20 - Mencari Cara

1433 Kata
Dulu, ada satu hal yang paling Alena hindari; mengenal semua jenis cowok playboy. Devan adalah kandidat pertama yang termasuk dalam list Alena, disusul dengan sederet nama-nama cowok populer di sekolah. Ia akan tetap berpegang dalam sebuah prinsip itu jika saja kejadian tidak masuk akal tidak terjadi pada hidupnya. Alena tidak membenci mereka (cowok playboy), Alena hanya tidak suka. Saking besar rasa tidak sukanya ia jadi cewek paling cupu di sekolah sebab menghindari cowok-cowok yang memiliki wajah di atas rata-rata dan semua jenis cowok yang namanya sering dibicarakan oleh kaum hawa dengan penuh pemujaan. Sepanjang Alena bersekolah di SMA Taruna Negara, ia hanya mengenal sedikit cowok selain teman-teman sekelasnya. Dan Alena sudah merasa lebih dari cukup, nyaman dan senang. Namun sekarang takdir seolah sedang bercanda dengan dirinya. Justru kandidat nomor satu yang seharusnya ia hindari harus terikat dengan dirinya. Alena berjalan, lalu berbalik dan berjalan, berbalik lagi, berjalan lagi, begitu seterusnya. Dahinya mengernyit dalam, satu tangan ia lipat ke depan d**a dan satunya lagi mengetuk-ngetuk dagu. "Bisa nggak lo berhenti mondar-mandir di depan gue? Pusing lihatnya!" Langkah Alena terhenti, ia berbalik dan mendapati sosok dirinya sedang duduk dengan satu kaki naik ke kursi dan satu lagi menjuntai ke tanah. Cewek itu sedang duduk di sebuah bangku taman. Ada pohon rindang yang cukup besar hingga bisa melindungi mereka berdua dari terik panas matahari. Melalui tatapan tajam yang Alena kenal, Devan mendesis tak suka sebelum kedua manik matanya kembali ke ponsel yang sedari tadi terus berbunyi tanda jika ia mendapat banyak sekali pesan masuk. "Aish, si Layla ini cantik juga," ucapnya. "Oh! Angela juga imut! Anjir, ke mana aja gue baru tau yang namanya Miya? Tubuhnya oke!" Devan terus menyerocos, membuat Alena menghela napas panjang. Rasanya ingin sekali ia menimpuk Devan dengan sepatu converse putihnya saat ini. Bagaimana bisa cowok itu masih memikirkan cewek-cewek saat tubuh mereka masih belum kembali seperti semula? Saat jiwa mereka masih tertukar? Dengan tidak sabar, Alena pun menyambar ponsel Devan. Devan mendongak, menatap murka pada sosok dirinya sendiri. "Woi yang bener aja! Sini balikin ponsel gue!" seru Devan. Ia mencondongkan tubuh, berusaha meraih ponsel yang disembunyikan Alena di belakang tubuhnya. "Nggak mau! Makanya kalau sedang di ajak diskusi itu fokus!" Alena terus menjauhkan posel Devan. Saat ini ia lebih unggul karena ia berada dalam badan cowok. Jangkauan tangan serta tinggi badannya sangat mendukung. "Heh, Siti! Gue juga lagi mikir! Itu tadi gue otw mau searching ke google!" "Kamu gila? Mana ada kasus luar biasa yang seperti kita ada di google? Kalaupun iya mungkin udah masuk hotline news dan jadi topik populer sepanjang sejarah kali! Bahkan mungkin saja ada materi khusus tentang hal tersebut dalam pelajaran sekolah!" Devan jadi kesal luar biasa. Memang ia tidak akan menang berdebat dengan cewek cupu keras kepala ini. "Dasar Siti cupu!" "Dasar Bambang playboy!" "Gue Devan bukan Bambang!" "Dan gue Alena bukan Siti!" Mereka terus berdebat hal-hal yang tidak penting sampai sebuah bola balon menggelinding ke arah mereka. Devan yang sudah turun dari bangku karena terus mencoba merebut ponsel dari tangan Alena tidak melihat. Kakinya tidak sengaja menginjak