ALENA menutup telinga rapat-rapat dengan kedua tangan saat mendengar lengkingan salah satu cewek di kelasnya. Padahal ia baru saja meletakkan tas ransel di atas bangku.
Ia menoleh ke arah suara, pada seorang cewek dengan rambut keriting gantung yang memakai softlens berwarna biru dan sedang menangis sembari menjerit histeris. Seolah-olah ia baru saja mendapatkan vonis 'kamu-bakal-mati-besok' dari dokter keluarga.
"HUAAA ... DEMI APA DEVAN MUTUSIN GUE?! NGGAK! GUE NGGAK TERIMA! DEVAN JAHAT! JAHAT!! HUAAA ...!"
Cewek bernama Rani itu menjejak-jejakkan kaki ke lantai, bak seorang anak kecil yang tidak diberi mainan yang paling ia ingin dan sukai. Di sekelilingnya, ada tiga siswi dengan penampilan yang tak kalah fashionable dari Rani. Mereka semua terlihat cantik dan memang termasuk dalam jajaran cewek-cewek yang paling ingin dijadikan pacar oleh kaum adam di sekolah.
Mendengus kecil dengan refleks, Alena memutar bola mata malas. Pemandangan seperti ini memang bukanlah pertama kali, tetapi sudah terjadi berkali-kali. Jika Alena ingat-ingat, kejadian ini sudah terjadi sebanyak delapan kali atau sembilan jika ditambah dengan yang satu ini.
"Sabar, Ran. Devan pasti bakalan nyesel karena udah mutusin ketua club dance yang paling cantik di sekolah ini." Gea, salah satu teman yang juga merupakan salah satu anggota club dance mencoba menenangkan Rani. Ia mengelus punggung Rani.
"Tapi gue cinta sama dia. Dia bilang kalau dia juga cinta sama gue! Cinta mati malah! Tapi ini apa?! Baru seminggu, Ge! Baru seminggu dan dia udah mutusin gue?!” Rani kembali menangis, membuat sebagian siswa di kelas itu menggelengkan kepala prihatin dan sebagian lagi terlihat sama sekali tidak peduli. Untuk apa? pikir mereka dalam hati.
"Sssh ... Udah, Ran. Sabar. Lagipula masih banyak kok cowok yang suka sama lo. Lo kan cantik!" Kali ini Vani yang berseru. Namun, daripada menyentuh demi memberi ketenangan lebih pada si sahabat, cewek dengan rambut lurus yang dikuncir ke samping kanan dan berbando pink itu lebih tertarik untuk menatap kuku-kuku jari tangannya yang tadi malam baru saja ia manicure.
"Tapi gue udah terlanjur sayang sama Devan. Huhuhu ... Apa gue bunuh diri aja kali, ya? Gue tuh nggak bisa diginiin!” ceracau Rani. "Kali aja nanti Devan juga bakal bunuh diri karena menyesal kehilangan gue dan menyia-nyiakan gue. Kali aja dengan begitu, Devan bakal sadar jika ia beneran cinta sama gue," lanjutnya.
Kali ini seluruh siswa yang berada di kelas itu, termasuk ketiga teman sahabat Rani menatapnya dengan pandangan datar. Jelas! Siapa sih yang tidak mengenal Devan? Cowok paling playboy yang tidak pernah betah pacaran dengan satu cewek selama lebih dari satu minggu?
Oke, rekor pacaran tercepat Devan adalah satu hari, sedangkan rekor terlamanya adalah tiga bulan. Jika kamu termasuk dalam jajaran para mantan Devan yang pernah bertahan selama tiga bulan, maka selamat! Karena dari ratusan cewek yang pernah Devan jadikan pacar, hanya ada dua cewek yang menempati posisi tersebut. Dan sampai sekarang namanya telah dikenal oleh seluruh siswa SMA Taruna Negara. Dan sepertinya dunia pun akan mencatat sejarah tersebut untuk mengenangnya di masa depan.
