19 - Apa yang Salah?

1958 Kata
"... Na... Lena... Alena." Suara seseorang membuat tidur Devan terganggu. Cowok itu mengerang, meraba sebuah selimut hanya untuk menariknya menutupi tubuh. Devan pikir ia bisa melanjutkan tidur dengan nyaman, tetapi sebuah sentuhan lembut yang menggoyang badannya membuat ia terpaksa bangun. Cowok itu menyingkap selimut dengan kesal. "Apa sih berisik amet! Gue masih ngantuk, k*****t!" teriaknya dengan posisi duduk. Matanya masih setengah terpejam. Berbeda dengan Devan yang merasa kesal setengah mati, Aldi yang membangunkannya justru terkejut setengah mati. Ia menatap sosok di depannya dengan horor. * * * Aldi menatap Alena dengan horor. Ia yang tadi bersemangat membangunkan adiknya untuk mengajak sarapan bersama menjadi takut. "A-apa... Apa-apaan?" tanya Aldi tergagap pada diri sendiri. "A-Alena?" Ia membungkuk, memastikan sosok gadis yang wajahnya tertutup dengan rambut itu benar-benar adiknya. Mendesis, Alena menyingkap kasar rambut panjang dari wajahnya, lalu menatap Aldi dengan pandangan sayu. Sejenak, mereka saling memandang satu sama lain, lalu Alena terlihat terkejut luar biasa. Ia menunduk, lalu meraba-raba badan dan muka. Menengok ke kanan, kiri dan belakang, lalu menatap Aldi yang kini jadi menatapnya heran. Napas Alena jadi memburu cepat, menyadari jika yang terjadi kemarin bukanlah mimpi. Ia benar-benar terjebak di tubuh yang bukan miliknya bahkan sampai saat ini. Dan itu berarti... "Aaaaaarrrggkkhhh!!!" Alena yang tidak lain adalah Devan itu berteriak histeris. Lalu sekarang apa yang harus ia lakukan? * * * Sementara itu di tempat yang lain ... "Den Devan?!" Bi Yana hampir saja terkena serangan jantung saat melihat anak majikannya itu tengah berkutat di dapur. Cowok itu memegang sebuah mangkuk plastik yang berisi adonan tepung dan potongan-potongan daun bawang. "Oh, Bibi bikin kaget aja!" senyum Devan kaku. Ia mengaduk-aduk adonan tepungnya lalu memasukkan potongan-potongan tempe yang sudah diiris tipis-tipis ke dalam sana lalu mengaduknya lagi. Bi Yana mengerjab. Merasa aneh. Selama tujuh belas tahun ia bekerja di rumah itu, Devan tidak pernah menginjakkan kaki di dapur. Oke, mungkin dulu pernah saat Devan masih berusia sekitar lima tahun, saat almarhumah ibunya masih hidup. Setelah itu sama sekali, cowok itu tidak pernah berada di dapur. Bahkan untuk mengambil buah atau air minum saja ia selalu minta diambilkan olehnya atau Sari. Devan paling malas merasa repot. Tapi apa yang sedang ia saksikan saat ini? Kenapa cowok itu tiba-tiba mau merepotkan diri memasak di dapur? Bukan, lebih tepatnya sejak kapan anak majikannya itu bisa memasak? Atau cowok itu hanya sekedar iseng saat ini? Bi Yana jadi sangat meragukan hasil masakan Devan. Hal yang paling mungkin adalah saat ini Devan sedang melakukan uji coba. Lihat saja kedua kantung mata bawahnya yang terlihat hitam saat ini. Sudah pasti cowok itu terlihat lelah dan mengantuk. Mungkin di sekolah ada tugas untuk membuat tempe mendoan sehingga Devan perlu belajar membuat dari rumah. Tapi bahkan sejak kapan cowok itu peduli pada tugas sekolah? Oke, semakin memikirkannya, Bi Yana jadi semakin pusing. "Udah, sini Den, biar Bibi aja yang ngelanjutin." Bi Yana menghampiri Devan. Beliau hendak mengambil spatula dari tangan Devan tetapi cowok itu mencegah dengan cepat. "Nggak usah Bi! Biar aku aja." Devan tersenyum tampak lelah. Ia menghela napas lalu berkata. "Bibi sarapan aja, aku udah siapin nasi goreng sama telur gulung di meja makan." Bi Yana terperangah, menatap Devan yang sudah sibuk membalik tempe mendoan di wajan. Oke, kali ini ia yakin seyakin-yakinnya bahwa saat ini Devan sedang kesambet! Mungkin ia ketempelan jin di suatu tempat. "Kenapa masih berdiri di situ?" Devan yang menyadari Bi Yana masih berdiri mematung segera meletakkan spatula dan mendorong tubuh bibi keluar dari dapur menuju meja makan. Ia menyeret sebuah kursi ke belakang dan mendudukkan Bi Yana di sana. "Udah, Bibi duduk aja di sini dan sarapan yang banyak. Ale- maksudku aku... biarkan aku yang masak!" Devan meninggalkan ruang makan dan kembali menuju dapur. Bi Yana diam seribu bahasa, menatap pada bakul nasi yang telah penuh berisi nasi goreng dengan bau yang menggugah selera, beserta pada sebuah piring dengan beberapa potongan dadar telur gulung yang sudah tertata rapi. Di sebelahnya, terdapat sebuah piring pipih panjang yang berisi lalapan seperti mentimun dan kembang kol yang sudah dipotong kecil-kecil, juga semangkuk acar. "Selamat pagi, Bi Yana!" Sapaan seseorang membuat Bi Yana tersentak. Ia menatap sosok pria paruh baya yang masih mengenakan setelan jas. Tak berbeda dengan sang anak, majikan utamanya ini juga tampak lelah luar biasa. "Tu-Tuan Dewa... Kapan pulang?" Bi Yana segera berdiri dari kursi. Dewa tersenyum, matanya melihat ke arah meja makan. Melihat pada sebakul nasi goreng yang beraroma lezat membuat perutnya tiba-tiba merasa sangat lapar. "Baru saja," jawab Dewa. "Dan kebetulan saya lapar sekali." Dewa meletakkan tas hitam kerjanya dengan asal ke salah satu kursi dan menarik kursi yang paling ujung. Ia duduk di sana. Bi Yana cepat tanggap, ia mengambilkan sebuah piring untuk Dewa dan mengisinya dengan nasi goreng, juga telur dadar beserta lalapan dan acarnya. "Ba-bagaimana rasanya, Tuan?" tanya Bi Yana setelah Dewa mengambil sesendok nasi dan memakannya. Dewa menoleh, menatap Bi Yana. "Enak, Bi," jawab Dewa sembari tersenyum. "Kenapa? Bibi sudah mulai lupa memasukkan garam atau gula ke dalam masakan? Kan saya sudah bilang, sekali-sekali Bibi harus chek up ke dokter. Nggak harus nunggu sakit buat periksa, Bi. Pak Aryo juga siap nganterin Bibi ke mana aja, kok!" Aryo adalah supir pribadi Dewa. Sebenarnya pria itu hendak mencari supir lagi untuk di rumah. Untuk mengantarkan Bi Yana ke mana saja atau sekedar berbelanja di pasar. Namun Bi Yana menolaknya dengan tegas. Wanita itu lebih suka naik becak atau sepeda motor bersama Sari. Dewa terus memakan nasi gorengnya dengan lahap. Perlahan-lahan perutnya mulai terasa tidak lapar lagi. Bi Yana mengambil sebuah teko air mineral dan menuangkannya ke dalam sebuah gelas. Setelah berterima kasih, Dewa meneguk air tersebut hingga habis. Kemudian kembali melanjutkan makannya. "A-anu..." Bi Yana berkata saat Dewa telah menyelesaikan sarapan. Pria itu mengambil sebuah tisu yang tadi disodorkan oleh Bi Yana dan mengelap mulutnya. Meletakkan bekas tisunya di atas piring kotor. Karena ucapan Bi Yana terhenti begitu saja, Dewa jadi menoleh. Ia mengernyit heran melihat Bi Yana yang sekarang terlihat aneh. Wanita dengan rambut disanggul ke belakang itu membuka mulut, lalu menutupnya lagi. Sangat ragu untuk menyampaikan apapun yang ada dalam pikirannya. "Kenapa, Bi?" Dewa jadi gemas sendiri. "Kenapa, hm? Bicara aja jika ada sesuatu yang ingin disampaikan," tukas Dewa lembut. Bi Yana memang sudah seperti