Setelah menjenguk adiknya dan memastikan jika adiknya sudah tertidur lelap, Angga keluar dari kamar perawatan yang hanya dihuni Rifqo dan juga kakeknya. Kakeknya berjalan melangkah mengelilingi dan melihat – lihat area rumah sakit, hingga akhirnya kaki Angga berhenti tepat saat dia berpapasan dengan ibu Kina. Perempuan berusia setengah baya itu terlihat baru saja datang kerumah sakit.
“Angga mau kemana ? pasti habis menjenguk kakek dan Rifqo ya”
Ibu Kina tersenyum sambil menyapa Angga, persis sekali dengan Risa yang memiliki pribadi ramah dan juga murah senyum. Wajahnya selalu terlihat teduh dan menenangkan, saat Angga melihat ibu Kina maka disanalah Angga bisa melihat Risa, melihat Risa diusia senjanya kelak, sedangkan saat Angga melihat Risa disanalah juga Angga seakan bisa melihat ibu Kina dimasa mudanya, keduanya sangat memiliki kemiripan yang sangat signifikan, layaknya pinang yang dibagi dua.
“Bibi, Assalamu’alaikum bi”
Angga menyalami tangan ibu Kina, dia tersenyum hangat kearah ibu kandung dari sahabatnya yang sudah dia anggap seperti ibu kandungnya sendiri juga. Kedekatannya dengan Risa yang sudah terjalin sejak kecil membuat Angga tidak bisa mengelak mendapatkan kasih sayang kedua orang tua Risa juga, mereka memperlakukan Angga layaknya putra mereka sendiri. Begitupun sebaliknya ibu Angga juga menganggap Risa seperti putrinya sendiri, apalagi ibunya yang sangat menginginkan seorang anak perempuan namun belum sempat dimilikinya maka tercurahlah kasih sayang itu kepada Risa, terkadang Angga selalu cemburu jika ibunya terlihat lebih mementingkan Risa di bandingkan dirinya.
“Aku baru saja menjenguk Rifqo dan juga kakek, oh iya bu bagaimana keadaan Bapak sekarang bu ?”
Keduanya melangkah ringan mendekati sebuah kursi, kemudian kedua orang yang sudah seperti sepasang ibu dan putra itu mendudukkan tubuh mereka diatas sebuah kursi tunggu yang ada dilobi rumah sakit,
“Alhamdulillah sekarang sudah lebih baik”
Ada sebuah senyuman yang mengembang menghiasi wajah ibu Kina, perempuan itu terlihat tegar menghadapi segala permasalahan hidupnya. Senyuman tidak pernah pudar dari bibirnya, dia selalu tersenyum hangat kepada siapapun yang menjumpainya seakan tidak ada duka yang dimiliki hatinya. Namun, siapa yang tahu jika dibalik semua itu dia sedang menyimpan sebuah duka besar, duka dimana keadaan suaminya yang koma, duka dimana anak semata wayangnya hilang dan belum juga ditemukan.
“Risa bagaimana kabarnya ?”
Angga terlihat sangat hati – hati membahas masalah Risa, karena Angga yakin masalah belum ditemukannya Risa menjadi hal sensitive bagi ibu Kina, seorang ibu kehilangan putri semata wayangnya, putri yang dia buai dengan kasih sayang, putri yang didik dengan penuh kasih dan cinta kini hilang tertelan bumi dan tidak diketahui siapapun keberadaannya.
“Do’akan saja yang terbaik untunya ya”
Ibu Kina tersenyum, matanya sedikit berkaca – kaca, senyuman itu seakan sebuah isyarat ungkapan sebuah duka yang tengah dirasakannya untuk Risa. Karena hati ibu mana yang tidak hancur saat dia bahkan tidak tahu mengenai kabar putri satu – satunya. Karena bagi seorang ibu seorang putri bagaikan nyawanya sendiri. Jika saja saat itu dia tahu dimana Risa mungkin saat itu dia akan berupaya keras menyelamatkan Risa, dia rela mengorbankan nyawanya sendiri asalkan putrinya dapat selamat.
“Bi, Angga keterima disekolah islam Bandung bi”
Nada suara Angga terdengar melemah, Angga tidak tahu alasan apa yang membuat Angga ingin menceritakan kepada ibu Kina jika dia lolos tes masuk sekolah islam di Bandung, hanya saja ada sebuah dorongan yang membuat Angga ingin menceritakannya kepada ibu Kina, Angga pikir mungkin dengan bercerita kepada ibu Kina dia juga akan merasa seperti bercerita kepada Risa.
“Alhamdulillah jika seperti itu, semoga kamu selalu diberikan kemundahan dan kelancaran, selalalu semangat belajarnya, ih iya, apakah kamu juga masuk pesantren disana ?”
Ibu Risa berkata dengan suaranya yang terdengar penuh semangat, ada nada yang menyiratkan sebuah rasa bangga dari suara yang terucap dari lisan ibu Kina yang tertangkap indra pendengaran Anggal, mungkin dari ibunya Risa mempunyai jiwa yang selalu periang. Angga tersenyum kecil, kepalanya menunduk, dari orang tuanya dan dari ibu Risa Angga mendapat dorongan untuk segera berangkat, padahal dia berharap salah satu dari mereka ada yang memintanya untuk tetap tinggal saja, tapi keduanya justru malah mendukung Angga untuk segera berangkat.
