Alena menggeliat bangun saat merasa sesuatu yang basah mengenai kulit wajahnya. Kelopak mata gadis itu bergerak lalu terbuka perlahan. Rasa kantuk masih menyerang, membujuk remaja itu untuk melanjutkan tidurnya, tetapi rasa dingin dari angin yang menusuk kulit memaksa ia untuk segera beringsut bangun.
Dengan posisi duduk, Alena merentangkan kedua tangannya lebar sembari menguap, seperti kebiasaan kebanyakan orang saat baru bangun tidur. Dengan mata yang ia paksa untuk tetap melek, ia menatap sekeliling.
Banyak pepohonan sejauh mata memandang, membuat Alena sedikit merasa blank. Bukankah hal pertama yang harus ia lihat adalah tembok kamarnya?
Alena mengernyit, lalu kilasan kejadian kemarin berputar dalam ingatannya. Ia mengangguk paham. Betul juga, ia sedang tersesat di hutan maka tidak aneh jika banyak pepohonan di sini dan ....
Tunggu dulu!
Menunduk ke bawah, Alena mendapati rerumputan hijau. Ia memastikan sekali lagi, kepalanya berputar demi melihat sekitar. Sementara otaknya berusaha mengingat kembali tentang rumah kayu yang seharusnya ia berada saat ini.
Alena benar-benar kebingungan. Apakah kemarin ia berimajinasi berada dalam sebuah rumah kayu? Tapi tidak mungkin itu hanya imajinasinya saja. Rumah itu benar-benar nyata. Bahkan ALena masih ingat aroma kayu bakar dan kehangatan yang muncul dari perapian tadi malam.
Devan!
Alena ingat cowok itu! Ia harus memastikan semuanya pada Devan. Satu-satunya orang yang juga menjadi saksi apa yang telah ia lalui tadi malam.
Lalu tatapan Alena jatuh pada sosok manusia tak jauh dari dirinya. Cewek itu manatapnya lama dengan horor. Kedua matanya melebar, sementara bibirnya terperangah tidak percaya dengan apa yang ia lihat.
"Kamu... " Alena terdiam. Mengerjab. Ia menutup mulutnya dengan tangan lalu menyentuh tenggorokannya.
Tunggu, ada yang aneh dengan fisiknya. Bagaimana mungkin suaranya berubah menjadi suara cowok?!
Alena meneguk saliva kasar. Dengan cepat ia menunduk, memastikan betul tentang apa yang terjadi.
Saat itulah ia berteriak. Karena menyadari jika dia bukanlah dia.
"AAAAARRRRGGHHHH!!"
* * *
Mendengar sebuah teriakan kencang saat sedang enak-enaknya bermimpi adalah sesuatu yang menyebalkan. Devan sedang bermimpi berada di sebuah kastil mewah yang penuh dengan makanan enak dan cewek-cewek cantik ketika tubuhnya dipaksa harus kembali ke realita. Rasa-rasanya Devan ingin menimpuk siapapun itu dengan bantal yang kini ia pakai.
Alih-alih bantal, tangan Devan meraih sebuah ransel yang ia pakai sebagai alas tidur. Dengan gerakan cepat tanpa repot-repot membuka mata, cowok itu sudah melemparkan benda tersebut ke arah suara. Ia tersenyum lega saat suara teriakan itu hilang sama sekali.
Oh, mimpi, datanglah kembali... pintanya dalam hati, bersiap-siap untuk kembali melanjutkan mimpi yang tadi terjeda.
Namun, lagi-lagi suara teriakan itu muncul, membuat telinga Devan berdengung. Mau tidak mau ia pun beringsut bangun. Siap mencabik dan membunuh pada siapapun yang mengganggu tidurnya.
"Berisik! Apa-apaan sih teriak-teriak terus? Nggak lihat orang lagi enak-enaknya tidur?!" seru Devan jengkel. Matanya menatap lurus pada sosok pria yang duduk menghadapnya.
Mengerjab. Devan terdiam. Sepertinya ia mengenal wajah seorang cowok yang tadi mengeluarkan suara teriakan... dan sekarang cowok itu sedang menatap Devan dengan horror seolah sedang melihat hantu, wajah cowok itu pun tampak sangat pucat.
Devan mengerjab lagi.
Satu kali. Dua kali. Hingga pada hitungan lima detik matanya terbelalak. Mulutnya mengaga, tak percaya pada sosok cowok di depannya itu.