keluarganya sendiri. Wanita tersebut mengabdikan hampir separuh hidupnya bekerja dengannya dengan setia dan hampir tidak pernah mengeluh. Bi Yana masih saja ragu. Tak tau harus mengatakan apa. "Uang bulanannya habis?" tebak Dewa. Tapi dengan cepat Bi Yana menggelengkan kepala. "Bukan itu, Tuan... Anu... Den Devan... kayaknya dia ane-" Belum selesai Bi Yana berkata, sosok remaja pria sudah mundul membawa sepiring mendoan yang masih hangat. Ia meletakkan piringnya ke atas meja dan segera berbalik. Sama sekali tidak menyadari ada siapa saja di sana saat ini. Bi Yana jadi tambah bingung luar biasa. Refleks saja, ia meraih lengan Devan yang sudah akan meninggalkan meja makan. “Kenapa, Bi? Nasi gorengnya nggak enak?” Devan melirik ke arah meja makan. Mendapati sebuah piring kosong bekas makanan dan tisu. Saat itulah ia baru menyadari ada sesosok pria di sana, menatapnya tanpa suara. “Anu Tuan Dewa, ini semua yang masak Den Devan,” jelas Bi Yana. Devan menatap Bi Yana sekilas, lalu pandangannya kembali jatuh pada pria yang masih duduk tegak di sana sembari memperhatikan dirinya. Mengernyit, Devan yang sebenarnya adalah Alena mulai berpikir keras siapakah kemungkinan pria ini. Dan sebuah kata melontar begitu saja dari mulutnya. “Papa?” ucap Devan. Tidak yakin apakah itu sebuah pertanyaan atau pernyataan. Sekilas namun tetap masih bisa ditangkap oleh Devan, tubuh pria yang ia tebak sebagai ayah dari si pemilik tubuh tampak menegang. Merasa aneh, ia pun menoleh ke samping dan mendapati mata Bi Yana tiba-tiba berkaca-kaca. Wanita itu menepuk punggung Devan pelan sebelum meninggalkan ruang makan, memberi privasi pada dua laki-laki yang tidak lagi ia ingat kapan pernah bertegur sapa satu sama lain. Devan sama sekali tidak tau harus berbuat apa sepeninggal Bi Yana. Atmosfer di udara tiba-tiba terasa aneh. Dan demi mencairkan suasana, ia tersenyum lalu berkata, “P-Papa sudah sarapan?” Hening. Dewa sama sekali tidak menjawab pertanyaan Devan, membuat cowok itu kebingungan setengah mati. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal, lalu meraih piring berisi mendoan yang baru saja ia letakkan. “Ini masih hangat, Papa mau coba?” Lagi. Dewa tetap diam. Devan pun segera meletakkan kembali piring tersebut tetapi Dewa tiba-tiba bersuara. “Iya! Pa-Papa mau coba!” Dewa mengulurkan tangan, mengambil sebuah mendoan hangat dari atas piring. “Bagaimana?” tanya Devan dengan wajah polos penasaran. Dewa terpaku sesaat lalu mengangguk dan tersenyum. Berusaha mati-matian menahan rasa sesak yang menghantam dadanya. “Ini enak,” jawab Dewa. Ia memakan semua tempe mendoan itu hingga habis. “Ini enak...,” ucapnya sekali lagi. * * * Alena menatap ketiga sosok laki-laki yang sedang mengitari meja makan bersama dirinya. Sebuah mangkuk berisi sayur oseng kangkung, sepiring tempe dan tahu goreng juga satu piring berisi dengan ikan goreng. Semua nampak lezat dan menggoda untuk langsung disantap, jika saja ketiga cowok itu tidak menatapnya seperti seorang narapidana saat ini. "Ke-kenapa kalian terus ngeliatin gue?" Entah apa yang salah dengan pertanyaannya, tetapi Devan melihat berbagai ekspresi berbeda dari masing-masing ketiga cowok itu.  Pertama, cowok yang memiliki rambut belah tengah itu baru ia tau bernama Alvian. Cowok itu mengeluarkan erangan kepedihan tak terkira, seperti ia telah kalah taruhan uang puluhan juta setelah main poker bersama teman-temannya. Kedua, Aldi. Alena yang sebenarnya Devan itu terkejut luar biasa begitu mengetahui fakta yang sebenarnya jika Aldi adalah kakak dari perempuan cupu itu. Sempat memikirkan dalam-dalam dengan serius di mana letak kemiripan mereka tetapi ia sama sekali tidak menemukannya. Menjadikan ia memiliki kesimpulan jika sebenarnya ia adalah anak pungut. Sungguh tragis jika memang begitu kisahnya. Berbeda dengan Alvian, Aldi masih saja menatapnya horor seperti ia tidak mengenal Alena sama sekali. Perubahan gaya bahasa Alena serta sikapnya sepulang dari camping benar-benar membuat cowok yang hanya berbeda satu tahun darinya itu nampak shock luar biasa. Yang terakhir, Alka. Sosok pria satu-satunya yang dianggap Alena paling waras. Pria itu hanya menatap Alena lama tanpa memberikan ekspresi yang berarti. Atau hanya ia saja yang tidak bisa membaca ekspresi si Kakak yang ia tebak paling tua di rumah ini. "Bisakah kita makan sekarang? Gue udah lapar," ucap Devan saat perutnya berbunyi. Seolah tersadar, mereka pun kembali fokus pada makanan di depan mereka. Alka menatap ke kedua adik lelakinya lalu mengangguk. Mereka pun mulai makan. Di sela-sela makanan, mata Alena sempat mengamati rumah mereka yang menurutnya terlalu kecil untuk ditinggali berempat. Dan saat ia menangkap sebuah bingkai foto seorang pria dan wanita sedang tersenyum sembari berangkulan, Alena langsung bisa menebak jika itu adalah kedua orang tua mereka. Dengan mulut masih penuh makanan, ia bertanya, "Omong-omong, di mana Ayah dan Ibu?" Alka, Alvian dan Aldi kompak menghentikan gerakan makan mereka. Bersama-sama menatap pada Alena, adik mereka yang dengan polos menatap mereka balik sembari mengambil makanan dan memasukkannya ke mulut hingga penuh. "Kenapa? Di mana mereka?" tanyanya sekali lagi. Di tempat lain, tak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di rumah Alena. Dewa yang sudah kenyang berdiri dari meja makan. Ia meraih tas kerja hitamnya dan bersiap menuju kamar untuk membersihkan diri sebelum kembali lagi ke kantor. Namun, sebuah panggilan dari putra sematang wayangnya membuat ia berhenti di tengah pintu. Ia menoleh dan menunggu apa yang hendak dikatakan oleh Devan. "A-anu... And- maksudku Papa sekarang ada di sini, benar 'kan?" Devan menggaruk rambut belakangnya yang tidak gatal, merasa tidak enak. Tetapi ia terlalu sungkan untuk menunda kepergian Dewa. Devan yakin Dewa adalah tipe pria sibuk dan pekerja keras. Devan pikir pria itu pasti akan segera berangkat ke kantor. Dewa masih menunggu dengan sabar, lalu melirik arloji di tangannya. Tidak apa-apa jika terlambat sebentar. "Eumh... Tant- maksudku Mama... Di mana Mama?" Mendapat pertanyaan tidak terduga dari Devan, membuat Dewa terkejut. Ia mengernyit, menatap Devan tidak mengerti. "A-anu... Anda-maksudku Papa sekarang ada di sini. Dan jika Mama datang bersama dengan Papa, di mana dia sekarang?" Dewa diam. Membuat Devan buru-buru menambahkan ucapannya. "Ah, jangan salah paham. Saya, eh aku tau kalian sibuk tetapi bukankah Mama juga butuh sarapan? Aku bisa menyiapkan kotak makan untuk Mama, jadi Beliau bisa makan nanti di mobil." jelas Devan, menadadak merasa aneh dengan ekspresi yang ditunjukkan Dewa. "Benar. 'kan?" lanjut Devan tanpa sadar. Pria itu bukannya menjawab pertanyaan Devan, ia justru terlihat sangat sedih. Dan Devan masih tidak tau alasan apa yang membuat Dewa sedih. Apa yang salah dengan pertanyaannya?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN