Semakin Berani

1298 Kata
Bagian 5 "Mona, buka pintunya. Kamu belum masak, Mona!" Selang beberapa saat setelah aku mengurung diri di kamar, ibu mertua langsung menggedor-gedor pintu kamar. "Kita mau makan apa malam ini kalau kamu gak masak, Mona?" Lanjutnya lagi. Ibu mertua masih setia menggedor-gedor pintu, bahkan sekarang lebih keras. Namun, aku tidak menghiraukannya karena sudah tahu bahwa mereka hanya memanfaatkan kebaikanku saja. Aku tulus menyayanginya dan menganggapnya seperti ibu kandungku sendiri. Tapi apa balasannya untukku? Hanya hinaan dan cacian yang selalu kudengar setiap hari dari mulutnya. *** "Dek, bangun!" Aku merasakan seseorang menepuk pelan pipiku. Oh, ternyata Mas Bayu sudah pulang. Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling, ternyata sudah malam. Entah jam berapa sekarang, aku ketiduran. "Dek, tadi kamu ribut lagi sama Ibu, ya?" Tanya Mas Bayu sambil menghempaskan bobotnya di pinggir ranjang. "Iya," jawabku singkat. Jika dulu aku selalu mengadu dan menceritakan semua keluh kesahku padanya, sekarang tidak lagi. Aku memilih untuk memendamnya sendiri. Percuma curhat padanya, ujung-ujungnya aku juga yang disalahkan. Lebih baik aku diam saja. "Mas 'kan sudah bilang, kamu harus sabar menghadapi Ibu. Bagaimanapun juga, beliau adalah orang tuanya Mas, Dek. Orang yang telah melahirkan--" "Aku tahu," ucapku sebelum Mas Bayu menyelesaikan kalimatnya. "Gini ya, Mas. Wajar aku marah karena Hana telah mencuri semua uangku." Aku membela diri. "Hana melakukan itu karena kamu tidak memberinya uang, Dek. Hana bilang, dia sudah memintanya dengan cara baik-baik sebelum berangkat kuliah, tapi kamu tidak mau memberikannya." Ternyata mereka telah lebih dulu mengadu kepada Mas Bayu. Ibu mertua dan adik iparku itu memang keterlaluan! "Ibu bilang, kamu tidak mau memasak. Piring kotor yang belum dicuci juga penuh di wastafel. Kamu kenapa sih, Dek? Untung tadi Ibu sempat menelpon Mas dan minta dibelikan makan malam. Jika tidak, kita semua mungkin akan kelaparan malam ini." Apa lagi ini? Sepertinya Ibu memang sengaja menjelek-jelekkan aku kepada Mas Bayu. Sekalian saja mengadu bahwa aku telah menampar pipi Hana! "Mau masak apa, Mas? Mana uangnya? Di kulkas sudah tidak ada bahan makanan. Uang simpananku juga semuanya sudah diambil Hana." Mas Bayu terdiam sesaat. "Bahkan uang buat bayar cicilan mobilnya Mas dan motornya Hana sudah enggak ada. Diambil semua oleh Hana," ucapku lagi agar ia tahu bagaimana kelakuan adik kesayangannya itu. "Begini saja, bayar angsuran mobil dan motor pakai gaji Adek saja dulu ya. Enggak lama lagi kan, Adek gajian." Mas Bayu berucap dengan santai seolah tanpa beban. Aku hanya tersenyum sinis mendengar permintaannya. Sungguh sudah keterlaluan! "Mas tahu berapa gajiku sebulan? Gajiku hanya dua juta, Mas. Buat kebutuhan sehari-hari saja tidak cukup, gimana mau bayar cicilan?" Awalnya gajiku memang dua juta, tapi sekarang sudah naik menjadi tiga juta. Aku sengaja merahasiakan itu. Uang tersebut aku kirimkan untuk biaya berobat Bapak, karena sejak kehadiran Ibu dan Hana di rumah ini, Mas Bayu sudah melupakan janjinya. Dulu ia berjanji akan membantu biaya berobat Bapak, tapi nyatanya sekarang janji itu tidak ditepati. "Mas juga sudah mengurangi uang bulanan untukku. Bahkan uang bulanan untuk Ibu dan juga Hana jauh lebih besar dibanding uang yang Mas berikan untukku. Sedangkan kebutuhan di rumah ini aku yang menanggung semuanya," keluhku lagi. Begitulah kenyataannya. Nafkah untuk ibu mertua dan juga adik iparku lebih besar dari nafkah yang aku dapatkan. Meskipun demikian, tetap saja mereka masih merasa kurang. Bahkan sampai hati mencuri uang simpananku. Untung aku tidak bodoh, uang dari hasil gajiku sudah kuamankan di bank untuk sekadar berjaga-jaga jika terjadi sesuatu denganku nantinya. "Kita bahas nanti lagi, ya. Sekarang kita makan malam dulu. Tadi sebelum pulang, Mas sempatkan untuk membeli nasi bungkus buat kita. Ayo!" Mau Bayu menarik tanganku, tapi aku tidak mau. "Aku tidak lapar, Mas. Mas saja yang makan!" Bisa-bisa emosiku akan naik jika harus satu meja dengan ibu mertua dan adik iparku itu. "Nanti kamu sakit loh, Dek!" "Biarin! Apa pedulimu?" Andai kamu tahu, bahkan hati ini jauh lebih sakit, Mas. "Udahan ah, ngambeknya. Ayo, Mas tunggu di meja makan, ya!" Aku tidak meresponnya. Saat Mas Bayu keluar kamar, aku kembali mengecek ponselnya yang kebetulan ia taruh di atas meja rias. Kali ini aku akan menyadap ponselnya, agar aku mengetahui semua rahasianya. Ternyata ponselnya sudah menggunakan kata sandi layar. Jadinya aku tidak bisa menjalankan rencanaku. Sudah kucoba beberapa kali, tetapi tetap tidak bisa. Sepertinya Mas Bayu sengaja. Ia pasti tidak ingin aku mengetahui kebohongannya. Bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan sekarang? Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki yang semakin mendekat. Buru-buru aku menaruh ponsel Mas Bayu kembali di atas meja, lalu berbaring di atas ranjang, pura-pura tidur. "Dek, kamu tidur lagi? Ditunggu-tunggu di meja makan kok' enggak datang-datang?" Mas Bayu mengguncang tubuhku. Memaksaku untuk bangun. "Ini Mas bawain nasi bungkus buatmu." Mas Bayu membelai rambutku, lalu menaruh nampan di atas meja. "Makan dulu, Dek. Nanti kamu sakit loh, ayo!" "Aku enggak lapar. Ngantuk bangat, Mas!" "Kamu harus makan. Tolong dengarkan Mas, kali ini saja. Mas tahu kamu marah pada Ibu, pada Hana dan juga pada Mas. Tapi bukan berarti kamu harus menyiksa diri sendiri. Sekarang makan ini. Ayo!" Mas Bayu memberikan nasi yang ia bawa tadi padaku. Terpaksa aku menurutinya. Jujur saja, perutku memang lapar, tapi aku sama sekali tidak berselera untuk makan. *** Pagi ini aku sengaja tidak memasak. Aku hanya membersihkan rumah dan juga mencuci piring yang menumpuk di wastafel. Ternyata tidak ada yang mengerjakannya kalau bukan aku. Aku memilih mengalah. Mencuci semuanya hingga bersih dan menyusunnya kembali di rak piring. Setelah selesai beberes, aku langsung mandi dan bersiap untuk pergi kerja. Lebih tepatnya membuntuti Mas Bayu, mumpung aku sedang libur. "Mas, aku berangkat duluan ya," ucapku kepada Mas Bayu yang sedang sibuk berpakaian. "Tumben buru-buru? Kamu masuk kerjanya 'kan jam delapan? Ini baru jam tujuh loh!" "Iya, Mas. Sesekali aku berangkat lebih cepat, nggak apa-apa, kan? Malu kalau telat mulu tiap hari." "Yasudah, kamu hati-hati, ya. Pelan-pelan saja bawa motornya, jangan ngebut!" "Iya," jawabku singkat sambil mengambil tas selempang milikku. Seperti biasa, aku mencium punggung tangannya sebelum berangkat. "Mona, mau kemana pagi-pagi begini?" tanya Ibu saat aku melewati ruang tamu. Beliau sedang bersantai sambil menikmati secangkir teh. "Berangkat kerja, Bu!" "Apa Ibu nggak salah dengar? Pagi-pagi begini kamu sudah mau berangkat kerja? Kamu mau bikin seluruh penghuni rumah ini kelaparan, hah?" Sebenarnya aku sangat malas melihat wajah ibu mertuaku ini. Aku masih kesal dan marah padanya. Sayangnya aku tidak bisa menghindarinya. "Kelaparan bagaimana maksud Ibu?" Keningku mengernyit mendengar ucapan ibu mertuaku tersebut. "Iya, kelaparan. Kamu tidak masak, kan? Terus, kami mau makan apa hari ini?" Ibu meninggikan nada bicaranya. "Oh, itu. Iya, Mona memang enggak masak, Bu. Mona tidak punya uang sama sekali untuk membeli bahan makanan. Soalnya, uang Mona semuanya sudah diambil oleh Hana," jawabku tanpa rasa takut sedikitpun. "Kamu sudah berani sama Ibu? Kamu mau ngajakin ribut?" tantangnya. Siapa juga yang mau ngajakin ribut pagi-pagi begini? "Bayu … Bayu! Cepat kemari! Lihat kelakuan istrimu ini." Ibu berteriak memanggil nama Mas Bayu. Pasti Ibu mertua ingin menjelek-jelekkan aku lagi di depan Mas Bayu. "Ada apa, sih, Bu? Teriak-teriak?" tanya Mas Bayu saat menghampiri kami. "Ini loh, istrimu ini sekarang sudah berani sama Ibu. Bahkan pagi ini dia sengaja tidak memasak. Dia sengaja berangkat kerja lebih awal untuk menghindari tugasnya di rumah ini." Tuduhan demi tuduhan kembali kembali keluar dari mulut ibu mertua. Mas Bayu menatapku sekilas, setelah itu beralih menatap Ibu. "Hal kecil tidak usah dibesar-besarkan, Bu!" "Kamu bilang hal kecil? Jika dibiarkan, si Mona ini akan semakin ngelunjak, Bayu! Kamu gimana, sih?" Ibu protes. "Mona bukannya ngelunjak, Bu. Kan, sudah Mona jelaskan, Mona enggak memiliki uang lagi untuk membeli bahan makanan! Piring kotor sudah dicuci bersih. Rumah udah bersih. Nasi juga sudah matang di rice cooker. Apalagi yang kurang, Bu?" "Lauknya mana? Masa Ibu makan pake nasi doang?" "Uang tabungan Mona yang kalian ambil pasti belum habis semuanya kan, Bu? Pake uang itu saja. Enggak usah memperpanjang masalah. Mona permisi. Assalamualaikum." Aku segera meninggalkan suami dan mertuaku itu. Berdebat dengan mereka tidak akan ada ujungnya. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN