Sebelas

1235 Kata
“Kau baik-baik saja?” John menanyakannya saat ia mendapati Julie menatap lurus ke arah di belakang punggungnya. Keningnya berkerut dan wajahnya tampak tegang. “Sayang, kau---”       “Tunggu sebentar, sepertinya aku melihat seseorang,” potong Julie sambil beranjak dari kursinya dan bergegas meninggalkan John yang kebingungan, ia memutar tubuhnya mengikuti arah kepergian Julie yang tergesa-gesa.       Tampak langkah Julie yang lebar dan mengarah pada kerumunan orang di depan lift. Apa yang dilihatnya tak akan salah. Sosok Dean yang wajahnya diperlihatkan oleh Lili melalui kiriman pesan w******p beberapa hari sebelumnya. Pria itu tampak bersama seorang wanita dan langkah Julie terhenti saat matanya membulat mendapati pria itu berciuman dengan seorang wanita bertubuh tinggi semampai dan berambut pirang.       “Kurang ajar,” desis Julie dengan suara menggeram dan melanjutkan langkahnya namun sialnya pria itu telah masuk ke dalam lift disusul orang-orang lainnya dan langkah Julie berhenti tepat di depan lift dan hanya bisa memandangi lift yang penuh dan pria itu tertutup oleh yang lainnya.       “Sial!” Pintu lift tertutup dan melaju naik, meninggalkan napas Julie yang naik-turun tak beraturan. Wajahnya memerah menahan marah. “Aku mendapatkan fotonya,” kata John dari arah belakang, membuat Julie berputar diatas tumit sepatunya. Napasnya masih tak beraturan dan ia menatap John dengan lurus yang berjalan mendekat.       Julie meraih ponsel John dengan tidak sabar dan melihat hasil bidikan kamera ponsel dari John. “b******k,” dengus Julie saat melihat wajah yang terpampang di ponsel John. “Kau harus memperingatinya, Sayang,” tukas John. Julie masih memandangi layar ponsel John yang berada ditangannya, sebelum John meraih kembali ponselnya dan Julie mengangkat wajahnya untuk menatap dengan mata tajam dan ada binar kemarahan di sana. “Kau benar. Lili harus tahu hal ini.”   ***       Barada di tengah ruang pertemuan beserta dengan orang yang membuatnya merasa terintimidasi membuat Lili mengabaikan bunyi ponselnya yang terus menderu di atas meja. Ia sempat mengintip nama yang muncul adalah nama Julie. Lima panggilan dan sebuah pesan tulis yang belum ia buka. Devon yang duduk tepat di sebelah Lili sempat melirik dan memperingatkannya untuk tetap berkonsenterasi dengan presetasi yang disampaikan Amber di depan beberapa klien.       Tak lama berselang muncul pesan lainnya dan kali ini dari nomor yang tak dikenalnya. Ponsel itu terus menderu, sedikit mengetarkan meja, kali ini tatapan tajam berasal Matt yang duduk di sisi kanannya.       “Apa kalian ada pertanyaan?” Suara tajam dari Amber di depan, dan matanya menyapu semua orang yang berada di dalam ruang pertemuan itu. Lili duduk tegak dan ia berusaha untuk tidak mengundang Amber untuk berpikir bahwa dirinya tidak menyimak. Hening beberapa saat sebelum Amber memutuskan pertemuan selesai. “Baiklah jika tidak ada pertanyaan, maka pertemuan hari ini cukup. Terima kasih.”       Lili langsung memungut barang-barang miliknya dan memperlambat geraknya untuk beranjak dari duduk setelah lebih dulu Devon dan Matt yang menjulang di sisi kanan dan kirinya.       “Aku harap kau memperhatikan semua sesi hari ini, Lili,” bisik Matt dari arah belakang. Langkah Lili berhenti, ia menatap Matt dari balik bahunya. Keduanya bertatapan. “Aku perhatikan ponselmu tidak berhenti bergetar, dan---”       “Dan aku rasa itu bukan urusanmu, Matt,” timpal Lili kesal dan beranjak pergi melewati Devon dan yang lainnya. Kembali dengan bersungut-sungut membuat Lili menggeram, melemparkan buku agendanya di atas meja, dan berhenti tepat di atas keyboard. Lili menghempaskan tubuhnya ke kursi kerjanya.       “Lili, kau bisa ke ruanganku?!” tanya Amber dengan suara lantang dan berhasil membuat beberapa pasang mata melihat kearahnya. “Ya, aku akan segera datang,” balas Lili dan meraih kembali buku agendanya dan meninggalkan ponselnya di sana.       ***       “Sial!!!” Maki Nicole saat pesan yang dikirimnya tak kunjung ada balasan dari Lili. Ia mencoba untuk mengecek panggilan keluar yang dilakukan William untuk menggiring Lili dalam perangkap. Namun apa yang dilakukan William memang tidak banyak dan Nicole merasa William tak benar-benar melakukannya. “Jika dugaanku benar, aku tak akan membiarkanmu dan gadis sialan itu, Will,” gumam Nicole dengan geraman. Tatapan matanya tajam dan Nicole beranjak dari duduknya.       “William! William!” teriakan milik Nicole yang bergema ke seluruh sudut ruangan. Ia berjalan menuruni anak tangga dengan langkah lebar hingga ia mendapati sosok Billy Hunt. “Dimana William?” Suara ketus dan tajam.       “Bocah sialan itu sedang pergi bersama ayahmu, Nic.” Billy menyahut sebelum ia meneguk bir dalam gelasnya. Ada senyum miring yang ditampakan oleh Billy yang membuat Nicole menaruh curiga. Ia berjalan mendekat ke arah meja bar. Billy duduk di atas kursi berkaki tinggi dengan segelas bir di tangannya.       “Kau punya mangsa yang bisa kusantap, Nic?” sindir Billy sebelum ia tersenyum mencemooh. Nicole meraih gelas lain yang kemudian diisi dengan bir dan duduk bersebelahan setelahnya. “Aku selalu punya mangsa. Aku yakin wanita-wanita haus cinta itu akan dengan mudah kau dapatkan.” Nicole meneguk bir di dalam gelasnya. Keduanya saling melirik. “Ayahmu begitu mempercayai bocah ingusan itu.” Intonasi yang terdengar aneh bagi Nicole. “Kau mencurigainya?” tanya Nicole sebelum ia kembali meneguk birnya hingga habis.       “Sedikit. Aku belum memiliki bukti untuk hal itu.”       Gelas dalam genggamannya ia letakkan di atas meja bersisian dengan botol yang sisa setengah isinya. “Mungkin perlu sedikit penyelidikan.”       “Dia sedang bersama ayahmu. Aku hanya mencurigai, bagaimana polisi-polisi k*****t itu bisa mengetahui transaksi si pirang.” Suara Billy terdengar kesal. Mendengus dengan amarah yang ditahan. “Polisi korup yang kalian bayar adalah temanmu?” tanya Nicole. Ia memutar kursinya, berhadapan dengan kursi yang diduduki Billy.       “Ya, dan aku belum mengatakan pada istrinya. Biar polisi yang menyampaikannya,” ucap Billy berang. Nicole mengangguk pelan. “Malam ini akan ada transaksi. Dan aku ingin melihat apakah anak ingusan itu akan berperan serta, atau…. Kembali berantakan.” “Kau menyadari hal itu sejak ia bergabung dengan kita?” selidik Nicole dengan mata memicing. Tatapannya menilai pada Billy. “Mudah untuk dicermati untuk hal itu.”       “Ya, kau benar.” Nicole kembali memutar kursinya menghadap meja bar. Ia mengetuk-ngetukan ujung jarinya ke atas meja sebanyak tiga kali sebelum sesuatu melintasi pikirannya. “Apakah dia pernah sendirian?” tanya Nicole yang membuat Billy menatap dengan bingung, “Maksudku… terpisah dari kalian. Dia berjalan sendiri untuk suatu tugas.”       Keduanya terdiam dan tenggelam dalam dunianya masing-masing. Mencoba untuk mencermati segalanya, mengingat yang mungkin saja terlewat. “Aku rasa tidak. Dia pergi hanya untuk pulang ke rumah bibinya yang tinggal bersama dua orang anaknya yang pecandu itu.”       “Ya, kalau itu aku tahu,” timpal Nicole yang dibalas Billy dengan sindirian tajam. “Seharusnya kau yang lebih tahu siapa dia, karena kau teman tidurnya, Nic.”       Nicole tak tersinggung akan hal itu. Ia kembali menghadap Billy, tersenyum miring dan mendekatkan kepalanya ke samping kepala Billy lalu berbisik, “Kau cemburu bapak tua?” Tangan Nicole telah berada di atas gundukan di antara dua paha Billy, membuat pria itu tegak, dan napasnya tersedak. “Jangan memancingku, Nic.”       “Kau memang teman ayahku, tapi aku tidak keberatan jika kau menjadi teman bercintaku, Billy Hunt,” ucap Nicole dengan suara yang mampu membangkitkan hasrat Billy, dan gesekan tangan Nicole di atas gundukan yang mulai membesar, suara serta napas Nicole yang mengenai kulit telinga membuat Billy bangun dari hasratnya. “Jangan menyesali dirimu setelah ini, Nicole Nastro,” timpal Billy sebelum ia menyambar bibir Nicole dan kedua telapak tangannya menangkup kedua p******a Nicole hingga ia mengerang rendah, “Oooohhh…kau b******n tua seksi, Billy Hunt.”       “Aku lebih hebat dari pria ingusan itu,” ungkap Billy dengan napas yang cepat dan ia langsung menarik ke atas kaos yang dikenakan Nicole hingga menampakan p******a yang terbungkus bra merah. “Ooohhh Billy…” desah Nicole yang kian membuat Billy kian tak sabar, ia menggeser pembungkusnya dan menyesap dengan lahap kedua p******a Nicole dengan bergantian. Tangan bebas Nicole membuka sabuk yang dikenakan Billy dan menarik ritsleting jins Billy, membebaskan miliknya yang langsung menyembul dengan tegak. Nicole menggenggamnya hingga Billy menggeram, “Kau gadis kecil berbahaya.”       Keduanya berciuman panas. Saling melahap dan membakar satu sama lain.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN