Note : Bagi kalian yang kemarin terlanjur baca bab 9, ada perubahan di naskah akhir ya. Jadi kemarin itu salah upload, naskah yang aku publish bukan yang ini tapi naskah pertama yang masih mentah huhuhu.... Sekali lagi maafkeun...
Udah gitu aja.
HAPPY READING!
* * *
"Jangan jatuh cinta sama gue," seringai Devan, masih memejamkan mata. Membuat Alena mendengus kecil mendengar kenarsisan cowok tersebut.
"Nggak akan pernah!" sanggah Alena.
Tiba-tiba Devan membuka mata lalu mengambil posisi duduk seperti Alena. Ia menatap wajah Alena dengan seksama, membuat cewek tersebut mengangkat sebelah alisnya heran.
"Kenapa?" tanya Alena yang mulai merasa risih dengan tatapan Devan.
Cukup lama Devan terdiam setelah akhirnya dia berkata, "Lo ada hubungan apa sama Aldi?"
Alena menatap terkejut pada Devan. Ia menyipitkan mata, menatap lekat ke arah Devan. "Kepo!" jawabnya.
Devan berdecih. Ia membuang muka tak suka dengan jawaban Alena. "Kalian backstreet, kan?"
"Enggak."
"Nggak usah bohong," cibir Devan. "Kayaknya gue tau kenapa Aldi ngajak lo backstreet." Devan diam sesaat, sedangkan Alena sama sekali tidak peduli. "Pasti dia malu punya cewek cupu kayak lo. Iya, kan?" Devan berkata sambil menaik turunkan alisnya. Ia sengaja mengejek Alena hingga membuat cewek itu menatapnya kesal.
"Diantara tujuh orang, kenapa aku harus tersesat dan terjebak dalam rumah ini sama cowok menyebalkan kayak kamu?" rutuk Alena.
"Diantara tujuh orang, kenapa gue nggak terjebak saja sama si Intan yang cantik itu? Kenapa harus sama backsteet-annya Aldi?" balas Devan.
"Aku bukan backstreet-annya Kak Aldi," sinis Alena.
Devan mencibir tak percaya. "Gimana ya kalau fans-fans fanatik Aldi itu tau ternyata Aldi nggak kayak bayangan mereka? Lo tau, Aldi itu terkenal dengan ke-jomloannya yang entah kenapa menurut para cewek di sekolah merupakan hal yang gentle dan macho padahal menurut gue nggak sama sekali. Gue justru sempat curiga kalau Aldi itu gay alias suka sesama jenis!" Devan terkekeh.
"Tapi ternyata ... nggak bisa dipercaya. Dia punya pacar. Dia nggak jomblo. Dan yang lebih parah lagi adalah ... pacarnya itu cewek cupu kayak lo! Matanya pasti katarak karena di antara ratusan siswi cantik dan seksi di sekolah yang suka dan tergila-gila sama dia, Aldi justru milih elo."
Kekehan Devan semakin menjadi, membuat Alena akhirnya menimpuk wajah Devan dengan ransel yang membuat cowok itu langsung memekik kesakitan. Berbagai u*****n nama hewan di kebun binatang bahkan sudah keluar dari mulut cowok itu.
"Dasar gila!" umpat Alena. Ia membuka ranselnya dan mengambil dua bungkus roti dan sebotol air mineral dari sana. Alena membuka satu bungkus dan memakannya dengan lahap. Sejak siang tadi ia belum memakan apapun dan sekarang ia sangat lapar.
Devan yang sedari tadi tertawa kini terdiam. Hanya bisa menatap Alena yang sedang makan sambil meneguk salivanya. Ia juga lapar, tetapi sayangnya ia memiliki rasa gengsi yang cukup tinggi. Sampai kapanpun ia pantang meminta pada seorang cewek.
Merasa diperhatikan, Alena menoleh. Devan yang sedari tadi memperhatikan makanan Alena segera memalingkan muka. Ia berpura-pura tidak tertarik dan memasang wajah cool. Namun sayang, cacing-cacing di perutnya menolak untuk bekerja sama.
Kerucuk... kerucuk....
Cacing s****n! Umpat Devan dalam hati.
Mendengar suara keroncongan dari perut Devan, Alena mendengus lalu melemparkan sebungkus roti yang lain pada Devan.
"Makan!" seru Alena.
"Tch, gue nggak lapar," tolak Devan. Alena berdecak panjang lalu dengan acuh kembali memakan roti di tangannya. Dasar songong, jelas-jelas perutnya udah bunyi! pikir Alena dalam hati.
Berulang kali Devan melirik roti di depannya. Ia lapar tapi ia benar-benar gengsi. Devan menggigit bibirnya lalu memejamkan mata sejenak. "Karena gue orangnya baik dan menghargai elo sebagai ceweknya Aldi, gue makan ini roti."
Alena mendengus. Mengutuk dalam hati kenapa cowok satu ini selain playboy, narsis, tidak punya sopan santun juga memiliki gengsi yang setinggi langit. Padahal di lihat dari wajahnya saja sangat terlihat jika Devan sedang lapar.
Tak ada percakapan setelah itu. Mereka memakan roti masing-masing dalam diam.
Beberapa jam kemudian, hujan masih tak kunjung reda, malam juga semakin larut. Alena menguap, akhirnya memilih membaringkan badan karena kelelahan seharian berjalan.
"Selamat malam, Devan," gumam Alena lirih dengan setengah mata terpejam. Dia tidak bisa menahan kantuknya lebih lama lagi hingga tertidur lelap.