balon tersebut. DOR! Suara letusan mendadak membuat baik Devan dan Alena sama-sama berhenti karena terkejut. Bersama mata mereka menunduk lalu menoleh pada sebuah suara anak kecil yang tiba-tiba menangis. "Huaaa .... Balonku!" "Tino! Ya ampun anak Mama! Udah nggak apa-apa ya, nanti Mama beliin lagi." Seorang Ibu muda muncul dan mencoba menenangkan putranya agar tidak menangis lagi. Tadi saat ia bermain dengan Tino kecil bola balon yang di lempar anak laki-lakinya menggelinding pada dua remaja yang entah sedang memperdebatkan apa. Dan sekarang balon itu telah meletus terinjak. "Tino nggak mau, huaaa ... Tino mau yang itu, warna biru!" jawabnya masih menangis. "Iya, iya, nanti Mama belikan lagi yang baru." "Nggak mau! Tino maunya yang itu! Tino nggak mau yang baru huaaa ...!" Melihat hal tersebut Alena merasa bersalah luar biasa. Ia hendak maju meminta maaf tetapi urung saat seseorang menyambar ponsel di tangannya. Alena menoleh, menatap cewek yang kini sudah cengingisan menatap ponsel. Jika tadi ia hanya ingin menimpuk Devan dengan sepatu, kali ini ia sudah memiliki niat untuk menendangnya jauh hingga tersangkut ke atas pohon. Tanpa pikir panjang lagi, ia pun menggeplak kepala Devan. Rasanya sedikit aneh karena ia memukul kepala yang adalah kepalanya sendiri. Tapi ia sudah mengesampingkan hal tersebut jauh-jauh. Cowok yang ada di tubuhnya itu jelas sudah krisis sopan santun. Devan sudah berbalik menatap Alena tajam dan sudah siap melontarkan makian tetapi Alena langsung memiting kepala Devan di bawah ketiaknya. Merasa tercekik  di bagian leher, Devan memukul-mukul tangan Alena agar melepaskannya. s**l, tenaga cewek s****n! makinya dalam hati karena merasa tenaganya jauh lebih lemah. "Minta maaf sekarang juga!" desis Alena. "Nggak mau!" Devan ngotot seperti biasa. "Aish, cowok s****n ini!" umpat Alena. Barangkali ini adalah pertama kali ia mengumpat karena Devan benar-benar minta ditinju. "Heh, lepasin. Gue nggak bisa napas!" ronta Devan. "Nggak akan sebelum kamu minta maaf sama anak kecil itu." "Itu bukan salah gue, ngapain gue harus minta maaf?!" Alena semakin memperkuat pitingannya. "Minta maaf atauuuu aku bakal bikin terus kayak gini? Wah, lumayan juga ada di tubuh kamu. Aku jadi punya tenaga lebih buat ngehajar kamu!" Merasa semakin kesulitan bernapas, Devan mengerjab. "Heh, kalau gue mati lo juga bakal terjebak selamanya di badan gue b**o!" Alena tidak peduli, yang ada ia justru semakin memperkuat pitingannya. "Oke, oke! Gue bakal minta maaf!" seru Devan menyerah. Ia pun langsung menghirup udara banyak-banyak untuk mengisi paru-parunya yang sudah mengkeret kehabisan oksigen. Ia bersumpah jika ia mati tadi, ia akan menjadi hantu yang terus menggentayangi cewek cupu itu sampai kehilangan akal sehat. Belum puas rasanya Devan menghiru udara bebas, cewek itu sudah menarik baju bagian belakang leher dan menyeretnya. "Hai, adik kecil. Siapa nama kamu?" tanya Alena dengan senyum ramah. * * * "Hai adik kecil. Siapa nama kamu?" Tino yang tadi terus merengek meminta bolanya kembali menatap sosok cowok yang menyapa dengan ramah. Sesaat Tino hanya diam, mengamati wajah tampan Devan. Karena sang anak tidak terlihat ingin menjawab, Mama Tino pun tersenyum, berusaha membalas keramahan Devan. "Namanya Tino," ucapnya. Tino sekarang jadi bersembunyi di belakang Mamanya yang sudah berdiri. Pipi tembamnya basah bekas air mata