S1 - BAB 9

1007 Kata
Sampai di rumah sakit aku langsung duduk lemas di kursi tunggu. Setelah mengantar nenek ke dalam ruang gawat darurat, Dane izin untuk ganti pakaian dulu. Aku mengiyakan, lagi pula tanpa Dane pun aku bisa. Aku tidak boleh ikut masuk saat nenek diperiksa, jadi aku hanya bisa terduduk lemas di sini, menunggu kabar baik yang entah kapan akan bisa kudengar. Cukup lama aku menunggu, bahkan kini Dane sudah kembali dengan pakaian yang lebih rapi dan membawa beberapa bingkisan makanan untuk kita. "Aku belinya tadi di samping rumah sakit, coba deh, kayaknya enak, soalnya aku harus antre beli ini, jarang-jarang, kan, aku bisa sabar antre. Ini demi kamu, supaya kamu enggak sedih lagi. Katanya makanan manis bisa buat mood naik." Aku yang sebelumnya menunduk kini menoleh ke arahnya. "Terima kasih, Dene, udah mau bantu aku di saat aku butuh banget bantuan, dan sekarang ... kamu udah berusaha lawan kebiasaan buruk kamu buat aku." Dane terkekeh. "Kebiasaan buruk? Oh jadi enggak mau antre itu termasuk kebiasaan buruk, ya?" Aku mengangguk. "Siapa pun kita, baik dari kalangan atas atau bawah, saat menyatu seharusnya bisa saling menghargai. Termasuk mau antre. Mungkin mereka biarin kamu karena mereka segan sama kamu, atau bisa jadi karena ... takut." Dane mengangguk-anggukkan kepalanya seperti kalkun. "Mereka segan bukan sama aku, tapi sama ayahku, dan mereka takut bukan sama aku, tapi sisi lain di diri aku saat marah." "Maksudnya? Kamu udah kayak orang punya kepribadian ganda aja." Dane terkekeh. "Enggak separah itu, aku cuma enggak bisa nahan emosi, hawanya mau mukul orang sampai babak belur. Kalau belum, rasanya aku justru mau mukulin diri aku, kesal. Ujung-ujungnya ...." Tiba-tiba Dane menghentikan ucapannya. "Ujung-ujungnya?" Pembicaraan kita terpotong, ada perawat yang keluar dari ruang gawat darurat, di mana nenekku sedang diperiksa. Aku dan Dane langsung berjalan mendekat. "Bagaimana keadaan nenek saya?" tanyaku. Tiba-tiba Dane memegang tanganku, erat sekali, tangannya dingin dan berkeringat. Entah sebagai bentuk menguatkan diriku atau dirinya. "Ibu Qiah mengidap serangan jantung dadakan yang mengakibatkan stroke, darah yang keluar dari mulutnya disebabkan oleh penyakit paru-paru yang bu Qiah idap, sudah masuk ke tahap kronis, saat ini ibu Qiah kritis, butuh penanganan lebih, kalian bisa mengurusnya ...." Belum sempat perawat itu meneruskan ucapannya Dane sudah memotong seraya melepaskan genggamannya dari tanganku. "Saya udah paham, sekarang juga pindahkan ke ruang VIP, kami yang akan mengurusnya." Bibirku mengatup-ngatup, Dane menoleh ke arahku lalu menarik tanganku untuk pergi ke kasir. "Dane ... aku enggak punya uang banyak untuk membayar, lebih baik aku urus nenek di rumah aja." Dia tidak menggubrisku. "Dane ... aku ...." Dane menghentikan langkahnya lalu menatapku lekat-lekat. "Aku punya uang, jadi aku yang bayar. Mengurus nenek di rumah sama aja membunuhnya secara perlahan, ingat kamu bukan dokter." "Tapi ...." "Kenapa? Kamu enggak perlu bayar, aku cuma mau nolong nenek, orang yang udah berbaik hati kepadaku yang sering disebut anak laki-laki yang enggak punya hati. Dan ... untukmu, sahabatku. Jadi enggak ada alasan untuk menolak, karena aku yang memohon dan ... menerima." Aku tidak paham apa yang Dane ucapkan, pada intinya dia sudah menolongku untuk yang kesekian kalinya, tapi