Jadi, kemungkinan Devan akan bunuh diri demi cewek adalah minus seribu persen alias nol alias mustahil! Bahkan lebih masuk akal jika besok ada hujan meteor daripada melihat Devan menyesal gara-gara seorang cewek.
Alena menggelengkan kepala tidak habis pikir. Mereka semua tentu sudah tau bagaimana profile seorang Devan. Seorang cowok yang terkenal paling playboy di sekolah —bahkan Alena yakin mungkin se-Indonesia raya— tapi masih saja ada yang termakan rayuannya. Tidak hanya di SMA Taruna Negara, bahkan menurut desas-desus yang pernah Alena dengar yang bahkan ia tidak peduli sama sekali, reputasi Devan sudah sampai ke sekolah tetangga. Tak terhitung sudah berapa mantan Devan di luar sana.
Sementara drama masih terus berlanjut, Alena segera duduk di bangkunya. Ia memilih mengabaikan hal itu dan membuka ransel. Mengambil sebuah n****+ bergenre komedi romantis yang baru saja ia beli kemarin. Tak lama kemudian, gadis itu sudah tenggelam dalam cerita yang ia baca.
***
"Kamu dimana? Ke lapangan sekarang, please... Kakak kamu yg paling ganteng tiada tara ini mau tanding basket. Dan kakak butuh support dari kamu, adik kesayangan aku alias perempuan paling cantik di dunia!"
Alena membaca cepat pesan w******p yang baru saja masuk ke ponselnya. Ia baru hendak mengetikkan sebuah balasan saat namanya dipanggil.
"Alena!"
Alena menoleh dan mengangguk kecil. Segera saja ia mengunci layar ponselnya dan memasukkannya ke dalam saku. Gadis dengan kacamata bulat besar yang membingkai wajahnya itu berlari kecil menghampiri Bu Ambar, guru pembimbingnya.
"Sudah makan siang, 'kan?" tanya Bu Ambar sembari tersenyum tipis. Mereka berjalan bersama menyusuri koridor lantai dua yang hari ini bisa dibilang cukup sepi. Sepanjang perjalanan Alena hanya menemukan sekitar tiga orang siswa yang sedang berada di dalam sebuah kelas entah membahas apa, dua orang siswi yang saling berbincang serius di tepi koridor dan satu orang siswi lain yang hanya duduk di lantai sembari memetik gitar. Gadis itu memejamkan mata dan bersenandung kecil. Alena tersenyum tipis, mendengar suara merdu yang terdengar meskipun hanya sebentar.
Bu Ambar berhenti dan menyapa gadis tersebut.
"Seharusnya kamu mengikuti saran Bu Lusi untuk mengikuti sebuah ajang pencarian bakat, Layla. Suara kamu benar-benar terdengar indah."
Layla membuka mata, tampak terkejut dengan keberadaan Alena dan Bu Ambar di sana. Ia menundukkan kepala, wajahnya terlihat memerah karena malu.
"Bu Ambar," cicitnya pelan. Dengan takut-takut melirik ke arah beliau.
Bu Ambar mengangguk, tersenyum tipis sejenak lalu segera melanjutkan jalan. Alena mengikuti dari belakang. Sekilas, ia melirik pada Layla yang masih tetap menunduk. Kedua tangannya mengetuk-ngetuk lantai cepat, pertanda ia sedang gugup.
"Ia sebenarnya sangat berbakat, tetapi ia juga sangat pemalu. Ia mudah sekali gugup." Seolah bisa membaca pikiran Alena, Bu Ambar berkata. Tatapannya tetap lurus ke depan. Beliau memang temasuk satu dari sedikit guru yang paling berwibawa dan benar-benar disegani oleh semua murid. Bu Ambar memiliki kepribadian yang tenang, sabar, namun tegas. Ia bisa mengukur kemampuan, menebak kepribadian seseorang dan membaca sikap hanya melalui wajah dari lawan bicara. Karena itulah, semua siswa bermasalah akan segera menghindar saat melihat beliau lewat.
Alena mengangguk pelan sebagai jawaban. Membayangkan kembali sosok Layla yang tadi bernyanyi dengan merdu namun mendadak berhenti dan menunduk dengan cepat saat Bu Ambar menyapa.
Mereka berdua terus berjalan hingga kemudian terdengar suara peluit panjang dan sorak sorai dari lapangan basket.
Yap! Itulah mengapa koridor lantai dua ini tampak sangat sepi. Karena semua orang sudah berkumpul di pinggir lapangan basket demi menyaksikan sebuah pertandingan panas yang telah menjadi trending topik sejak seminggu yang lalu. Bagaimana tidak jika yang bermain adalah Aldi dan Devan? Dua sosok cowok tampan dan idola yang paling diinginkan oleh seluruh siswi SMA Taruna Negara?
Bu Ambar melirik Alena lalu bertanya, "Kamu yakin tidak ingin ikut menonton pertandingan itu barang sebentar?"
Alena menggeleng menatap Bu Ambar mantap, mengisyaratkan bahwa ia tidak tertarik sama sekali. Dan Bu Ambar membalasnya dengan anggukan kecil.
"Padahal tidak apa-apa jika kamu ingin melihatnya. Ibu yakin Zia dan Fadil juga ada di sana untuk menonton pertandingan itu dan Ibu mengerti," ucap Bu Ambar.
Zia dan Fadil adalah rekan olimpiade Alena. Mereka bertiga dipilih karena nilai-nilai mereka yang hampir sempurna di setiap ulangan harian bahkan kuis dadakan di bidang matematika. Zia, Fadil dan Alena juga selalu termasuk dalam daftar peringkat sepuluh besar siswa secara keseluruhan dari tahun seangkatan mereka.
Saat ini, Bu Ambarlah yang membimbing mereka untuk mempersiapkan kejuaraan olimpiade Matematika yang akan segera diadakan oleh Menteri Pendidikan. Untuk itu, setiap pulang sekolah pada hari-hari tertentu, mereka bertiga akan dikumpulkan menjadi satu untuk hanya sekedar belajar soal-soal baru atau mendapatkan pelajaran khusus dari beliau.
"Saya lebih tertarik untuk melihat soal dari Ibu," jawab Alena. Matanya berbinar membayangkan betapa serunya ketika nanti ia mencoba untuk memecahkan soal-soal matematika terbaru dari Bu Ambar yang mana menurut Alena, semakin rumit soal tersebut maka akan semakin seru dan menarik untuk dicari tau. Bagi Alena, matematika adalah sebuah permainan. Dan kamu akan menjadi pemenang jika bisa memecahkan soal yang paling rumit berikut dengan beberapa soal jebakan.
"Ibu suka dengan semangat kamu," sahut Bu Ambar. Matanya melirik Alena geli, sangat tau dengan apa yang dipikirkan oleh remaja berpenampilan culun itu. "Tapi terkadang kamu harus mencoba hal baru. Sesuatu yang lebih seru. Matematika memang seru, tapi ada hal lain yang tak kalah menarik untuk dipecahkan."
Alena tidak mengerti. Ia menatap Bu Ambar seolah meminta penjelasan lebih tentang apa maksud beliau barusan. Namun, Bu Ambar tidak memberikan penjelasan apapun.
"Di dunia ini, banyak sekali hal-hal yang tidak terduga, Alena. Hal-hal di luar akal sehat yang bahkan tidak bisa dinalar dengan logika matematika yang paling rumit sekalipun." Bu Ambar berkata lagi, wajahnya terlihat misterius. Dan baru kali inilah Alena melihat ekspresi Bu AMbar yang seperti ini. Seakan-akan Bu Ambar bukanlah Bu Ambar yang ia kenal sehari-hari. Seakan-akan beliau adalah orang yang berbeda.
"Kamu percaya pada sihir?"
Alena mengernyit, sembari berjalan dengan pelan, ia tampak berpikir dalam. "Sihir seperti film Abakadabra? Atau Aladdin?" tanya Alena kemudian.
"Ibu dengar kamu suka membaca n****+. n****+ jenis apa yang kamu baca?"
"Random. Action, thriller, horor, romance, fantasy..."
"Jadi kamu juga membaca fantasy? Seperti apa?"
Alena berpikir sejenak. "Vampire, werewolf, penyihir..."
"Percy Jackson? Kamu pernah membaca n****+ atau menonton film tersebut?"
"Saya membaca seluruh novelnya," jawab Alena. Saat ini ia terlihat sangat antusias. n****+ adalah sumber kehidupan bagi Alena, dan membahasnya membuat ia bahagia.
"Apa yang diceritakan di sana?"
"Tentang anak-anak 'blasteran' yang memiliki darah campuran. Darah manusia dan darah Dewa. Mereka mempunyai kekurangan yaitu semacam penyakit disleksia, tidak bisa membaca huruf dengan benar. Tetapi mereka sebenarnya bisa membaca huruf-huruf Yunani kuno yang justru masyarakat modern tidak bisa. Mereka juga bisa melihat hal-hal yang tidak bisa dilihat oleh manusia asli," jelas Alena.
Bu Ambar mengangguk. "Lalu menurut kamu cerita itu nyata?"
"Entahlah," Alena mengindikkan bahu. "Saya pikir itu hanya sebuah karangan."
Tersenyum tipis, Bu Ambar menghentikan langkah. Ia berbalik hingga tubuhnya berhadapan dengan Alena yang juga sudah berhenti. Mata jernih Bu Ambar mengamati Alena dari balik bingkai kacamata plus yang beliau pakai.
"Entah kenapa Ibu merasa kamu akan memiliki kisah yang unik," ucap Bu Ambar, lagi-lagi menampilkan senyum misterius yang tidak bisa dipahami oleh Alena.
'Oke', batin Alena. 'Unik itu maksudnya mengarah pada sesuatu yang baik atau sesuatu yang buruk?' tanyanya dalam hati.
Alena meringis, lalu hanya mengangguk untuk sekedar sopan santun. Ia merasa bahwa hari ini Bu Ambar benar-benar aneh.
"Baik, ayo masuk." Bu Ambar membukakan sebuah pintu ruangan yang biasa mereka pakai. Bahkan Alena baru sadar jika mereka telah sampai sejak tadi. Percakapannya pada Bu Ambar hari ini benar-benar menarik dan menyenangkan karena beliau berbicara tentang n****+, tetapi juga sedikit terkesan penuh teka-teki bagi Alena.
Atau mungkin cuma aku yang parno? Mungkin cuma perrasaanku saja, kata Alena dalam hati. Ia memasuki ruangan dan disergap dengan bau-bau kertas printer. Ia tersenyum, menatap tumpukan soal-soal baru di atas sebuah meja.
"Soal-soal kali ini akan sangat menguras pikiran kamu dari pada soal-soal yang terakhir kali Ibu berikan pada kamu, Zia dan Fadil. Tingkat kesulitan soal kali ini pun jauh lebih tinggi. Tapi kamu harus menguasainya. Kalian bertiga harus, jika ingin memenangkan olimpiade dan maju ke tahap Internasional. Ingat, kalian adalah sebuah tim, kalian sudah tau di mana letak dari kelebihan dan kelemahan masing-masing rekan. Diskusilah, susun strategi terbaik dan jika ada soal yang kamu dan dua temanmu tidak mengerti, kamu bisa tanya ke Ibu."
Alena mengangguk. Wajahnya berbinar senang. "Siap, Bu!" jawabnya.
"Kalau begitu, Ibu tinggal sebentar ke ruang guru. Sembari menunggu Zia dan Fadil, Ibu akan kembali ke sini tiga puluh menit lagi." Bu Ambar menutup pintu ruangan tersebut tanpa menguncinya. Sengaja agar Alena bisa fokus mengerjakan soal-soal tersebut.
Tak ingin membuang waktu, Alena segera meletakkan ranselnya dan duduk di salah satu bangku setelah mengambil lembaran-lembaran soal tersebut. Beberapa menit kemudian ia sudah tenggelam dalam kegiatannya, memecahkan soal-soal matematika.