3. Versus

2183 Kata
"ALDI! ALDI! ALDI!" "DEVAN! DEVAN! DEVAN!" Suara teriakan dari ratusan para murid yang berasal dari lapangan outdoor menggema ke seluruh penjuru sekolah. Mereka berdiri di tepi lapangan, menatap dengan antusias pada sepuluh orang siswa yang kini sedang berdiri saling berhadapan di tengah lapang. Seragam basket tanpa lengan telah melekat di tubuh mereka masing-masing. Lima orang memakai warna biru dan lima orang lainnya dengan warna merah. Masing-masing dengan nomor punggung dan nama mereka. Di sisi kiri lapangan, tim cheerleaders sudah bergerombol membentuk barisan. Masing-masing tangan mereka membawa pom-pom sambil bergoyang memainkan yel-yel kebanggan. Setelah itu mereka ikut berteriak memanggil nama idola mereka masing-masing. "KAK ALDIIII ... SEMANGAAATT!!" "DEVAAANN .... JANGAN KALAH SAMA KAK ALDIII!!" Aldi dan Devan—idola utama tim basket di sekolah—mengacuhkan teriakan-teriakan di sekeliling mereka. Keduanya lebih tertarik untuk saling memberikan tatapan dan seringaian merendahkan satu sama lain dan diikuti oleh anggota tim mereka masing-masing. Mereka saling menatap remeh pada lawan yang berdiri di depan mereka. Aldi Bintang Syahputra, adalah ketua tim basket saat ini. Kemampuan basketnya tidak diragukan lagi. Tahun lalu, tim basket yang dipimpinnya berhasil meraih juara dua tingkat propinsi. Sebuah kemajuan besar bagi sekolah tersebut mengingat tahun-tahun sebelumnya tim basket SMA Taruna Negara selalu kalah di babak-babak awal pertandingan. Aldi merupakan siswa tingkat kelas tiga, dan itu berarti sebentar lagi dia akan segera sibuk untuk belajar demi menghadapi Ujian Nasional juga tes untuk masuk ke sebuah universitas.. Dan sebagai bentuk dari rasa tanggung jawabnya, Aldi sengaja mengadakan pertandingan ini. Pertandingan untuk menguji kemampuan calon ketua tim basket selanjutnya yang telah lama ia tetapkan. Ia adalah Devan Adelio Sanjaya. Satu-satunya cowok yang menurut Aldi mempunyai kemampuan basket setara dengannya. Aldi memang tidak pernah mengakuinya secara langsung karena sejak awal mereka bertemu, yaitu sejak hari pertama Devan bergabung dalam tim basket sekolah, mereka berdua sudah tidak saling menyukai. Devan tidak menyukai Aldi karena menurutnya kakak kelasnya itu terlalu kaku. Sedangkan Aldi, sebenarnya ia tidak memiliki masalah apapun pada Devan termasuk tentang keplayboy-an maupun sopan santun minim yang dimiliki oleh Devan. Menurut Aldi setiap orang itu berbeda dan pasti memiliki karakter yang berbeda, jadi, bukan urusannya jika Devan mau berbuat apapun. Hanya saja ia sungguh benci dengan sifat kesombongan adik kelasnya itu. "Siap untuk kalah?" Nah, dengar, kan? batin Aldi. Devan yang menenteng bola basket di tangan kanannya menatap remeh pada Aldi yang berdiri di depannya. Aldi menanggapi dengan tatapan datar dan senyum tipis. Sama sekali tidak terganggu dengan hal tersebut. "Sayangnya, hari ini kamilah yang akan menang." "Tch, kita bahkan belum memulai pertandingan. Jangan terlalu percaya diri. Kalau jatuh, rasanya sakit," sindir Devan. "Percaya diri itu menghasilkan sesuatu yang positif. Kayaknya lo masih harus banyak belajar ...." Aldi tersenyum miring pada Devan, "junior." "Makasih buat sarannya, Senior," jawab Devan retorik. "Sayangnya, gue sudah lebih dari itu. Karena percaya diri itu bagian dari diri gue alias nama tengah gue." "Gue tau," tukas Aldi. "Udah berapa orang—lebih tepatnya—saking percaya dirinya lo, mainin hati para siswi di sekolah ini?" "Wow wow wow, maaf kalau itu ngecewain lo, tapi gue nggak pernah mempermainkan hati mereka. Salahkan saja mereka yang tukang baper. Dasar cewek-cewek  tukang drama." Aldi mendengus mendengarkan ucapan Devan. Ia hampir lupa bahwa selain playboy, Devan juga mempunyai tingkat kenarsisan yang luar biasa. "Gue nggak sabar nunggu saat suatu hari nanti lo bener-bener jatuh dalam pesona seorang cewek. Gue harap dia cukup WARAS buat nolak lo." Devan menatap Aldi geli ketika cowok itu  menekankan kata 'waras' di sana, sengaja menyindir dirinya secara langsung. Namun bukan Devan namanya jika ia langsung terintimidasi. "Sekali lagi maaf ngecewain lo, Kak Aldi yang sok suci. Sayangnya, tampang gue ini lebih dari tampan buat ditolak seorang cewek," seringai Devan. "Dan gue nggak akan pernah jatuh cinta, apalagi bertekuk lutut. Justru merekalah yang bakal terus muja-muja gue." Devan menoleh ke kiri dan mengerling sembarang arah, membuat para siswi yang ada di sana langsung berteriak histeris. Persis seperti fangirl sejati. "See? Mereka tergila-gila sama gue," sombong Devan. “Sinting!” Aldi menggelengkan kepala gemas. Bukan karena dia iri pada Devan. Percayalah, dia sendiri merupakan salah satu most wanted di sekolah. Bedanya dengan Devan, Aldi tidak sembarangan pacaran dengan para siswi lalu memutuskannya begitu saja setelah bosan seperti yang dilakukan oleh Devan. Aldi bahkan belum pernah pacaran. Dia memiliki sebuah komitmen yang harus dia jalankan. Tak jarang karena sifat Aldi dan seringnya ia menolak pernyataan cinta dari siswi-siswi di sekolah membuat ia di juluki sebagai cowok suci, dan banyak pula yang menganggap jika Aldi adalah seorang pecinta sesama jenis alias homo. Aldi tidak pernah ingin mengklarifikasi gosip tersebut demi kepentingan reputasinya karena ia merasa itu adalah sesuatu yang tidak penting. Jikapun ia memiliki orientasi s*****l yang menyimpang, itu akan jadi urusan ia sendiri. Namun untuk saat ini, ada hal-hal lain yang harus ia prioritaskan ketimbang memikirkan masalah cinta monyet ala remaja. Banyak hal yang harus ia capai dan raih, selain itu ia juga harus bisa menjadi contoh yang baik bagi seseorang yang menurutnya adalah cewek paling spesial di muka bumi. Ialah Alena, satu-satunya adik perempuan dalam keluarganya. "Bisa kita mulai sekarang?" Aldi menatap Devan dengan ekspresi mau muntah karena mendapati Devan terus menerus mengerlingkan mata dengan genit ke arah para cheerleaders yang tentu saja ditanggapi dengan teriakan histeris dari mereka. "Tunjukin kemampuan terbaik lo. Gue bakal nilai apakah lo layak atau nggak buat gantiin posisi gue!" tantang Aldi yang disambut dengan senang hati oleh Devan. "Kita lihat aja," seringai Devan. Ia memantulkan bola basket yang ia bawa ke depan dan dengan gerakan luwes Aldi menerimanya. Tak lama setelah itu, permainanpun dimulai dengan ditandai sebuah tiupan peluit panjang. Para murid semakin berteriak histeris karenanya, meneriakkan kata-kata penyemangat untuk masing-masing idola mereka. Sementara siring berjalannya waktu, pertandingan semakin memanas. *** “Kalian bisa melanjutkan mempelajari soal-soal latihan hari ini di rumah. Jika ada yang kurang kalian mengerti, kalian boleh tanya ke Ibu besok.” Bu Ambar memberikan penjelasan akhir. Papan tulis putih yang menempel di depan kelas sama sekali sudah penuh dengan coretan. Mungkin hanya Bu Ambar dan tiga siswa di sana yang mangerti maksud dari coretan-coretan yang mirip dengan formula sebuah vaksin alias saking rumit, banyak dan panjangnya rumus tersebut.  “Baik, Bu,” jawab Alena, Zia dan Fadil serempak. Mereka merapikan kertas-kertas di bangku masing-masing yang berserakan, menjadikannya satu dan memasukkannya ke dalam tas. “Jangan lupa tetap jaga kesehatan kalian karena jadwal olimpiade sudah semakin dekat. Ibu berharap salah satu dari kalian ada yang maju ke tingkat Internasional,” tambah Bu Ambar mengakhiri sesi pembelajaran. Alena, Zia dan Fadil mengangguk, mengamini dalam hati. Meskipun saat ini mereka adalah tim, nantinya mereka tetap akan bersaing kembali saat olimpiade berlangsung. Namun mereka tidak akan saling menjatuhkan, justru saling mendukung satu sama lain. "Bagus! Tetap optimis karena Ibu yakin kalian mampu!" semangat Bu Ambar. "Kalau begitu Ibu permisi dulu. Selamat siang, anak-anak!" Setelah itu Bu Ambar meninggalkan ruangan. “Gue duluan, ya, Len, Zi!” Fadil, satu-satunya cowok di sana pamit, disusul Zia tak lama kemudian. Mereka berdua tampak berjalan dengan buru-buru entah karena apa. Alena menatap kepergian dua temannya sejenak lalu kembali melanjutkan jalannya dengan santai. Koridor telah sepi karena jam pulang sekolah telah berakhir dua setengah jam lalu. "Alena!" Alena terkesiap saat seseorang tiba-tiba muncul di depannya, membuat gadis itu terkejut setengah mati. “Kak Aldi, ih! Ngagetin tau!” gerutu Alena. Ia mengelus dadanya yang masih berdebar sembari menatap tajam ke arah Aldi. "Hehehe, sori. Mau pulang?" tanya Aldi langsung merangkul pundak Alena. "Iyalah. Ini lepas, jangan peluk-peluk!" Alena memberontak, melepaskan pelukan Aldi. "Kenapa? Aku ini kakakmu!" protes Aldi sembari mengerucutkan bibir kesal. “Sampai kapan kamu bakal terus bersikap kayak gini?” Alena berdecak tidak berniat menjawab karena jelas Aldi sudah tau alasannya. Alena pernah mengatakannya dulu. Dulu sekali sebelum masuk SMA. “Nggak usah dibahas lagi. Udah sana pulang!” “Ayo bareng! Sekalian ke Als.” Als adalah restoran milik keluarga mereka. Alka yang mengelola, dibantu dengan Alvian. Aldi dan Alena sesekali datang ke sana sekedar untuk makan siang atau juga membantu jika kebetulan pelanggan sedang banyak. Alena tak langsung menjawab. Dahinya justru berkerut menyadari penampilan Aldi saat ini. Ia mengenakan kaos basket yang terlihat basah di bagian depan. Tas ranselnya disampirkan sembarangan di pundak sebelah kanan. Rambutnya juga terlihat basah dan berantakan. Akan tetapi, hal itu justru menambah kesan tampan dan keren padanya. "Kenapa kaos Kak Aldi basah? Rambut juga?" heran Alena karena seingatnya hari itu tidak turun hujan. "Habis tanding basket tadi," jawab Aldi singkat, sementara Alena ber-oh ria. "Kamu lupa? Kan tadi aku udah w******p kamu nyuruh kamu ke lapangan? Eh, kamunya malah sama sekali nggak nongol!" Alena menjulurkan lidah tak peduli. "Nanti deh kalau pas kejuaraan. Lagian itu kan cuma pertandingan buat pamer." "Bukan buat pamer, tapi buat menguji calon pengganti Kakak sebagai Kapten Basket," ralat Aldi sedangkan Alena sama sekali tidak tertarik. Aldi menghela napas. Sepertinya kepopuleran memang tidak akan pernah mampu menarik perhatian Alena. “Ya udah, Ayo, pulang bareng!” "Nggak mau," tolak Alena seperti biasa. Ia melanjutkan jalannya di koridor dan Aldi langsung mengekor di belakangnya. Beruntung koridor sepi, jadi Alena membiarkannya. Jika tidak, ia memilih lari daripada ada orang yang melihat mereka sedang berjalan berdua. "Kenapa?!" tanya Aldi tak habis pikir dengan jalan pikiran adiknya itu. "Oh, iya, Len. Tau nggak, aku menang pertandingan basket tadi, lho. Bangga nggak sih kamu punya kakak keren kayak aku? Yah, meskipun poinnya hanya selisih tiga tapi siapa yang peduli? Pemenang tetaplah pemenang. Benar, kan?" ceracau Aldi bangga. Alena hanya memutar bola mata malas. Aldi memang suka membangga-banggakan dirinya sendiri pada Alena. Sejak kecil, Aldi selalu seperti itu. Dulu Alena kecil memang sangat bangga dan bahkan mengidolakan Kakak bungsunya tersebut, ia bahkan tak segan-segan untuk mengenalkannya pada seluruh temannya dan mengumumkan pada dunia bahwa ia adalah adik dari Aldi yang keren. Tetapi setelah tau dampak dari perbuatannya, Alena memilih jalan ini. Alena tidak lagi tertarik untuk membanggakan Aldi dan mengaku jika mereka bersaudara. Ia memilih untuk menyembunyikan identitasnya karena ia butuh ketenangan... Meskipun jauh dalam hati ALena masih tetap sangat bangga memiliki Kakak seperti Aldi, tetapi ia lebih mengontrol diri dan menutupinya. Ia tidak akan membiarkan masa indah yang ia miliki di sekolah menjadi hilang. "Aku akui, sih, Devan emang nggak kalah hebat sama aku. Tapi, tetap saja aku yang menang," lanjut Aldi sombong. "Oh, iya! Pulang bareng aku, ya? Kita ke kedai kak Alka bareng-bareng." "Enggak!" tolak Alena tegas sekali lagi. "Kenapa? Toh, sekolah udah sepi. Udah nggak ada orang yang bakal lihat kita--" Langkah Alena yang berhenti tiba-tiba membuat Aldi spontan menghentikan ucapannya. Ia juga menghentikan langkah dan menatap Alena penuh tanya. "Ada apa?" Alena menghembuskan napas berat. Ia balik menatap Aldi dengan bibir membentuk garis tipis. "Pokoknya nggak, ya nggak! Kak Aldi pulang dulu sana!" jawab Alena setengah kesal. Berapa kali ia harus bilang nggak sih? Kenapa kakaknya ini ngotot sekali mengajaknya pulang bersama? Kan gawat jika Pak Satpam nanti tau, Pak satpam kan rada ember. "Kalau sekali aja ada yang mergokin kita boncengan, bisa mati aku," jelas Alena. "Lagipula aku mau ke toko buku dulu." Aldi mencebikkan bibir. Wajahnya berubah bete maksimal. "Alena, aku itu udah hampir lulus. Sampai kapan kamu ingin menyembunyikan hubungan kita? Aku nggak nyaman harus terus pura-pura nggak kenal sama kamu, adikku kesayanganku satu satunya." Alena terdiam mendengar ucapan Aldi. Dia tau dia egois. Tapi dia melakukannya bukan tanpa alasan. "Aku--" Alena menghentikan ucapannya ketika mendengar suara langkah kaki mendekat. Dengan sedikit panik, Alena merubah ekspresinya pada Aldi. "Maaf, Kak! Nggak sengaja nabrak!" seru Alena sambil sedikit membungkukkan badan, membuat Aldi bingung sendiri. "Kamu ngomong apa?" "Sekali lagi maaf, Kak. Aku--" "Hai, Senior paling suci se - jagad raya!" Aldi menoleh ketika merasa ada yang memanggil. Ia memutar bola mata melihat Devan tersenyum sambil melambaikan tangan kepadanya. "Belum pulang?" tanyanya. Devan menangkap sosok Alena yang berdiri sedikit canggung di depan Aldi. Devan menyipitkan mata, mengamati penampilan Alena dari atas ke bawah dengan seksama. Kaca mata besar bulat yang sedikit merosot ke bawah, jaket merah yang terlihat sedikit kebesaran, rok abu-abu dengan panjang sampai di bawah lutut, kaus kaki putih panjang dan sepatu hitam mengkilat. Cupu! batin Devan. Kenapa dia di sini sama Aldi? Mau ngerayu? Merasa terus diperhatikan oleh Devan hingga membuatnya tidak nyaman, Alena pun memutuskan untuk segera berpamitan. "Ehm, aku ... permisi dulu, ya. Sekali lagi maaf, Kak Aldi, nggak sengaja nabrak tadi," ucap Alena diiringi senyum canggung yang dipaksakan. Demi apapun, berpura-pura menjadi orang asing di depan kakak sendiri bukanlah hal yang mudah. "Tunggu, pulang bareng aku pokonya! Titik, nggak pakai koma! Kali ini aku nggak terima penolakan!" Aldi tiba-tiba menggenggam erat tangan Alena yang membuat gadis itu langsung memberikan tatapan tajam pada kakaknya. Aldi mengacuhkannya. Cowok itu justru menantang seolah mengatakan 'apa? Itu cuma si kadal Devan.' Sedangkan di sisi lain, Alena menjawabnya dengan 'dan kadal itu punya mata punya mulut! Kalau sampai terdengar gosip yang enggak-enggak tentang kita, kamu bakal mati aku hajar!' Aldi mendesis, lalu menatap Devan. "Gue balik dulu, ya! Party nanti malem kayaknya gue nggak bisa ikut. Ada urusan." "Ooookay!" jawab Devan sedikit terbata karena bingung dengan situasi di depannya. Nggak salah nih? Aldi ngomong aku-kamu? Aldi, ketua tim basket yang keren dan ganteng, salah satu most wanted di sekolah saingan gue, ngajak pulang bareng si cupu itu? Oh God, otaknya pasti udah nggak waras! Mungkin udah geser karena keseringan main basket? Atau mungkin ia pernah nabrak ring basket?  Batin Devan melantur. "Duluan, ya. Bye!" Aldi pun menarik tangan Alena, berjalan menjauhi Devan dan menuju halaman parkir sekolah. Tampak sesekali Alena berusaha menarik tangannya untuk menolak tetapi tenaga Aldi jauh lebih kuat. "Selera yang buruk," komentar Devan tak lama setelah melihat Aldi dan Alena sudah berboncengan naik sepeda motor keluar dari gerbang sekolah. Dari sekian banyak cewek cantik dan seksi yang ingin dekat dan jadian dengan Aldi, justru Aldi lebih memilih si cewek cupu itu? Mata Aldi pasti katarak! Devan menggelengkan kepala pelan, berusaha tidak memikirkannya. Berita baiknya, Aldi bukan homo, ucap Devan pada diri sendiri. "Ck, bukan urusan gue juga," tegas cowok itu pada diri sendiri. Akhirnya, ia pun berjalan menuju halaman parkir sekolah. Masuk ke dalam mobil merahnya dan segera mengendarainya keluar dari gerbang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN