Bagian 4
Setelah keluar dari kawasan toko material, aku memutuskan untuk beristirahat sejenak di sebuah warung bakso di pinggir jalan. Warung bakso ini letaknya berhadapan dengan tokonya Mas Bayu. Aku sengaja memilih tempat ini agar bisa memantau Mas Bayu.
"Ini pesanannya, Mbak, silakan dinikmati," ucap pelayan warung dengan ramah.
"Terimakasih, Pak."
Aku segera menikmati bakso tersebut. tidak lupa menambahkan kecap, saos serta cabai agar rasanya lebih nikmat.
Sambil menikmati semangkuk bakso, aku terus memantau dari warung ini. Sampai detik ini, Mas Bayu belum juga datang ke toko. Kemana kira-kira Mas Bayu, ya?
Iseng, aku mencoba mengirim pesan padanya. Mari kita lihat, Mas Bayu jujur atau tidak.
[Assalamu'alaikum, Mas.]
[Mas udah makan siang belum?]
[Mas lagi dimana sekarang?]
Tak lama kemudian, ponselku bergetar, ternyata Mas Bayu menjawab pesanku.
[Wa'alaikumsalam.]
[Udah barusan.]
[Mas lagi di toko. Memangnya kenapa, Dek? Ada apa?]
Di toko? Jelas-jelas Mas Bayu tidak ada di toko. Kamu membohongiku, Mas!
[Enggak apa-apa, Mas! Cuma nanya aja, enggak boleh?] Aku sengaja pura-pura tidak tahu, padahal aku sudah tahu kalau ia membohongiku.
[Boleh kok, Sayang. Yasudah, Mas lanjut kerja dulu, ya. Ini, mau nganterin barang pesanan pelanggan. Dah, Sayang.]
Nganterin barang pesanan pelanggan? Jelas-jelas kamu berbohong, Mas! Entah apa tujuanmu melakukan semua ini padaku. Yang jelas, aku tidak akan tinggal diam jika terbukti kamu ada main di belakangku.
***
Waktu begitu cepat berlalu.Tidak terasa, hari sudah sore. Aku memutuskan untuk kembali ke rumah. Aku harus pulang tepat waktu agar ibu mertua tidak marah-marah. Capek mendengar ocehannya setiap hari.
"Kok lama bangat pulangnya? Biasanya kamu pulang tepat waktu! Ini sudah lewat tiga puluh menit. Kamu ke mana saja?" Ibu mertua langsung menyambutku dengan kicauannya yang syahdu nan merdu itu saat aku tiba di rumah.
"Maaf, Bu, tadi jalanan macet," jawabku sekenanya.
"Macet? Sore-sore begini? Alasanmu tidak masuk akal, Mona! Pasti kamu malas pulang ke rumah. Keluyuran kemana kamu tadi, ayo ngaku!"
"Kalau Ibu enggak percaya, mulai besok Ibu ikut saja bersama Mona. Mona akan sangat senang jika Ibu Mau ikut ke tempat kerjanya Mona." Aku sengaja berkata seperti itu. Kuharap setelah aku mengucapkan hal itu, ibu tidak lagi mengoceh.
"Mona ke dalam dulu ya, Bu!" Aku segera berjalan melewati Ibu yang masih berdiri di depan pintu.
"Mona, cepat kamu masak buat makan malam. Habis itu, bereskan kembali rumah ini. Ibu mau ke rumah tetangga sebelah dulu. Ingat, rumah sudah harus bersih setelah Ibu kembali," titahnya. Setelah itu, beliau melengos pergi dari hadapanku.
Tuh, kan? pasti segudang pekerjaan sudah menanti. Makanya, aku lebih memilih bekerja ketimbang berdiam diri di rumah. Dengan bekerja seharian di luar rumah, setidaknya bisa membuat pikiranku menjadi tenang. Bekerja menjadi kasir laundry juga sangat santai, hanya duduk manis menghitung uang sambil menunggu konsumen.
Setelah mengganti pakaian, aku segera menuju dapur. Ternyata piring kotor sudah menumpuk di wastafel. Padahal tadi pagi hanya beberapa saja yang kotor. Sekarang hampir semua peralatan yang ada di rak piring berpindah ke wastafel. Padahal di rumah ini hanya ada ibu mertua dan Hana. Entah mengapa piring kotornya bisa sebanyak ini.
"Gimana tadi? Mau ditraktir lagi? Sabar ya, Gaes. Gampang kok. Bang Bayu gue duitnya banyak, gue tinggal minta, pasti dikasih."
Aku mendengar suara Hana dari dalam kamarnya. Suaranya terdengar dengan jelas karena kamar yang ditempati Hana bersebelahan dengan dapur.
Sambil mencuci piring, aku mempertajam indera pendengaran, ingin mengetahui apa yang dikatakan oleh adik iparku itu. Aku yakin, pasti saat ini dia sedang menayangkan siaran langsung, seperti biasanya.
"Kalau kakak ipar gue itu orangnya pelit pake bangat, Gaes. Masa tiap kali gue minta duit aja kagak pernah dikasih! Makanya tadi gue sengaja nyolong duitnya di dalam lemari. Sukurin, emang enak!"
Degh!
Seketika ada hawa panas yang tiba-tiba menjalar di sekujur tubuhku setelah mendengar ucapan Hana.
Hana mengambil duit yang aku simpan di lemari? Enggak mungkin. Pasti dia bohong, pasti Hana hanya ingin mencari sensasi agar dianggap wah dan dikomentari oleh teman-temannya.
Segera aku mencuci tangan yang masih dipenuhi dengan busa sabun dengan air kran, lalu bergegas ke kamar untuk memeriksa kebenarannya.
Lemari pakaian masih terlihat rapi seperti biasa. Tapi ada yang aneh, ada beberapa pakaian yang telah berpindah tempat.
Aku mulai tidak tenang, terlebih saat mendapati dompet yang aku simpan di antara lipatan baju. Isinya telah kosong melompong.
Badanku lemas seketika dan aku langsung terduduk di lantai. Ternyata apa yang dikatakan Hana itu benar. Ia telah mengambil uang simpananku.
Padahal di dalam dompet itu ada uang sebesar Rp. 4.000.000 yang akan digunakan untuk membayar cicilan mobil dan motor. Rp. 3.000.000 akan digunakan untuk membayar cicilan mobil Mas Bayu, Rp. 800.000 untuk membayar cicilan motor Hana dan selebihnya untuk bayar PDAM.
Kenapa kamu tega, Hana? Kamu tidak memikirkan bagaimana cara kakak iparmu ini berhemat sehemat mungkin agar bisa mengumpulkan uang dengan susah payah. Kamu benar-benar keterlaluan, Hana!
Ini tidak boleh dibiarkan. Aku harus memberi Hana pelajaran.
Tanpa basa-basi, aku langsung mendorong pintu kamar Hana dengan kasar. Hana yang masih menayangkan siaran langsung di akun media sosial miliknya segera mengakhirinya. Tampak raut keterkejutan di wajahnya saat melihatku masuk ke kamarnya tanpa permisi terlebih dulu.
"Kembalikan uang itu, Hana!" Aku membentaknya dan menatapnya dengan sorot mata tajam.
"Uang apaan sih, Mbak? Datang-datang langsung nanyain uang. Mana aku tau!" katanya cuek sambil memainkan benda pintar miliknya itu.
"Enggak usah berkilah, Mbak udah dengar sendiri. Kamu telah mencuri uang Mbak yang ada di dompet di dalam lemari. Kembalikan uang itu, Hana!"
Aku mulai kehilangan kesabaran menghadapi tingkah adik iparku yang tidak tahu diri ini.
"Ada apa ini ribut-ribut? Ini lagi, kenapa kamu berada di kamar Hana? Apa semua pekerjaan kamu sudah beres, Mona?"
Tiba-tiba saja ibu mertua muncul. Pasti Ibu akan membela Hana dan balik menyalahkanku.
"Hana telah mencuri uangnya Mona, Bu!"
"Apa? Mencuri? Apa ibu tidak salah dengar?"
"Iya, Bu. Semua uang Mona telah habis diambil oleh Hana. Padahal uang itu akan digunakan untuk membayar cicilan mobil Mas Bayu dan juga cicilan motor Hana." Aku berharap ibu memarahi Hana karena anak sulungnya itu telah melampaui batas.
"Masa mengambil uang milik kakak ipar sendiri dibilang nyuri sih, Bu?" sahut Hana. Matanya belum beralih dari benda pipih yang ada di genggamannya tersebut.
Plak!
Sebuah tamparan dariku berhasil mendarat di pipi kiri Hana.
"Aw … sakit!" Hana meringis sambil memegangi pipinya.
"Berani kamu menampar Hana?" Ibu membentakku, tidak terima atas apa yang telah aku lakukan kepada anaknya.
"Iya. Hana pantas menerimanya, Bu!"
"Awas kamu, Mbak! Aku akan mengadukan ini pada Mas Bayu." Hana malah mengancamku.
"Silakan, Mbak tidak takut. Justru kamu yang akan disalahkan karena telah mencuri uang Mbak," jawabku tak mau kalah.
"Sekarang kamu makin berani ya!" Ibu mendekat, lalu mengangkat tangannya. Namun, aku langsung menangkisnya. Tidak akan kubiarkan tangan Ibu menyentuhku sedikitpun.
"Oke, Ibu memang belum bisa membalasmu sekarang. Tapi perlu Ibu tegaskan padamu. Di dalam uang itu ada haknya Hana dan juga Ibu. Hana hanya mengambil haknya, kamu tidak boleh mengatainya pencuri. Lagian, tadi Hana sudah memintanya kepadamu dengan cara baik-baik. Jangan salahkan Hana jika dia mengambilnya sendiri. Bahkan lebih banyak dari yang dia minta sebelumnya."
Perkataan Ibu barusan membuatku semakin geram. Ternyata ibu membela anaknya biarpun sudah terbukti bersalah. Nauzubillahi! Ibu tidak sadar jika ia telah menjerumuskan anaknya sendiri. Membenarkan perbuatannya yang salah.
"Tadi Ibu juga mengundang teman-teman arisan kemari. Kami makan-makan menggunakan uang itu," ucap Ibu lagi.
Hati ini bagai disayat-sayat mendengar pengakuannya. Ibu mertua dan adik iparku sama sekali tidak menghargaiku. Aku mati-matian berhemat, tetapi mereka malah menghamburkan uang.
"Ya sudah. Jangan salahkan Mona jika mobil Mas Bayu atau motornya Hana ditarik pihak leasing karena Mona tidak mampu lagi untuk membayarnya."
Ibu mertua terkejut mendengar ucapanku. Mungkin beliau tidak mengira jika aku berani berkata seperti itu.
"Hana enggak mau motor kesayangan Hana ditarik, Bu," keluh Hana pada Ibu.
"Itu semua tidak akan terjadi, Nak, kamu tenang saja!" Ibu kemudian beralih menatapku, "Terus, kamu gunanya apa? Percuma kamu kerja dan punya penghasilan kalau tidak bisa dimanfaatkan!"
Cairan bening yang sejak tadi ingin keluar tidak bisa lagi kutahan. Tanpa basa-basi, aku langsung meninggalkan kamar itu. Tidak kusangka jika ibu mertuaku begitu tega. Ternyata selama ini mereka hanya memanfaatkanku.
Mas Bayu lah alasannya kenapa aku masih bertahan menghadapi sikap ibu dan Hana sampai detik ini. Tapi jika ternyata Mas Bayu terbukti bermain api di belakangku dengan wanita lain, maka aku akan membuat perhitungan dengannya.
Bersambung