“Kenapa ? apakah kamu tidak mau tinggal dipondon pesantren ?”
Ibu Kina berkata saat dia melihat ekspresi tidak bersemangat tergambar dengan jelas diwajah Angga, Angga bukan tidak mau tinggal dipesantren dia bersedia asalkan jangan memaksanya untuk berangkat saat ini juga karena dia masih ingin membantu orang – orang dikampungnya bangkit dari duka, ingin lebih lama dan memembantu mereka pulih dari segala luka yang mereka rasa.
“Angga bukannya tidak mau bi, Angga hanya ingin meminta waktu agar jangan terburu – buru meminta Angga untuk segera berangkat, karena Angga masih ingin disini, masih ingin membantu kalian bangkit dari keterpurukan, membantu kalian menyembuhkan luka yang kalian rasakan, bahkan Abah, Rifqo, Mamang masih dirawat dirumah sakit dan keadaan mereka belum bisa dikatakan baik, bahkan Risa masih belum ditemukan, Angga hanya meminta waktu untuk keberangkatan Angga bi”
Suara Angga terdengar melemah diakhir kalimatnya saat dia menyebutkan nama Risa, sungguh belum ditemukannya Risa menjadi sebuah alasan dasar tidak mau berangkatnya dia dalam waktu dekat, dia masih berharap bisa bertemu Risa sebelum keberangktannya, hatinya mengatakan jika Risa pasti bisa ditemukan tapi tidak tahu dalam keadaan hidup atau tidak.
“Kamu tahu, putri bibi itu putri yang baik, Insya Allah dia disayangi saudara saudari muslim dan muslimin, dan Insya Allah disayangi oleh Allah juga, Saat gempa susulan sekitar pukul 01 : 00 dini hari mereda, ibu memerintahkan Risa untuk segera kembali tertidur. Namun, kamu tahu dia sangat nakal bukannya nurut dia malah tetap terjaga, namun, ibu bersyukur setidaknya sikap tidak menurutnya Risa dia gunakan untuk hal kebaikan”
Nada suara ibu Kina terdengar bergetar, matanya terlihat berkaca – kaca pancaran matanya terlihat seakan menerawang mengingat kenangan – kenangannya bersama Risa, sebagai seorang ibu tentu ibu Kina sanggat merindukan sosok Risa sosok putri sematanya yang sangat manis.
“Dia tidak mengikuti perintah bibi ketika bibi memintanya untuk tertidur, tapi dia justru lebih memilih untuk tetap terjaga, Namun terjaganya Risa tidak dia gunakan untuk hal yang tidak berguna, dia gunakan waktu terjaganya untuk bersujud simpuh kepada yang maha kuasa, saat jam 03 : 00 dini hari kembali terjadi gempa Risa terburu – buru keluar kamar membangunkan bibi dan paman dengan masih menggunakan mukenanya, dari sanalah ibu tahu jika Risa tidak tidur kembali setelah gempa yang pertama terjadi, saat dijam tiga dini hari ibu melihat wajah Risa bercahaya, wajahnya terlihat berseri – seri, dia seakan baru saja terlahir kembali”
Pandangan ibu Kina menerawang jauh seakan dia tengah bercengrama dengan masa dimana dia masih bisa melihat putrinya yang baik – baik saja, putrinya yang selalu ceria, nada suaranya terdengar bergetar, hingga ibu Kina akhirnya tidak mampu lagi menahan tangisnya.
Angga yang mendengar tentang Risa dari cerita ibu Kina ikut berlinang air mata, sahabatnya itu memang sangat baik, hatinya sangat lembut, dia juga memiliki sikap yang murah senyum, dia juga orang yang sangat memikirkan perasaan orang lain, dia lebih rela melihat orang lain bahagia dan dia yang terluka.
Angga bangga bisa menjadi sahabat Risa, namun dimana sekarang keberadaan gadis itu, Angga benar – benar merindukan jeritan Risa saat gadis itu merasa kesal kepadanya, Angga juga merindukan cubitan Risa saat gadis itu marah kepadanya, bayangan kebersamaan Angga dan Risa seakan sedang menari – nari diatas kepalanya.
“Yasudah kalau begitu ibu pamit dulu”
Ibu Kina pamit setelah keadaannya dirasa sudah lebih baik, Ibu Kina hendak berniat pergi menjenguk suaminya yang sempat tertunda karena pertemuannya dengan Angga.
Angga berjalan melangkah tanpa tahu kemana kakinya akan melangkah, dia tidak mempunyai tujuan kemana dia akan pergi, hingga akhirnya kakinya berhenti saat dia berhenti didepan sebuah masjid, Angga langsung masuk dan bersujud simpuh kepada yang maha kuasa.
“Tunjukanlah jalan untukku, tunjukanlah dimana dia berada, tunjukanlah bagaimana keadaanya, berikanlah kami petunjuk, tunjukanlah agar aku menemukannya baik itu dalam keadaan hidup ataupun mati”
Setelah itu tangis Angga benar – benar pecah, hatinya terasa sakit saat dia teringat Risa yang tidak tahu bagaimana keadaanya dan keberadaanya, dia merasa menjadi orang gagal karena tidak berhasil menjaga Risa, dia merasa gagal karena tidak ada ketika Risa membutuhkannya, dia merasa tidak berguna menjadi seorang sahabat.