“Kenapa kau tidak menyukai gadis itu?” cecar Bu Merinda saat Julio mengantarnya ke parkiran. “Kenapa? Padahal dia cantik?”
Julio tak menjawab, ia justru membukakan pintu mobil untuk maminya.
“Mami suka Julie, dia pintar memuji.”
“Apa Mami akan menyukai semua orang yang pintar memuji?”
“Dia terlihat tulus dalam memuji, bukan basa-basi. Mami juga suka dengan kejujurannya.”
Itulah yang berbeda tentang kami. Dia terlalu jujur untuk seseorang yang penuh kebohongan dan rahasia sepertiku.
“Kenapa? Kau masih menunggu Viola kembali dari Amsterdam?”
“Mi,” keluh Julio. Tak suka jika Bu Merinda kembali menyebut-nyebut soal Viola.
“Terserah kau sajalah. Masih suka pada Viola, ya sudah tunggu saja sampai dia kembali dari Amsterdam. Atau tunggu saja sampai dia selesai dengan kuliah-kuliahnya itu. Sampai dia bergelar professor, doktor, insinyur, atau apa pun yang dia mau.”
Julio hanya meringis setelah Bu Merinda masuk ke dalam mobil. Pria itu menunggu hingga mobil yang dikendarai oleh sopir maminya itu bergerak meninggalkan parkiran.
Ponsel di kantong pria itu berdering, segera ia rogoh dan melihat nama pemanggil yang muncul di layar. Nama Pak Pramudya. Julio memilih masuk ke dalam bar terlebih dahulu sebelum ia menelepon balik karena panggilan Pak Pramudya tak ia jawab. Mengantisipasi jika saja ada orang-orang suruhan Jonathan yang berjaga di luar dan mendengar percakapannya di telepon.
“Kamu sibuk, Julio?”
“Gak kok, Om. Ada yang bisa saya bantu?”
“Gini, sebenarnya ini hari ulang tahun Julie yang kedua puluh empat.”
“Julie ulang tahun, Om?”
“Iya. Makanya kami berharap bisa ketemu Julie, kira-kira bisa, gak? Ada gak cara biar kami bisa bertemu Julie tanpa ketahuan sama Pak Jonathan?”
“Gini deh, Om. Saya pikirin dulu caranya. Saya bakalan kabarin Om lagi. Saya janji bakalan mempertemukan Om dan keluarga sama Julie.”
“Iya, Julio, Om tunggu kabarnya.”
“Oh ya, Om, apa Om dan keluarga gak keberatan kalau misalnya harus menyamar?”
“Gak masalah, apa pun itu asal ada cara biar kami bisa nemuin Julie.”
Orang-orang suruhan Jonathan masih tetap berjaga untuk memantau segala pergerakan seluruh keluarga Julie, bahkan kakak-kakaknya tak luput dari pengawasan. Begitu pun dengan aktivitas Julio di bar. Selalu ada yang mengawasi baik di luar bahkan di dalam bar saat jam operasional mulai dibuka.
Tapi, tentang keberadaan Julio di bar tak begitu mencurigakan. Menurut orang-orang Jonathan yang selama ini sudah biasa memantau pergerakan Julio, hal itu bukan lagi sesuatu yang baru. Julio bisa bermain-main dengan teman-temannya di bar sampai dini hari.
Namun, akan jadi hal yang mencurigakan jika Pak Pramudya dan seluruh keluarganya datang ke bar milik Julio. Tentu akan mengundang keingintahuan Jonathan. Mengundang rasa penasaran pria itu untuk memeriksa lebih jauh ke dalam bangunan milik Julio.
****
“Mama, Papa!” Julie menjerit kegirangan saat dua orang yang tadi ia kira sebagai chef itu membuka topi, masker, dan kaca matanya.
Awalnya cukup kaget tiba-tiba ada dua orang berpakaian koki datang ke tempat Julio. Padahal sebelum-sebelumnya tak pernah ada yang berkunjung, kecuali Bu Merinda yang menerobos masuk siang tadi.
Pak Pramudya dan Bu Margaretha menyamar sebagai chef saat keduanya masuk ke bar milik Julio. Namun sebelum itu, perjuangan keduanya agar tak ketahuan oleh orang-orang suruhan Jonathan lebih rumit. Kedua meninggalkan rumah bersama pelayan di rumahnya yang berangkat ke pasar.
Untuk turun dari mobil pun penuh pertimbangan karena Julio harus mengirimkan orang-orang kepercayaannya untuk mengelabui orang suruhan Jonathan untuk mengalihkan perhatian. Di waktu yang singkat itulah dijadikan kesempatan bagi Pak Pramudya dan Bu Margaretha untuk menyelinap masuk ke dalam mobil box yang mengantar bahan-bahan masakan ke bar Julio.
Semenjak Julie tidak ditemukan keberadaannya oleh Jonathan, setiap pergerakan di rumah Pak Pramudya memang diawasi ketat. Bahkan pelayan yang pergi dipasar pun diikuti.
Untungnya dengan rencana matang dari Julio, Pak Pramudya dan Bu Margaretha bisa tiba di bar tanpa ketahuan.
“Mama! Papa!” Julie berteriak sebelum ia berlari ke pelukan keduanya. “Julie kangen sama Mama dan Papa.” Gadis itu merengek bak anak kecil di pelukan papa dan mamanya.
“Mama juga kangen banget, Jul.”
“Papa juga kangen sama Julie. Julie baik-baik aja kan di sini?”
“Iya, Pa.”
Rupanya tak hanya Pak Pramudya dan Bu Margaretha yang datang, karena Nughie dan Sophie juga tiba di sana setelah Sophie menyamar bak gadis-gadis ABG bersama beberapa gadis muda yang datang bersamanya. Namun, gadis-gadis muda itu hanya sampai di bawah. Sementara Sophie naik ke lantai atas melalui jalur khusus yang dijaga ketat oleh penjaga.
Nughie pun sama saja, harus melibatkan anak-anak kosannya yang notabenenya adalah mahasiswi-mahasiswinya. Menyamar bak dosen berumur senior dengan wig ubanan yang datang bersama dengan para mahasiswi-mahasiswi incarannya.
Ah, semua itu demi Julie.
Tanpa kejadian ini mereka tak akan tahu bagaimana rasanya saling berpisah, saling menguatkan, dan juga saling menjaga walau jarak memisahkan mereka. Pada dasarnya tiga saudara itu saling menyayangi, walau kebanyakan bertengkarnya kalau pas bersama-sama di rumah. Selalu menyudutkan Julie yang merupakan anak bungsu, paling mudah digoda dan dijahili. Tapi, kakak-kakaknya akan selalu berdiri paling depan saat Julie kenapa-napa.
“Kak Sophie sama Kak Nughie juga dateng?”
“Iya dong,” jawab Nughie seraya mengelus rambut Julie. Ah, tidak. Yang pria itu lakukan justru tengah mengacak-acak rambut Julie.
Julio yang melihat itu jadi mengerutkan kening. Saat ia melakukan hal yang sama, Julie malah protes sampai cemberut. Tapi, saat kakak sulungnya bahkan sampai membuat rambutnya berantakan justru tak mengundang protes apa pun dari Julie. Lihatlah gadis itu, justru memeluk kakaknya dan tak terlihat bermasalah dengan rambutnya.
Lantas kenapa saat Julio yang melakukannya, Julie malah protes?
“Bagaimana kabarmu, Jul?” tanya Nughie saat pelukannya terlepas
“Baik, Julie udah baikan.”
“Udah bisa balik nagih uang sewa kos-kosan kira-kira?” Iseng, Sophie bertanya.
“Belum,” jawab Julie.
“Katanya udah baikan.”
“Kan tangan Julie masih sakit.” Ia menunjukkan lengannya. “Masa Julie nerima uang sewa kos-kosan pake tangan kiri, gak sopan tau. Kata Papa berapa pun nominal uangnya, terima pakai tangan kanan.”
“Alaahh, alasan kamu aja, Jul. Pasti kamu seneng santai-santai di sini,” cibir Nughie.
“Iya tuh, kan kata kamu cita-citamu pengen santai-santai aja semur hidup.”
Julie mencebik, tapi sejujurnya memang begitulah yang terjadi. Ia mulai keenakan tinggal di tempat Julio, tanpa perlu pusing-pusing menagih uang sewa kos-kosan.
“Ini anak-anak udah pada gede tapi kenapa masih pada berantem sih? Giliran Julie gak ada di rumah, eh dicariin. Giliran ketemu eh malah kayak gini,” cibir Bu Margaretha sembari menggelengkan kepalanya.
“Udah, gak usah pada berantem. Kita ke sini buat kumpul sama Julie.”
Bu Margaretha dan Sophie segera mengeluarkan makanan yang mereka bawa. Menyajikannya di atas meja. Tak kelupaan menaruh kue ulang tahun untuk Julie.
“Selamat ulang tahun, Jul. Dari awal tahun ini kamu udah ngaku-ngaku berumur 24, tapi akhirnya hari ini kamu resmi berusia 24 tahun,” ujar Sophie seraya menyalakan lilin di kue ulang tahun itu.
“Make a wish, Jul,” ujar Bu Margaretha.
“Inget, jangan ngomong sembarangan lagi kali ini.” Pak Pramudya mengingatkan.
Julie ingin masalah dengan Om Jonathan cepat selesai. Julie ingin berhenti membuat masalah lagi. Julie mau hidup yang tenang.
Kalo Julie masih diizinkan untuk meminta lagi, Julie pengen dikasih suami yang lebih kaya dari Om Jonathan. Biar orang itu gak semena-mena sama Julie hanya karena dia punya banyak uang.
Julie membuka matanya lalu meniup lilin. Pak Pramudya, Bu Margaretha, Nughie, Sophie, dan Julio bertepuk tangan untuk gadis itu.
Doa-doa baik untuk kesembuhan Julie dihaturkan. Juga mendoakan agar permasalahan antara Julie dan Jonathan bisa segera selesai.
Selesai mengucap harapan-harapan mereka untuk Julie, saatnya gadis itu menerima hadiah. Pak Pramudya dan Bu Margaretha menghadiahkan sebuah kalung cantik dengan inisial huruf J. Bukan kalung biasa, tapi sengaja dipesan khusus oleh Pak Pramudya yang memiliki fitur pelacak. Jadi, kalau besok-besok terjadi hal-hal yang tak diinginkan, setidaknya mereka punya alat untuk melacak keberadaan Julie. Tak lagi meraba-raba tanpa tahu arah.
Sementara itu, Sophie menghadiahkan Julie dengan sekotak skincare. “Meskipun kamu lagi sakit dan lagi mengungsi di sini, kamu harus tetap cantik. Jangan lupa merawat diri.”
“Makasih Ibu HRD yang cantik.”
“Yee giliran dikasih hadiah langsung muji-muji.”
“Tuh, mulai lagi, mau berantem lagi ini anak.” Pak Pramudya mengingatkan.
“Nih buat kamu, Jul.”
Berbeda dengan orang tuanya dan Sophie, Nughie justru memberikan amplop pada Julie. Ia memberikan uang tunai. Sebenarnya bingung harus membawa apa untuk Julie, makanya ia putuskan memberikan segepok uang saja untuk adik bungsunya.
“Uang.” Mata Julie berbinar saat ia membuka isi amplopnya. “Mana banyak lagi isinya. Terima kasih, Bapak Dosen.”
Julio yang saat itu duduk paling ujung di sofa bangkit dari duduk. Ia juga menyiapkan hadiah setelah Pak Pramudya menghubunginya siang tadi.
“Ai, aku juga punya hadiah buat kamu,” ucapnya seraya mendekati Julie.
Gadis itu berbalik pada Julio. “Kamu juga nyiapin hadiah?”
“Iya.” Pria itu merogoh saku celananya. Mengeluarkan kotak cincin. Ia berlutut di depan Julie dan seluruh keluarganya. Membuka kotak cincin itu dan memamerkan isinya. “Kamu mau gak jadi istri aku?”