Sedangkan Devan yang tidak terbiasa tidur di lantai kayu seperti itu, bergerak gelisah. Tubuhnya memutar ke kanan dan kiri. Ia heran melihat betapa mudahnya Alena jatuh tertidur begitu saja.
Devan pun menarik napas panjang. Ia mengambil jaket yang semula ia gunakan untuk menutupi tubuhnya pada Alena. Akan tetapi, setelah berpikir-pikir bahwa besok Alena akan berpikir yang tidak-tidak padanya, ia kembali mengambil jaket itu. Devan memasukkannya dalam ransel dan akhirnya ia gunakan sebagai bantal tidur.
Devan memiringkan badannya ke kiri hingga posisinya berhadapan dengan Alena. Ia mengamati wajah polos Alena yang sedang tertidur tanpa menggunakan kacamatanya. Tanpa sadar, sebuah senyuman tipis terukir di bibirnya.
"Selamat malam, Alena," bisik Devan sebelum akhirnya ia juga ikut terlelap dengan posisi saling berhadapan satu sama lain. Ia bahkan tidak sadar ketika tangannya telah berpindah ke atas tangan Alena.
Dan saat itu juga, kalung di leher Devan bersinar. Semakin lama semakin terang hingga membungkus tubuh Devan dan Alena, membuat kedua remaja tersebut melayang di udara.
Lalu, sebuah sinar ungu muncul di masing-masing antara leher bawah dan tulang belikat, membentuk sebuah pola gambar khas setengah sayap kecil berwarna hitam persis seperti bandul milik Devan.
Cahaya tersebut terus menyebar, membumbung lurus ke atas langit. Membuat hujan yang semula deras mendadak berhenti dan berganti dengan titik-titik gerimis yang tidak berarti. Cahaya putih kebiruan itu berganti dengan cahaya kuning, ungu dan putih yang kemudian berpendar, terus menyebar di seluruh penjuru hutan tersebut. Membentuk sebuah aurora di langit.
"Guys, kalian mesti lihat ini!" teriak salah seorang siswi yang memutuskan untuk keluar tenda karena hujan telah reda. Ia mendongak melihat ke arah langit dengan tatapan berbinar kagum.
"Wuah ... apa ini? Mustahil!" pekik salah satu siswa dengan tangan menutup bibirnya, tak percaya apa yang ia lihat saat ini.
"Aurora ....!!" Yang lain tak bisa berkata apa-apa, hanya bisa diam menyaksikan. Beberapa yang lain sudah asik mengambil gambar, berlomba-lomba mengepost-nya ke media sosial untuk menceritakan hal ajaib tersebut.
Pasalnya, aurora adalah hal yang mustahil bisa terjadi di negara yang tropis ini. Semua mata yang ada di hutan tersebut menengadahkan ke langit, tersihir untuk terus menikmati keindahan yang tidak pernah mereka jumpai seumur hidup kecuali harus ke Norwegia terlebih dahulu.
Bahkan mereka juga telah melupakan adanya dua orang siswa yang sejak tadi dicari karena belum kembali ke camp.
* * *
Bayangan hitam seekor serigala besar tampak jatuh pada sebuah tembok rumah kayu yang saat ini terlihat begitu nyaman. Dalam bayangan tersebut, sang serigala menggelengkan kepala, disusul dengan goyangan ke seluruh tubuh demi membuat bulu-bulu basahnya sedikit terbebas dari sisa-sisa titik air hujan.
Pelan namun pasti, serigala tersebut berjalan menapak mendekati rumah tersebut. Namun bayangan tersebut mulai tidak membentuk seekor serigala lagi. Bayangan hitam itu semakin menjadi tinggi, mengecil hingga membentuk bayangan lain. Sosok manusia.
Ia berjalan dan menyentuh daun pintu rumahnya. Mengernyit karena merasa ada yang berbeda.
Pria itu membuka pintu pelan, lalu mendapati dua sosok remaja yang sedang terbaring di lantai rumahnya. Ia menatap dua remaja itu cukup lama, lalu menoleh ke arah perapian yang masih menyala karena kayu yang dimasukkan ke dalam sana cukup banyak. Mungkin besok pagi baru padam.
Setelah menutup pintu agar angin malam tidak masuk, pria berkemeja putih itu kembali berjalan mendekati dua manusia yang ada di kediamannya. Ia berjongkok demi mengamati wajah mereka berdua dari atas kepala mereka yang masih tertidur pulas.
"Bukankah kalian sudah pernah diajarkan untuk tidak masuk ke sembarang rumah?" gumamnya. Sebuah seringaian miring tercetak di bibirnya. "Mau bagaimana lagi? Takdir adalah takdir. Kalian berdua sudah terikat satu sama lain."
Lalu tatapannya jatuh pada sebuah tato kecil di leher Devan dan Alena yang hampir tertutup sempurna oleh kaus mereka karena letaknya yang berada di leher bawah hampir ke pundak.
Lagi-lagi sebuah senyuman muncul di bibirnya.
"Takdir kalian telah dimulai ..."
Pria tersebut berdiri. Rambut hitamnya masih setengah basah, sesekali meneteskan titik-titik air hujan di lantai.
"Sepertinya aku harus pindah. Rumah ini sudah terungkap keberadaannya."
Bersamaan dengan itu, ia menutup pintu keluar dari rumah. Dan menghilang seolah ia tidak pernah datang ke sana.