"Aku punya kepribadian buruk yang menjengkelkan."
Mataku membulat saat mendengar suaranya yang lebih terdengar seperti orang berbisik itu. Aku langsung berontak. Dia terjatuh ke tanah, untung tidak sampai jatuh ke danau, aku reflek, benar-benar reflek.
"Ma-maaf, Dane."
Poni Dane yang biasanya disibak ke sisi kanan dan kiri kepalanya kini terjatuh ke depan kening, saat mendongak baru rambutnya kembali rapi seperti semula. Dan kini, ia menatapku dengan tatapan tajam.
"Ma-maaf." Aku benar-benar takut sekarang.
Kulihat dia menghela napas pelan seraya menyisir rambutnya ke belakang. "Jangan takut kayak gitu," ucapnya tanpa menatapku, "apa kamu masih mau tanya tentang aku?" Kini ia sudah bangun, ia bersihkan celana abu-abunya yang sedikit kotor karena aku.
Aku menggeleng, aku takut bertanya lebih jauh. Aku ingin segera pulang. Tunggu ... bukankah aku sudah mengatakan kepada Dane kalau aku tidak akan meninggalkan ia walaupun sudah mengetahui kekurangannya, kalau seperti ini namanya aku berbohong.
"Katakanlah, jangan takut, aku enggak akan macam-macam sama kamu lagi, aku janji."
Aku terdiam beberapa saat.
Kuembuskan napas pelan. "Apa yang kamu maksud dari kepribadian buruk yang menjengkelkan itu?"
Dia menghela napas berat, matanya menerawang jauh ke depan. "Aku dan Athar." Dia terlihat seperti mengimbang-imbang apa yang ingin ia katakan. Dan untuk kesekian kalinya ia menghela napas berat.
"Kalau menurut kamu itu terlalu privasi, enggak perlu diceritain."
Ia menunduk, kalau ia menunduk, aku tidak bisa menatap wajahnya, poninya ternyata cukup panjang, hanya bagian bibir saja yang tidak tertutup.
"Aku punya masa kelam yang belum bisa diceritakan. Dan karena itu aku menjadi Dane yang sekarang. Ah, tapi bukan berarti ini karena Athar. Mungkin kamu enggak pernah lihat aku di kelas sepuluh, baru setahun ini aja atau saat-saat Athar mengajak kamu bertemu sama aku, kan? Aku bisa belajar dengan produktif, bisa memikat hati guru. Namun tak satu pun orang yang berani mendekat denganku saat itu. Semenjak mereka tau kalau aku ini punya kekurangan, tapi itu cuma kelas sepuluh aja."
"Sepenglihatanku kamu enggak punya kekurangan?"
Kini Dane menatapku. "Itu yang aku bilang, setiap orang pasti punya kelebihan dan kekurangan. Dan yang membuat mereka terlihat baik atau enggak, ya mereka sendiri. Itu alasan aku membuat kamu lebih dikenal dekat denganku, karena aku mau kamu bangkit, itu yang selalu Athar katakan. Dia mau aku bantu kamu, dan bodohnya aku malah menolak karena takut disangka merebut kamu dari dia. Ternyata ... Athar mengatakan itu karena dia enggak akan lama di dunia ini.
"Dan kepribadian buruk yang aku maksud itu, ya ... aku seperti ini, aku kasar, aku ...." Dia menghela napas berat. "Aku suka enggak sadar mukulin orang kalau enggak ada yang pisahin. Dulu Athar yang selalu narik aku kalau lagi berantem, dia satu kelas denganku, karena itu dia yang selalu ... ya bisa dibilang menjagaku." Tiba-tiba Dane tersenyum. "Dia selalu mengedepankan kamu, Ra, karena itu aku sempat penasaran sama kamu, wanita seperti apa sih yang Athar banggakan itu."
Aku menunduk. Entah mengapa sekarang aku takut dengan tatapannya saat tersenyum miring seperti itu.
Dane menyentuh daguku, lalu mengangkatnya agar mendongak. "Saat takut, lawan bukan menunduk. Saat meninggi, menunduk agar tak menakuti orang."
Aku aneh dengan Dane, dia sering menasihati orang, tapi yang dia katakan justru cocoknya untuk diri dia sendiri. Dia sering mendongakkan wajah, membuat orang lain menunduk. Teman-temannya pun rata-rata memiliki perangai seperti itu. Aku tidak menyangka kalau Dane pun pernah merasakan yang namanya tidak memiliki teman karena kekurangannya. Dia cukup terlihat sempurna bagiku.
Dane melepas pegangannya pada daguku. "Saat kecil aku hampir dimasukkan ke rumah sakit jiwa, enggak deh, udah masuk."
Aku sampai tersedak air liurku sendiri.
Dia tertawa. "Ayahku mendonasi sekolah ini agar sekolah ini menyambutku dengan baik, tapi aku masih sering masuk BK karena kasus perkelahian. Sampai akhirnya, Athar yang dulu seperti enggak kenal sama aku, mulai mendekat dan membantuku. Padahal dia teman kecilku, tapi di sekolah seperti enggak kenal." Dane tersenyum. "Setelah itu aku lebih sering baca buku sama dia dan mulai mencoba berorganisasi. Aku bisa merasakan hidup normal. Sekarang, entah, aku sulit mengontrol emosi lagi."
"Kenapa bisa? Bukannya saat emosi itu kamu masih membuka mata, seharusnya kamu sadar? Dan setahun berteman sama kamu, aku lihat kamu seperti orang-orang normal pada umumnya, tapi setelah beberapa waktu lalu, kamu berubah sedikit ... menyeramkan."
Dane terdiam lalu menggeleng. "Aku enggak tau."
Hening seketika.
"Aku punya dua ibu, satu ayah, dan aku benci itu, mereka menyayangiku, tapi aku membencinya, sejak aku kecil, aku udah kayak gini, Ra, aku enggak tau kenapa, bahkan adik perempuanku yang manja pun pernah hampir aku bunuh cuma karena dia terus merengek. Karena itu orangtuaku mulai menyangka aku sakit jiwa."
Mataku membulat.
"Tapi aku enggak tau kenapa." Dane mengacak-acak rambutnya frustasi. "Aku benci diriku sendiri."
Ternyata orang yang terlihat sempurna pun memiliki sisi kelam yang membuat dia terpuruk. Dari Dane aku belajar, kalau mengeluh dan mengikuti keterpurukan hanya akan membuat diri semakin terpuruk. Sementara saat dia berusaha bangkit, dia sempat menghirup udara yang sering orang normal hirup, dan aku, aku mau merasakannya juga.
Dane masih saja menunduk. Kulihat ada bulatan air di celana abu-abunya. Dane menangis.
"Da-Dane."
"Enggak semua orang terpuruk akan menampakkannya, kita dituntut untuk bersyukur agar bisa merasakan apa yang dirasakan orang normal. Itu yang aku biasakan, tapi, semakin hari aku semakin sadar. Aku bingung, Ra, aku kenapa, aku harusnya bersyukur mempunyai keluarga yang menyayangiku, sementara di luar sana banyak orang yang membutuhkannya, termasuk kamu, kan?"
Hatiku mencelos—tak bisa berkata-kata.
"Bukan nasibku yang salah, mentalku yang berpenyakit."
Tanganku melayang di udara. Ingin rasanya aku menghapus air matanya seperti dia yang selalu menghapus air mataku, mengusap punggungnya, seperti dia yang selalu mengusap punggungku. Namun aku enggan.
Orang yang butuh pertolongan tak bisa menolong orang lain, itu yang dulu selalu aku tekankan pada diriku. Namun sekarang, aku harus ubah itu.
Kuletakkan tanganku di bahu Dane. Dane berhenti terisak. Ia mengangkat wajahnya, menatapku tidak percaya. Wajahnya memerah. Aku tahu, tidak hanya kesedihan yang mewakili air mata itu, tapi juga emosi. Aku pernah merasakannya.
"Mari kita mengobati luka bersama," ucapku pelan sambil tersenyum.
Dane menatapku datar. Sampai akhirnya dia tersenyum, senyuman yang jarang aku lihat dari wajahnya. Bukan senyuman jail, bukan senyuman miring, ini benar-benar senyuman.
"Aku punya kenangan buruk dengan wanita yang membuat aku enggan membuka hati lagi dan aku belum bisa menceritakannya sekarang," ucapnya pelan, matanya kini menatap danau kembali, langit sekarang sudah mulai menggelap. "Sebentar lagi malam, wanita jangan keluar malam-malam, ayo aku antar pulang."
Dane bangkit lebih dulu.
Aku merasa Dane tidak benar-benar menjawab semua pertanyaanku, masih banyak hal yang dia umpat dariku. Semua pertanyaan yang aku lontarkan, masih sering ia jawab dengan hal yang tidak tepat, menurutku.
Kuembuskan napas pelan, lagi pula aku tidak ada hak mengetahuinya.