dan sesekali ia masih berusaha menghirup napas dalam-dalam hingga terdengar suara ingus yang tertahan dalam hidung anak kecil tersebut. Alena tersenyum, merasa gemas. Ia memang menyukai anak kecil, terlebih yang memiliki pipi tembam mulus seperti Tino. Ingin rasanya ia mencubit pipi anak itu. "Hai, Tino. Aku Devan!" sapa Alena memperkenalkan diri sebagai Devan sembari melambaikan tangan. "Dan ini, ada yang mau bicara sama Tino!" Alena melirik dan menatap tajam pada Devan yang masih sibuk mengelus lehernya demi mendapatkan ekstra oksigen. "Minta maaf sekarang!" bisik Alena sedikit keras, matanya lurus ke depan, tetap berusaha tampil seramah dan semenyenangkan mungkin pada si kecil Tino. Devan tampak kesal. Ia sudah akan kembali menolak namun Alena bisa membaca pikirannya cepat. Sekali lagi, dengan gerak tubuh cepat, Alena mendorong kepala Devan ke depan, membuat cewek itu membungkuk sembilan puluh derajat. Mama Tino mengerjab dan tersenyum paksa melihat pemandangan  aneh tersebut. Rasanya ia sedang menyaksikan seorang pacar yang tengah mendominasi hubungan. Alena tertawa, masih berusaha terlihat ramah di depan Ibu dan anak itu. Ia sedikit memcondongkan tubuh ke samping hanya untuk berbisik, "MInta maaf sekarang juga!" dengan kata per kata yang ia tekankan. Merasa tak ada pilihan lain, Devan pun mendesah. "Gue minta maaf!" serunya sedikit berteriak, menyebabkan Alena semakin menekan kepalanya ke bawah. "Yang benar kalau minta maaf!" ucapnya dengan tanpa menghilangkan senyum di bibirnya. "Aishh... Sialaa-" "Kalau kamu nggak mau minta maaf dengan benar, aku akan pastikan kamu akan menunduk selama beberapa jam ke depan!" ancam Alena, membuat Devan menelan makiannya bulat-bulat. "Gue minta maaf!" Lagi-lagi Alena menekan kepalanya ke bawah. Devan mendesis kesal. "Saya minta maaf," ucap Devan akhirnya. "Maaf sudah menginjak balonmu, wahai anak kecil." Entah kenapa Alena jadi ingin tertawa mendengar tiga kata terakhir dari mulut Devan. Perlahan ia melepaskan tangan dari kepala cowok yang terjebak di tubuhnya itu, membuat Devan lega luar biasa karena terbebas dari p**********n. "Tino ... mau maafin Kakak ini?" Alena menunjuk Devan. Pandangan mata Tino jatuh ke arah seorang cewek takut-takut. Ia masih bersembunyi di balik tubuh Mamanya. Butuh waktu sekitar sepuluh detik hingga akhirnya Tino mengangguk. Alena tersenyum lalu menatap Mama Tino. "Kami benar-benar minta maaf sudah memecahkan balon Tino sehingga membuatnya menangis," ucap Alena tulus. "Nggak perlu minta maaf, tadi saya lihat juga nggak sengaja teman perempuan kamu menginjaknya," tukas Mama Tino melirik Devan. "Omong-omong, saya tidak ingin ikut campur terlalu jauh pada hubungan kalian tapi ...." Mama Tino mendekatkan tubuh kepada Alena lalu berbisik. "... jangan terlalu kasar sama perempuan. Semenyebalkan apapun dia kalau kamu suka bilang aja suka. Jangan jaim-jaim an." Alena mengerjab tidak mengerti. Sedangkan Mama Tino tersenyum menggoda. Tunggu, sepertinya ada kesalah pahaman di sini, batin Alena meringis. Alena hanya mengangguk-angguk dan melambai pada Mama Tino dan Tino saat mereka pamit untuk pulang. Dan saat itulah ia kembali sadar jika ada hal penting yang harus ia diskusikan dengan cowok yang ada dalam tubuhnya. Yaitu mencari cara bagaimana agar jiwa mereka bisa kembali ke tubuh masing-masing.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN