Udara malam, udara makanan dan simpang-siurnya jalanan, menjadi saksi benih-benih kisah baru antara aku dan Dane. Mungkin, jika Dane tidak terus-menerus mendekat kepadaku, aku akan tetap menjadi Noura yang rapuh karena kehilangan orang yang amat dicintai berkali-kali.
Hadirnya Dane awalnya membawa kecurigaan bagiku, tapi semakin ke sini, aku mulai sadar. Mungkin kita didekatkan memang karena takdir, takdir untuk saling mengenal dan mempelajari sisi bertolak belakangnya kita. Dane yang butuh sedikit menunduk dan aku yang butuh sedikit meninggi.
Dane itu tipe laki-laki baik sebenarnya, tapi kebaikannya tertutup oleh sikap angkuhnya, egoisnya, kekasarannya dan sebagainya. Andai ia mau sedikit lebih mencair dari awal, ia tidak akan mungkin seperti itu. Mungkin orang lain akan mengatakan, aku pun sama, seharusnya sejak awal aku bisa lebih membaur, bukan malah memilih jauh dari keramaian dan sulit beradaptasi seperti sekarang.
Memang, hal itu tidak diinginkan, tapi kenapa aku lakukan?
Aku melakukan itu karena kondisi yang mendorongku untuk melakukannya. Tidak semudah itu menerima kenyataan bahwa orangtua yang amat dicintai harus pergi meninggalkanku, aku menjauh bukan karena aku ingin menciptakan hidup baru, memuja kerapuhan, bukan. Tanpa disadari, saat jiwa merasa sepi, mulut pun bungkam, diri enggan membaur, lelah untuk ceria. Memang tidak semua orang seperti itu, tapi, apakah salah jika ternyata orang lebih memilih melakukan hal serupa denganku?
Perlu kita ketahui bahwa setiap manusia memiliki sifat dan pikiran masing-masing. Aku yang memilih ingin bangkit, ada pula orang yang memilih ingin istirahat. Tidak semua orang itu memiliki paradigma yang sama. Jika ada, itu pun tidak selalu sama persis, bisa berbeda pengucapan meski maknanya sama.
Aku jalan beriringan dengan Dane, langkahnya jauh lebih lebar dari langkahku, tapi, kita masih bisa tetap jalan beriringan. Dari sini aku bisa memetik pelajaran, bahwa setiap orang, meski kasta, tahta, jabatan dan lain sebagainya berbeda jauh, masih bisa menjadi satu jika saling menerima. Dane menerimaku dan aku menerimanya, jadilah kita dapat menyatu dalam langkah ini, yang entah kapan terus menyatu, mungkin ada kalanya nanti aku harus menyeimbangkan diri untuk jalan sendirian ... lagi. Namun aku harap, itu tidak terjadi.
Ada sebagian orang mengatakan sahabat itu tidak penting, padahal, kita perlu sahabat, baik sahabat perempuan atau pun laki-laki. Untuk apa? Sampai detik ini aku menganggap hadirnya sahabat itu untuk mewarnai hari kita, menjadi penolong dan orang yang kita tolong agar hidup kita lebih berarti, menjadi wadah untuk saling bertukar pikiran, berdiskusi, dan lain sebagainya. Apapun tujuannya, aku merasa sahabat itu penting, ini hanya menurutku.
Sahabat itu tidak berkelompok, hanya satu pun sudah lebih dari cukup.
***
Setelah lama berjalan-jalan dalam diam, bergelut dengan pikiran sendiri, kini kita mulai mendamai. Kita memilih untuk istirahat di cafe, semenjak aku mengenal Dane, dia memang suka sekali ke kafe. Darinya aku mendapat pengalaman baru, dan pengetahuan baru tentunya.
"Kamu mau pesan apa? Sama kayak biasa?" tanyanya saat kita sudah mendapatkan tempat duduk.
Aku mengangguk, aku memang hanya tahu menu itu, lagi pula rasanya enak.
"Kamu tunggu sini." Dane melangkah pergi meninggalkan tempat kami duduk untuk memesan makanan.
Dane itu orang yang disiplin, baik dari pakaian, kesehatan dan lain sebagainya, tapi anehnya dia memiliki sikap lupaan yang selalu sering terjadi. Buktinya sekarang, dengan mudahnya dia meninggalkan handphone semahal itu di atas meja, padahal, ada aku, ada orang-orang di cafe, apa dia tidak memikirkan konsekuensi? Ah ... mungkin dia terlalu kaya.
Tak lama kemudian dia datang. Aku baru sadar, biasanya Dane itu suka sekali memaki hoodie, tumben sekali malam-malam yang dingin seperti ini dia hanya memakai kaos tipis berwarna hitam.
"Kamu udah mulai tenang? Apa saranku masuk akal?" tanyaku memecahkan keheningan.
Dane yang sebelumnya asyik menatap handphone kini beralih menatapku. Lama menatap dengan ekspresi datar, tiba-tiba dia tersenyum lalu mengangguk. Aku suka Dane senyum seperti itu, ia jauh terlihat seperti laki-laki baik, bukan malah menyeringai seperti yang sering ia lakukan, senyum miring, seperti itu justru ia lebih terlihat seperti psikopat.
"Mungkin kalau aku sendiri, aku enggak bisa tenang, Ra. Benar kata Athar, kita butuh orang dekat untuk menjadi tempat penenang diri saat resah. Selama ini temanku banyak, tapi enggak ada teman yang mau menemaniku keluar sendiri, lebih tepatnya enggak berani, kalau main pun kita pasti berkelompok. Apa aku semenyeramkan itu?"
"Mungkin ... mereka cuma segan sama kamu."
"Segan? Aku siapa? Aku sama seperti mereka, anak sekolah yang masih dikasih jajan orangtua."
"Terkadang saat orang menjauh itu, enggak samuanya salah mereka. Bisa jadi, ada yang salah dari diri kita. Kita perlu introspeksi diri, di mana salah kita. Bukan malah menghakimi orang lain, mengatakan mereka jahat, dan lain sebagainya."
Dane terdiam. Ia menggingit bibir bagian bawahnya. Bahkan kini handphone ia biarkan tergeletak di meja dalam keadaan masih menyala. Ternyata Dane sedang membaca berita, aku baru tahu Dane suka berita.
Keheningan terpecahkan oleh hadirnya pelayan pembawa makanan yang tadi Dane pesan.
Dane mengaduk-aduk minumannya, ternyata dia benar-benar memikirkan apa yang aku katakan. Aku merasa berarti saat ada di samping Dane, asumsiku sering ia terima dan dijadikan pelajaran lalu diterapkan. Selama ini, aku hanya menjadi manusia pasif yang hanya butuh motivasi tanpa pernah memotivasi orang. Dahulu hidupku memang benar-benar seperti sampah. Setidaknya, sekarang aku bisa merasakan peningkatan meski hanya sedikit, saat Dane ada.
***
Setelah selesai menghabiskan makanan kita memilih kembali ke rumah sakit. Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Mobil Dane ada di rumah sakit.
"Kepalamu, kan, habis dijahit, bukannya itu sakit? Dulu ... aku pernah dijahit bagian kening gara-gara berantem, itu sakit banget, bahkan masih ada sampai sekarang, kalau kamu tempo wajahku pasti kelihatan."
Aku menggeleng pelan. "Luka ini enggak seberapa, Dane, kecil juga, aku pingsan karena shock dan terlalu sakit aja tadi. Sebenarnya lukanya enggak terlalu besar kok, cuma ... dalam." Wajahku meringis membayangkannya.
Dane malah mengikuti ekspresi wajahku. Tanpa sadar aku malah tertawa, dan lagi-lagi Dane mengikutiku. Kita tertawa tidak jelas akhirnya.
Sebelum pulang aku dan Dane melihat nenek terlebih dahulu. Ternyata nenek sudah sadar, tapi kondisinya masih jauh dari kata baik. Kami tidak boleh lama-lama di ruangannya.
Setelah itu aku membujuk Dane untuk melihat ibunya, awalnya ia tidak menghiraukan, tapi lama-kelamaan akhirnya ia mau. Itu pun ia sama sekali tidak bicara apapun, wajahnya selalu ia buang ke arah samping, padahal ibunya terus berbicara, menangis, mengatakan terima kasih dan lain sebagainya.