aku tidak pernah menolongnya. Aku tidak bicara apa-apa setelahnya. Aku hanya bisa menyaksikan seorang anak kelas tiga SMA yang mempunyai uang banyak di ATM-nya, yang aku tidak tahu dari mana ia mendapat uang sebanyak itu. *** "Kamu mau pulang atau di sini?" tanyanya setelah menyelesaikan administrasi. "Aku mau di sini aja." "Ingat besok ada ulangan harian, kamu harus belajar. Atau ... kamu mau ikut ke rumahku?" Ini pertama kalinya Dane menawarkanku ke rumahnya. Selama ini dia sangat anti menawarkanku ke rumahnya, selalu dia yang datang ke rumahku. Aku jadi penasaran seperti apa keluarganya. "Sebenarnya aku enggak tinggal di rumah, kalau kamu mau ke rumah, aku bisa antar kamu, di sana ada adik perempuanku. Dan aku, aku bisa ... nginap di rumah hari ini." "Selama ini kamu tinggal di mana?" "Apartemen." "Kenapa kamu milih tinggal di apartemen?" Dane tersenyum kecil lalu menempelkan jari telunjuk di bibirnya. "Atau kamu mau ke apartemen aku? Di sana ada satu kamar kosong." Aku menggeleng cepat. "Nenekku bilang, satu ruangan sama laki-laki yang bukan mahram itu dosa." "Iya kah? Aku enggak paham soal kayak gitu, kayaknya aku harus belajar lebih dalam lagi. Yaudah gimana, kamu mau pulang ke rumahmu atau ke rumahku?" Aku diam beberapa saat. "Ke rumahku aja." "Yakin kamu berani di rumah sendiri?" Aku mengangguk. "Aku berani, tapi ... kapan-kapan aku bisa, kan, main ke rumah kamu?" Dane menatapku dengan tatapan menyelidik. "Apa yang mau kamu tau?" Dia langsung menampakkan raut datar, tapi sebentar, setelahnya tersenyum kembali. "Aku ... aku cuma mau kenal keluarga kamu, kayak kamu kenal nenekku." Dane membalikkan tubuhnya lalu berjalan mendahuluiku, akhirnya aku mengekorinya di belakang. "Aku takut kamu anggap mereka baik sementara aku benci mereka. Akhirnya kamu nyuruh aku untuk berbuat baik kepada mereka sementara aku enggak akan pernah melakukan itu. Aku udah prediksi itu pasti akan terjadi kalau kamu mengenal keluargaku," ucapnya sambil berjalan. Aku menyetarakan langkah di sampingnya. "Kenapa kamu benci banget sama keluarga kamu sementara mereka baik sama kamu?" "Aku benci ibu keduaku awalnya, tapi lama-kelamaan aku malah benci semuanya. Aku enggak bisa berbuat apa-apa selain ya ... seperti ini. Lebih baik aku menjauh dari pada harus menahan muak." "Emang ibu kedua kamu itu jahat?" Dia menggeleng. "Karena itu ... dia terlalu baik, jadilah aku yang menjadi sumber masalah. Udahlah, Ra, aku malas bahas itu, lebih baik kapan-kapan kamu aku ajak ke apartemen aja dari pada ke rumah. Nanti aku ajak temanku juga supaya kita enggak berduaan." Aku merutuki diri, seharusnya tadi aku mengiyakan tanpa banyak bertanya, akhirnya aku tidak punya kesempatan ke rumahnya. Kamu benar-benar bodoh Noura. *** Dane mengantarku sampai pintu rumah. Sampai aku tutup pintunya dia baru melangkah menjauh lalu masuk ke dalam mobilnya dan pergi. Menurutku Dane itu lebih misterius daripada aku yang sering dibilang wanita misterius di SMA Adiwangsa. Mungkin orang-orang menganggapku wanita misterius karena aku yang lebih banyak diam. Namun Dane, dia terlihat seperti orang normal, tapi nyatanya memiliki masalah hidup yang sulit untuk kuanalisis. "Aku berharap kamu bisa berbaikkan dengan keluargamu, semoga lukamu segera terobati, dan bisa hidup normal seperti orang-orang."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN