S1- BAB 2

1060 Kata
Tepat saat bel pertanda pulang berbunyi, hujan deras menghampiri, seolah ingin menemani kesepianku sore ini. Saat orang-orang sibuk menuju parkiran, aku justru lari-larian menuju halte yang jaraknya masih sangat jauh. Lapangan sekolah saja besar, belum lagi melewati halaman depan sekolah. Namun tak ada pilihan lain, aku harus menikmatinya. Posisi ini mengingatkanku akan peristiwa tahun lalu. Saat Athar masih ada. "Hujan, Ra." "Iya." Athar langsung membuka jaket yang tidak pernah lupa ia pakai setiap hari ke sekolah. "Sini deketan, kita lari, ya?" Noura mengangguk sambil tersenyum. Di bawah jaket Noura dan Athar berlarian membelah derasnya hujan. Tawanya masih terdengar jelas di indera pendengaran Noura saat ini. Karena tidak fokus dengan perjalanan, aku sampai tidak sadar kalau di depanku ada orang. Aku menabrak orang itu. Ia mendengkus kasar. Aku mendongak. Ternyata dia laki-laki yang sering menggangguku. Spontan aku langsung menunduk takut, selama satu tahun ini dia sudah tidak menggangguku lagi, aku tidak mau dia marah dan mengulang kisah buruk dahulu. Dia tertawa sambil mengibaskan jaketnya yang basah. "Bersihin!" Aku terkisap, celana abu-abunya terkena air keruh dari tanah karena aku. Baru saja aku hendak membersihkannya, tapi tubuhku lebih dulu ditarik ke belakang entah oleh siapa, sampai akhirnya kini aku berada di belakang punggung laki-laki tinggi yang aku kenali, dia Dane. Dane tidak bicara apa-apa, tapi laki-laki itu malah pergi meninggalkan kami. Kami kini menjadi tatapan banyak orang, dan aku tidak suka itu. Dane membalikkan tubuhnya. Tatapan tajamnya menatap ke arahku. Dane sangat berbeda dengan Athar, tatapan Athar sangat meneduhkan, sementara tatapan Dane justru menakutkan, Athar akan menenangkanku dengan senyuman, lihatlah, sekarang justru dia malah menatapku dengan tajam, menambah rasa takut yang menderaku saat ini. Sampai akhirnya ia tersenyum miring, tapi sebentar, setelah itu wajahnya kembali dingin. Dane memang selalu seperti ini, sejak aku mengenal ia sahabat Athar dulu, Dane tidak pernah berlaku baik padaku. Karena itu aku kaget kalau Dane tiba-tiba baik padaku saat Athar menghilang. "Ra ... aku tau, aku bukan Athar, tapi ... aku bisa menjadi orang yang bisa kamu andalkan kayak Athar dulu. Jangan ragu minta pertolongan aku." Kepalaku tiba-tiba menunduk. Entah mengapa bayangan wajah Athar hadir lagi dalam ingatanku. Tangisku pecah, tapi tak mungkin ada yang menyadarinya, tangisku menyatu dengan derasnya air hujan. Ternyata tebakanku salah. Tangan dingin Dane mengusap pipiku yang kini terbasahi oleh air hangat dari mataku. "Ayo aku antar pulang." Setelah mengatakan itu dia langsung menarik tanganku untuk melangkah ke mobilnya. Selama tanganku digenggam Dane, aku terus menunduk, aku tahu, saat ini kami pasti sedang menjadi tatapan publik. Dan lagi ... aku selalu kalah dengan segala yang Dane katakan. *** Saat aku sudah masuk ke dalam mobilnya, ia memberikanku jaket kering yang entah ia dapatkan dari mana. Walaupun aku tidak tahu ia dapat jaket ini dari mana, tapi aku tahu siapa pemilik jaket ini, aku sangat suka mengamati orang, termasuk mengenali aroma tubuhnya, dan jaket ini pasti milik Dane. "Baju kamu basah, aku yakin buku kamu juga pada basah. Nanti jangan lupa dikeringin di atap, atau enggak di depan kipas angin." Aku mengangguk. "Pakai jaketnya, nanti kamu demam." Dan lagi-lagi aku menurut. "Aku enggak mau kamu kayak gitu, Ra, jangan mau ditindas, kamu ingatkan apa yang Athar katakan, jangan mau ditindas dan jangan pernah menindas?" Kupejamkan mataku saat mendengar nama Athar dari mulut Dane. "Laki-laki tadi satu kelas, kan, sama kamu?" Aku mengangguk. "Siapa namanya?" "Dimas." Kulihat Dane tersenyum miring. "Jangan bertengkar, ya, aku ini cuma wanita biasa, kamu enggak pantas bertengkar cuma karena aku. Dan ... aku bisa kok jaga diriku sendiri." Aku baru sadar, ternyata baju yang Dane kenakan juga basah kuyup. "Kam—" Belum sempat aku berkata, Dane langsung memotong ucapanku. "Jangan merendahkan diri di depan aku dan di depan siapa pun." Dia berkata tanpa menoleh ke arahku. Aku terdiam, otakku melamban karena Dane mengatakan hal itu tiba-tiba. "Ra ... kita semua ini sama, yang membuat kita berbeda itu adalah diri kita sendiri. Orang ter-bully karena apa? Karena mereka menganggap dirinya adalah korban bully. Orang bodoh kenapa? Karena mereka menganggap dirinya bodoh. Allah itu menciptakan manusia adil kok, tinggal manusianya aja yang pilih, ikhtiar atau menyerah." Aku tidak menyangka Dane akan mengatakan itu. Jujur saja, aku masih sangat awam dengan agama. Nenek selalu membujukku untuk mengaji, tapi aku selalu menolak. Ada luka yang pernah aku lalui saat aku mengaji. Di saat rumah terbakar, hanya aku yang selamat, dan itu semua karena aku sedang pergi mengaji. Allah menolongku, tapi aku malah seperti ini. Jadi ... pamitku ke pengajian saat itu adalah detik terakhir pertemuanku dengan ayah dan ibu, dan itu ... membuatku trauma. Aku takut itu terulang kembali. Mungkin aneh, tapi ... aku yang merasakan. Orang lain hanya bisa berkomentar, sementara yang hidup di dunia ini dengan segala derita adalah aku, bukan mereka. "Enggak cuma kamu kok yang punya kenangan buruk, setiap manusia pasti punya porsi bahagia dan sedihnya masing-masing." Hening. "Aku boleh mampir ke rumah kamu? Mau numpang ganti baju." Aku sudah tidak sanggup berkata apapun, alhasil aku hanya mengangguk mengiyakan. Tatapanku terkunci pada sebuah foto di laci mobil Dane yang mungkin lupa ia tutup. Di sana ada foto terbelah dua, tapi yang bisa aku lihat adalah wajah wanita, entah siapa wanita itu dan siapa belahan foto satunya, soalnya terbalik. Ternyata Dane menyadarinya. Dia langsung menutup laci mobil tanpa berkata apapun. Jangan-jangan ... Dane pun pernah merasakan hal serupa denganku? Tidak mungkin, dia terlihat sangat baik-baik saja. Berbeda denganku, sangat berbeda. Aku yakin, itu mungkin hanya foto mantannya saja, tapi dia masih mencintainya, ah itu sudah biasa bukan? Akhirnya aku memilih untuk menatap ke jendela mobil yang menampakkan keindahan Jakarta di sore hari dibarengi dengan derasnya hujan yang tak kunjung mereda. "Kamu sama Athar itu sahabat dari kecil?" tanya Dane tiba-tiba. Aku langsung menoleh lalu mengangguk. Dia ikut mengangguk. "Athar itu emang laki-laki yang baik, dia juga sangat kuat mental dan fisik. Aku salah satu pengagumnya, bukan dalam artian aku menyukai sesama jenis, aku hanya mengagumi perangainya." Aku mengangguk setuju, Athar itu memang laki-laki yang baik, sangat baik. "Kamu cinta pertamanya, Ra, dia yang bilang sama aku." Lagi-lagi aku mengangguk. "Terkadang, kita hanya perlu mencintai, setelah itu merelakan. Enggak semua cinta berakhir saling mencinta. Ada kalanya kita hanya singgah lalu melupakan, karena ... enggak ada cara lain." Dane menghela napas berat lalu ... hatchim. "Dane, kamu kedinginan." Dia menggeleng sambil tertawa kecil. "Hidungku emang alergi sama pembahasan cinta, Ra." Kugigit bibir bagian bawahku untuk menahan senyum, tapi gagal. Dane berhasil membuatku tersenyum.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN