Sekarang aku bisa simpulkan, perempuan kecil tadi adalah adik Dane, dan orang yang sedang kritis sekarang adalah ibu Dane. Namun ... ada yang mengganjal, mengapa yang dikenal perawat tadi sebagai anak ibu yang sedang kritis ini hanya Faya.
Suster mendorong bed ke samping bed ibu Dane. Dan kini ... tirai dibuka. Mataku membulat, begitu pun orang yang aku tatap. Aku kenal siapa orang itu, sangat kenal.
"Tante Arafah," desisku pelan tanpa didengar siapa pun.
Jadi, selama ini, ibu kedua yang Dane benci adalah ibu Athar? Bagaimana bisa?
Dane baru tersadar kalau aku mengikutinya, dia kalau sedang dalam situasi seperti ini sudah tidak mementingkan sekitar. Dia menatapku dengan tatapan terkejut, lalu bergantian menatap tante Arafah. Ada ucapan yang tak terucap dari bibirnya yang mengatup-ngatup sebelum akhirnya aku mundur dari pandangan.
Apa aku sudah membuka aib orang lain? Ya ampun ... jika iya, aku sangat bodoh sekali, mungkin Dane punya alasan tersendiri tidak mau memberitahukan aku tentang tante Arafah. Seharusnya aku tidak mencari tahu, aku benar-benar orang tidak tahu diri.
Aku berjalan cepat ke arah taman rumah sakit. Aku ingin menjernihkan pikiran dari segala spekulasi-spekulasiku yang tidak masuk akal ini.
Saat sampai di taman aku coba untuk mengingat kembali tentang Athar.
Athar itu anak dari tante Arafah, aku pernah melihat ayahnya Athar dulu, ayah Athar jarang ada di rumah, tante Arafah dan Athar pun sering pergi keluar. Selama ini Athar yang selalu membantuku, mencari tahu tentang aku, tanpa pernah sedikit pun aku melakukan hal serupa kepadanya.
Dulu aku berpikiran, kalau aku dan Athar adalah sahabat, tidak lebih, aku masih ambigu dengan kata "butuh" dan "cinta". Selama ini hanya Athar yang mengejar, aku balik mengejar hanya saat ajal hendak menjemputnya.
Tiba-tiba air mataku menetes begitu saja. Maafkan aku, Thar.
Bahkan saat di rumah sakit setelah Dane memberitahukan aku kalau Athar kritis, hanya ada tante Arafah di rumah sakit. Kutepuk pelan keningku. Aku melihat sekali perubahan mimik wajah Dane saat sampai di rumah sakit ada tante Arafah. Dia sama sekali tidak membalas senyuman tante Arafah. Seharusnya aku mulai mencurigainya sejak itu, tapi ... untuk apa? Apa hakku mencari tahu tentangnya?
Apa itu alasan Dane tidak mau mengajakku ke rumahnya, kurasa iya? Namun ... kenapa dia menutupinya kepadaku? Bukankah itu urusan keluarganya, bukan urusanku? Kenapa dia takut sekali. Seolah akan ada bahaya besar kalau aku mengetahuinya.
Ah ya, dia pernah mengatakan takut aku ikut membujuknya untuk kembali baik kepada keluarganya. Mungkin ... Dane tahu kalau aku dekat dengan tante Arafah.
Kugelengkan kepala pelan. Sudahlah, tidak usah terlalu berlebihan ingin tahu urusan orang, Noura!
Tiba-tiba bahuku ada yang menepuk. "Udah aku duga kamu pasti ke sini." Itu Dane.
Aku menunduk. "Maaf, Dane, aku ...."
Dane menghela napas pelan seraya memegang lengan tangannya, sepertinya itu bekas suntikan pengambilan darah tadi.
"Dia emang ibu keduaku, ayahku dan ayah Athar sama tapi Athar bukan anak kandung ayahku, sebelumnya kami beda rumah, semenjak Athar meninggal, ibunya tinggal di rumah ayah."
"Ayah Athar yang pernah aku lihat itu ayah kamu juga?" tanyaku heran. Ah ya, aku baru teringat kalau wajah pak Diantara sangat mirip dengan wajah ayah Athar, bagaimana aku sampai lupa? Ternyata memang benar, aku egois dan tak mau melihat masalah yang orang lain hadapi--merasa hanya aku saja yang menderita di dunia ini.
Dane terdiam. "Masalah ini terlalu rumit, Ra, itu yang buat aku muak."
"Maksud kamu?"
"Ayah Athar sebelumnya adalah kakak ayahku, tapi orang yang dicintai ibu Athar adalah ayahku, dan ... ayahku juga mencintainya, juga mencintai ibuku yang sekarang."
Aku terdiam beberapa saat. Aku masih bingung dengan ucapan Dane.
"Dane, apa sebaiknya kamu umpat aja? Ini terlalu pribadi untuk kamu ceritakan ke aku?"
Dane menggedikkan bahu. "Lagi pula kamu udah tau, daripada kamu mikir yang enggak-enggak tentang aku atau keluargaku, lebih baik aku jelaskan aja ke kamu.
"Kamu mungkin enggak akan engeh sama wajah ayahku dan wajah ayah Athar, wajah mereka ... sangat mirip, saat bertatapan seperti sedang bercermin."
"Aku masih enggak ngerti, Dane."
Dane memutar arah duduknya ke arahku. "Ayahku dan ayah Athar lahir dengan waktu berbeda menit aja, ayah Athar lebih dulu. Mereka kembar. Ayahku milih sekolah di SMA, ayah Athar di pesantren. Ayahku dan ibu Athar udah saling suka dari SMA, tapi ... entah ... mungkin takdir Tuhan, ibu Athar justru dijodohkan dengan kakak ayahku yang saat itu ia kira adalah ayahku. Jadi, dia langsung terima tanpa tanya siapa namanya dulu, hanya foto aja."
Kutelan saliva dalam-dalam, sungguh kisah cinta yang rumit.
"Sampai akhirnya setelah diterima, bertemu, kebongkar deh, ibu Athar, sih, terima-terima aja katanya, tapi ... aku juga enggak tau kayak gimana alur ceritanya, sampai akhirnya ayah Athar relain isterinya untuk ayahku yang saat itu udah punya istri. Dan sekarang dia pergi entah ke mana. Aku dan Athar, kita ... udah kenal sejak dulu, kita berteman baik, bahkan aku dulu cuma berteman sama dia. Orang-orang takut berteman sama aku, cuma Athar satu-satunya orang yang mau berteman denganku. Aku waktu kecil, sering celakain orang, setiap orang yang main sama aku, pulang-pulang pasti ada luka, nangis, dan enggak mau main lagi sama aku. Rumah kami jauh, tapi Athar suka main naik sepeda ke rumahku. Enggak setiap hari, sih, seminggu dua kali paling.
"Athar ...." Tiba-tiba Dane tersenyum. "Dia punya cara tersendiri hadapin aku, di saat aku gemas, mau celakain dia, dia selalu tau, dan dia bilang, "Jangan pukul aku, kalau kamu pukul aku, aku enggak akan nangis, tapi kamu yang akan nangis." Aku bingung, kan. Aku tanya maksudnya. Dia bilang, "Aku suka makan manusia nakal kayak kamu. Jangan nakal lagi, aku enggak akan pergi kayak orang-orang, asal kamu enggak nakal." Dia ulurin jari kelingkingnya, buat perjanjian sama aku, aku ikut senyum. Hal yang aku suka dari kata-katanya adalah, aku enggak akan pergi kayak orang-orang, dan dia emang buktiin itu.
"Aku pernah celakain dia, muka dia berdarah-darah. Dia jatuh ke selokan gara-gara aku dorong dia. Semua orang marahin aku, cuma dia yang bilang kalau itu bukan salah aku, aku enggak salah, jangan omeli aku. Karena itu, saat ibu Athar menikah dengan ayahku, aku cuma membenci ibunya, tidak dengan Atharnya. Karena ... Athar masuk ke dalam orang yang aku prioritaskan."
"Tapi ... kenapa Athar enggak pernah cerita sama aku? Dan ... kenapa berita itu enggak menyebar di masyarakat?" Aku benar-benar merasa belum percaya seratus persen.
Dane terkekeh. "Kamu enggak tau siapa ayahku, dia punya sisi yang sama sepertiku."
"Maksudnya?"
"Dia bisa membayar mulut-mulut orang, dia bisa buat orang lari terbirit-b***t, dia bisa buat orang bungkam sebungkam-bungkamnya, tapi ... dia lebih baik dari aku, aku akui itu."
"Aku masih sulit percaya," ucapku sambil bertopang dagu. Sungguh, hal ini sangat rumit.
"Sama seperti rumus matematika, saat dipelajari dengan teori, terasa sulit, tapi kalau udah praktek, pasti akan ada sisi terang dari materi yang diajarkan. Itu yang saat ini kamu rasakan."
"Lalu ... alasan kamu benci dan muak?"
"Aku udah pernah cerita soal itu, Ra ... apa jangan-jangan kamu enggak nyimak, ya, waktu itu?"
"Masalah ini karena ulah kamu sendiri, kan?" tanyaku gugup.
Tiba-tiba Dane menatapku dengan tatapan setajam elang.