Bukankah itu... dirinya sendiri?
"AAAARGGGGGHHHH" Devan mulai berteriak histeris. "Lo!! Lo siap--" Ucapan Devan berhenti, ia baru menyadari jika pita suaranya berubah jadi melengking.
Berubah? Tunggu dulu!
Dengan perasaan campur aduk, Devan meneguk saliva kasar. Cowok itu menunduk takut-takut dan tubuhnya langsung lemas begitu sadar jika tubuhnya bukanlah miliknya.
Nggak mungkin! batin Devan, ia meraba-raba seluruh tubuh dan pakaian lalu wajah... rambut. Rambutnya jelas panjang dan...
Devan jadi lupa cara bernapas. Ia kembali menatap sosok cowok di depannya dan saat itu jugalah sebuah teriakan yang lebih mirip lengkingan seorang perempuan dan tak kalah keras keluar dari bibir tipisnya.
Baik Devan dan Alena berteriak karena sama-sama sadar jika mereka bukanlah mereka. Jiwa mereka telah tertukar.
* * *
Entah sudah berapa lama mereka saling tatap satu sama lain, saling meneliti wajah yang harusnya menjadi milik mereka. Setelah berkali-kali mencubit, menampar, menjitak dan melakukan hal-hal gila lainnya yang berpotensi menyakiti tubuh mereka masing-masing demi memastikan jika mereka tidak sedang bermimpi, kini mereka saling diam dan hanya memperhatikan.
"Woah, ternyata tampang asli gue kayak gini. Lebih ganteng dari pada di kaca ataupun kamera smartphone. Lihat aja, gue bakal bikin hastag protes tentang kepalsuan sebuah kaca di Instragam!" Devan berkata, mengacaukan tatapan jijik dari Alena melalui wajah milik Devan sendiri.
"Heh, Devan! Kamu gila ya? Bukannya nyari solusi buat kita tapi kamu malah sempat-sempatnya sibuk dengan memuji diri sendiri!" gerutu Alena. "Pikirin sebuah solusi dong, kenapa tubuh kita bisa tertukar kayak gini?"
Devan menyibak rambut panjangnya, sedikit merasa merinding. Ia masih sadar jika ia adalah cowok tulen dan ia tidak suka memiliki rambut sepanjang ini. Membuat ia terlihat seperti cewek tulen.
"Lagian aneh banget!" Alena mulai berdiri. "Seharusnya kita ada di dalam rumah kayu. Kamu ingat sama kejadian tadi malam?" Alena menatap Devan yang ada di tubuhnya.
Devan mengangguk membenarkan. Ia mengikuti Alena untuk berdiri. Lagi-lagi merasa aneh saat harus mendongak demi menatap mukanya sendiri. Biasanya, ia tidak perlu mendongak ketika melihat para cewek karena ia tinggi. Namun sekarang, berada di tubuh Alena membuat ia harus mendongakkan kepala.
"Atau mungkin yang terjadi tadi malam adalah sebuah ilusi? Kita berdua tersesat di hutan, lelah dan kelaparan sehingga apa yang kita lihat sebenarnya memang nggak ada." Devan menghela napas, meraih ransel miliknya lalu melanjutkan. "Lagipula mana mungkin sebuah rumah bisa hilang sama sekali tanpa tersisa barang satu kayu pun?"
Alena meragukan pendapat Devan karena jelas yang mereka lihat kemarin benar-benar nyata. Tidak mungkin kan mereka berdua bisa mengalami sebuah ilusi yang sama?
Mungkin saja Alena, suara Alena dalam hati.
Tidak ada bukti tentang keberadaan rumah tersebut sehingga pendapat Devan memang lebih harus ia percaya. Alena menarik napas panjang, lalu meraih ranselnya yang sedikit basah terkena titik-titik air dari rerumputan.
"Lalu, apa yang bisa menjelaskan tentang keadaan kita? Kita sendiri saja sudah nggak masuk akal!"
"Gue nggak tau," jawab Devan. Ia menengadahkan kepala ke langit yang sudah nampak terang. Sang surya telah keluar dan menyebarkan sinarnya ke seluruh permukaan bumi, terik panasnya pun mulai masuk ke celah-celah pohon tempat mereka berada kini.
"Yang gue tau, kita harus segera keluar dari tempat ini. Jika kita nggak bergegas mencari jalan keluar mulai dari sekarang, mungkin akan memakan waktu lebih lama lagi buat kembali ke camp kita," lanjut Devan, menatap Alena melalui kedua mata cewek itu yang sekarang sama sekali tidak mengenakan kaca mata. "Lo nggak mau kan terjebak lebih lama lagi di hutan dan menginap satu malam lagi?"
Alena mengangguk. Devan benar. Hal pertama yang harus mereka lakukan adalah mencari jalan kembali menuju camp. Mereka harus selamat dan tetap hidup. Untuk masalah keadaan mereka yang tidak normal bisa mereka pikirkan nanti.
Satu jam...
Dua jam...
Tidak tahu sudah berapa lama mereka berjalan menyusuri hutan. Baik Devan dan ALena sesekali mengecek ponsel mereka demi mencari sebuah sinyal. Yang paling lemah pun tidak mengapa, yang penting bisa memungkinkan mereka untuk mengirim sebuah pesan. Rasa lapar dan dahaga pun mulai menghampiri. Sedangkan air mineral milik Alena sisa dari tadi malam telah habis tak bersisa.
Devan yang berada dalam tubuh seorang cewek sesekali masih menjerit. Rasanya lengkingan dari suaranya telah memenuhi seluruh hutan tersebut. Devan menjerit pun bukan tanpa alasan. sebab hampir di setiap jalan ia menemukan serangga-serangga beterbangan dari satu ilalang ke ilalang lain, dari satu semak ke semak yang lain.
OKe, satu hal yang mereka tau dari kejadian ini. Meskipun jiwa mereka tertukar, bukan berarti sifat mereka berubah. Devan yang memiliki tubuh Alena tetap saja takut pada serangga, dan Alena yang berada di tubuh Devan, tetap saja merasa terganggu dengan teriakan cowok itu, meski yang ia dengar adalah teriakannya sendiri.
"Gue menyerah." Devan berkata, ia berhenti berjalan. Sebelah tangannya menyandar pada sebuah pohon besar. Dahinya mengeluarkan banyak keringat sementara napasnya tersengal-sengal. Terdengar bunyi keroncongan dari perutnya, namun ia hanya bisa pasrah. Tidak ada yang bisa mereka makan saat ini.
Alena pun menghentikan langkah. Tampangnya tak kalah mengenaskan dengan Devan meskipun ia terlihat lebih baik. Sungguh, Alena seperti melihat wajahnya sendiri seperti sosok hantu kehabisan darah. Wajahnya yang biasanya bersemu kemerahan kini tampak memutih sama sekali pengaruh dari Devan yang takut pada serangga.
Ia berjalan mendekati Devan, lalu merogoh sakunya. Lagi-lagi untuk mengecek apakah ada sinyal di sana.
Sia-sia. Tidak ada sama sekali. Bahkan baterai ponselnya tinggal beberapa persen.
Oh, Kak Alka, Kak ALvian dan Kak Aldi pasti bakalan marah banget, desah Alena dalam hati.
Alena memutar tubuh, mengamati keadaan sekitar yang entah mengapa ia merasa jika mereka hanya berputar-putar di tempat. Bahunya merosot, memikirkan kemungkinan jika mereka tidak akan bisa keluar dari tempat itu hari ini.
"Oke, kita istirahat aja dulu di si-"
"DEVAAANNN!! ALENAAA!!!"
Ucapan Alena terhenti begitu saja saat mendengar teriakan itu. Ia menajamkan pendengar, beharap jika ia tidak salah.
"DEVAAAAANNN!!! ALENAAA!!!"
Tidak salah lagi. Suara teriakan itu semakin terasa dekat. ALena menoleh pada Devan yang kini tersenyum lega. Ia juga mendengar teriakan tersbut yang berbarti ini bukanlah imajinasi. Teman-teman sedang mencari mereka berdua dan suara mereka tersengar semakin dekat.
"Kita selamat!" seru Alena. Ia menjulurkan tangan ke depan, menyuruh Devan untuk memegang tangannya.
Tanpa pikir panjang, Devan pun menerima uluran tangan Alena. Lalu mereka kembali berjalan. Sama-sama berteriak, "Kami di siniiii!!! Kami di siniii!!!"
Tak lama kemudian mereka benar-benar mendesah lega. Teman-teman menemukan mereka, memberikan mereka air mineral dan beberapa roti untuk mengisi perut dan mengisi tenaga mereka yang sudah terkuras habis.