‘kan?” ujar Sophie sambil menggelengkan kepala karena ngeri akan pria itu. “Artinya dia emang udah memantau Julie. Entah Julie ngikutin dia waktu itu atau gak, dia sebenarnya udah tahu siapa Julie.”
“Sepertinya Pak Jonathan memang sudah mengincar Julie. Buktinya, dia mengejar-ngejar Julie hanya karena Julie mengikutinya sekali, ternyata dia yang udah duluan tahu tentang Julie. Lalu dia sampai pindah ke kosannya Julie, sepertinya dia sangat terobsesi. Belum lagi insiden sampai ke rumah sakit tadi pagi,” tutur Nughie—anak sulung di keluarga tersebut. “Dia terlihat seperti orang yang tidak akan mundur hingga keinginannya tercapai.”
“Jangan bikin Julie makin takut dong, Kak.”
Pak Pramudya menghela napas panjang. Sadar atau tidak, tapi hal ini tak akan terjadi jika saja ia tak membalas ucapan Jonathan malam itu. Ia harus membereskan masalah ini sebelum makin rumit urusannya.
“Papa akan menemui Pak Jonathan besok.”
“Buat apa, Pa? Bukan kita yang salah, kenapa Papa yang harus menemuinya?” Sophie langsung menyela. “Seharusnya dia yang datang ke sini, meminta maaf atas semua yang sudah dia lakukan. Terutama kegilaannya soal tadi pagi yang menyeret Julie ke rumah sakit. Sophie tuh gak terima, masa ia Julie mau dites kesuburan. Tes kesuburan itu dilakukan dengan memasukkan alat ke dalam organ kewanitaan. Apakah masuk akal kalau dilakukan ke seorang yang masih gadis? Kurang ajar sekali orang tua itu. Apa jadinya kalo Julie gak ditolongin orang di rumah sakit? Sial, kalo inget, Sophie kesel banget.”
“Apalagi Julie coba, gak ngerti apa-apa, tiba-tiba ditarik paksa. Julie tuh takut banget.”
“Makanya Papa gak usah nemuin orang itu.” Nughie juga mencegah. “Dia akan makin belagu kalo Papa datang seolah-olah mengakui bahwa kita yang salah. Ini bukan salah kita. Ini jelas dia yang salah.”
“Tapi, sedikit banyak, kita juga bersalah,” sanggah Pak Pramudya. “Julie yang lebih dulu mengikutinya. Julie yang mengatainya tua.”
“Bukannya Julie sudah dua kali meminta maaf padanya? Soal mengikuti itu, bukankah kau sudah meminta maaf langsung saat itu juga?”
“Iya, Julie udah minta maaf. Udah dimaafin juga katanya.”
“Soal Julie ngatain dia tua, Julie udah minta maaf juga, ‘kan?”
“Iya, udah.”
“Justru dia yang gak minta maaf sama sekali ke Julie. Tadi pagi dia hanya menandatangani surat perjanjian, tapi tidak meminta maaf sedikit pun,” ucap Sophie, membeberkan betapa berengsek dan tidak tahu malunya Jonathan.
“Nah, jadi Papa gak usah datangin orang itu.”
“Papa hanya khawatir kalau ini akan jadi masalah besar.”
“Pa, jangan ngomong yang aneh-aneh deh, jangan bikin Mama makin takut.”
Nughie bangkit dari duduknya, berniat kembali ke kamar. “Untuk sekarang Julie menetap di sini aja. Gak usah balik-balik ke sana dulu.”
“Sophie setuju, bahkan untuk keluar-keluar rumah, Julie harus hati-hati banget. Usahain jangan keluar rumah sendirian. Inget itu.”
“Iya.”
“Kamu jangan ngeyel-ngeyel lagi, disuruh di rumah ya di rumah aja.”
“Iya.”
Julie mondar-mandir di dalam kamar. Mulai bosan. Tidak punya ponsel. Ponselnya tertinggal di kosan. Dan hal yang mustahil untuk kembali ke sana hanya untuk mengambil ponselnya. Jujur saja ia takut untuk kembali ke sana. Takut kalau Jonathan ada di sana lalu menculiknya lagi. Kalau ia tertangkap oleh Jonathan lagi, ah … pokoknya jangan sampai hal buruk itu terjadi.
Gadis itu membuka pintu pembatas antara kamar dan balkon. Ia memilih duduk di ayunan rotan, sama dengan yang ada di kosan miliknya. Bedanya, ayunan rotan di kosannya, ada seseorang yang pernah mengajak ia untuk melihat bintang bersama di sana. Kalau di sini, ia sendirian.
“Ngapain inget-inget dia, toh dia gak nolongin aku sama sekali. Aku bahkan teriak-teriak minta tolong dan dia cuma diem aja, gak berbuat apa-apa.” Julie mendekus dengan kesal. “Sepertinya aku yang terlalu berlebihan gara-gara diajak liat bintang. Cih! Memangnya apa yang spesial dari ngeliat bintang?”
“Jul … Julie,” panggil Bu Margaretha dari luar kamar seraya mengetuk pintu. “Jul, Mama masuk yah.”
Julie segera berdiri begitu ia dengar suara mamanya yang terdengar terburu-buru. Ia menutup pintu pembatas balkon dan sudah menemukan mamanya berada di dalam kamar.
“Jul, ada yang nyariin kamu tuh.”
Julie meneguk ludahnya. Apa Jonathan senekat ini sampai mendatangi rumah orang tua Julie? Mau apa pria tua itu? Rasa-rasanya tak masuk akal kalau pria itu datang untuk berdamai.
“Si-siapa, Ma?” tanya Julie dengan tergagap. Wajah Julie sudah pucat, napasnya bahkan sudah terdengar memburu. Air matanya mungkin akan langsung meledak jika Bu Margaretha menyebut nama pria tua menakutkan itu. “Ma, ja-jangan bilang ….” Suara Julie sudah terdengar serak, menahan tangis yang sudah hampir jatuh. “Ma … Julie takut.”
Pecah juga air mata gadis itu, ia menghambur ke pelukan Bu Margaretha.
“Ma, Julie takut sama Om Jonathan. Ma, tolongin Julie. Julie gak mau ketemu dia. Julie gak mau nikah sama orang itu.” Julie memohon sambil terisak. “Suruh pergi aja, Ma. Ma, atau kita pindah rumah aja. Kalau perlu gimana kalo kita pindah kota aja?”
“Loh, kata siapa yang datang itu Pak Jonathan. Bukan, Jul.”
“Bu-bukan?” tanya Julie dengan sesenggukan, ia hapus air matanya.
“Bukan,” jawab Bu Margaretha dengan gelengan kepala. “Yang datang itu kalau gak salah namanya Julio. Kamu kenal dia? Katanya dia nyariin kamu.”
Mendengar nama Julio, Julie langsung melepaskan pelukan Bu Margaretha. Gadis itu langsung berlari keluar kamar, pun berlari menuruni tangga hingga ia berada di lantai satu rumahnya.
“Mana, Ma? Di mana?” teriak Julie dari lantai satu. Ia sudah berada di ruang tamu tapi tak menemukan Julio.
“Masih di depan pagar. Belum disuruh masuk, soalnya gak ada yang kenal dia.”
“Ma, suruh masuk. Bilangin ke orang di depan buat suruh dia masuk,” teriak Julie.
Gadis itu bahkan sudah berlari keluar rumah. Menderapkan kaki-kakinya di teras, lalu di pelataran depan rumah, menjemput kedatangan pria itu.
Dari arah gerbang, sorot lampu motor makin mendekat. Tapi, hal itu tak membuat Julie berhenti berlari untuk menyambut kedatangannya. Justru makin kencang ia berlari hingga sang pemilik motor menghentikan motor, mematikan mesin, dan turun dari kendaraan beroda dua itu.
Tak ada kata apa pun, tapi Julio langsung menarik gadis itu ke dalam pelukannya. Ungkapan syukurnya bahwa Julie tak kenapa-napa.
“Loh … loh ….” Bu Margaretha yang menyusul Julie di teras langsung heran mendapati anak gadisnya dipeluk oleh orang asing.
“Siapa itu, Ma?” tanya Sophie.
Gara-gara Julie teriak-teriak, kakak keduanya itu pun terpanggil untuk keluar kamar dan di sanalah ia, ikut menjadi saksi saat Julie dipeluk oleh pria bermotor yang ia tak tahu siapa itu.
“Mama juga gak tau.”
“Julie punya pacar?”
“Gak tau. Julie gak pernah cerita kalo dia deket sama seseorang.”
“Terus itu siapa, Ma?”
“Mama juga gak tau,” jawab Bu Margaretha dengan bahu yang terangkat. Bingung.