“Aku sudah memesan dua kamar di hotel ini, Tuan di kamar presiden suite ini, dan aku di lantai 3.”
“Siapa yang menyuruhmu menyewa dua kamar, Asisten Fio?” tanya Xavier.
Fio menoleh dan menautkan alisnya. “Kita tidak mungkin satu kamar, ‘kan?”
“Siapa yang bilang tidak mungkin?” Xavier menarik lengan Fio dan berkata, “Jangan pernah melakukan sesuatu jika belum ku perintahkan.”
Fio tersenyum ketir, karena ia tahu apa yang akan bosnya lakukan kepadanya. Fio berusaha tenang dan tidak mengatakan apa pun, karena perintah sang bos terdengar sangat lantang dan harus segera di lakukan. Ia memang tidak pernah menolak apa pun itu.
Xavier meraih Fio dan langsung memagut bibir Fio, Fio memekik karena tangan Xavier menaikkan gaunnya dan memainkan tangannya dibawah sana.
Xavier sepertinya sudah mulai kecanduan. Begitupun dengan Fio. Mereka tak bisa memungkiri hal ini, mereka saling membutuhkan.
Pembatas yang bernama baju itu sudah berhamburan di lantai, membuat keduanya terekspos tanpa busana. Fio menunduk sesaat melihat junior bosnya sudah bangkit dan hendak meminta peraduan terakhir.
“Paman, apa kita harus melakukannya? Ini Dinas penting, bukan?” tanya Fio.
“Diam, Asisten, Fio! Sudah aku katakan jangan panggil aku dengan sebutan ‘Paman’.” Xavier kembali mengingatkan dan mendorong tubuh Fio pelan ke atas ranjang, lalu Xavier menindihnya.
“Ouhh … ahhh, ahhh, Paman, Tolong! Aku—”
Xavier terus menggerakkan pinggulnya dan berkata, “Kamu memang nakal, Asisten Fio.”
“Berhenti memanggilku dengan sebutan itu.”
“Lalu? Aku harus mengikuti perintahmu?” geleng Xavier.
Fio sudah tidak tahan lagi, ia sudah akan mencapai puncaknya. Xavier benar-benar membuat seluruh tubuhnya gemetar, saking nikmatnya.
Keperawanan yang ia jaga selama ini, ternyata jatuh pada bosnya, pria yang selama ini ia layani dengan baik sepenuh hati karena pekerjaannya. Namun, hubungan mereka sampai saat ini belum tahu, apakah hanya sebagai bawahan dan atasan, atau sudah terjalin hubungan percintaan diantara keduanya?
Keduanya sudah merasakan jantung dan hati mereka berdebar, namun mereka berdebat dalam hati bahwa hal ini bukan lah hal yang terjadi karena rasa suka. Melainkan karena mereka bermain di atas ranjang dan sama-sama membutuhkan.
Fio yang sudah mulai nyaman dan merasa aman di dekat bosnya, hanya bisa tenang dan berusaha menahan hasratnya, namun ia juga wanita biasa. Ia ingin mendapatkan kasih sayang dan pelukan hangat, walau endingnya harus bercinta.
Gerakan Xavier semakin intens, membuat kamar hotel ini bising dengan desahan mereka, saking nikmatnya dan membuat seluruh tubuh gemetaran.
Akhirnya Xavier menembakkan sejuta sel miliknya ke dalam rahim Fio dan memeluk Fio dari atas tubuh asisten pribadinya itu. Hubungan mereka apa sebenarnya? Kenapa hal ini seperti hal biasa untuk mereka? Hal biasa yang menjadi luar biasa.
Xavier berguling ke samping Fio dan mendesah napas halus, malam yang indah bukan?
“Tuan, aku akan kembali ke kamarku,” kata Fio.
“Sudahlah. Kamu diam saja, tidur lah di sini.”
“Aku mana pantas tidur di samping Tuan.”
“Diamlah. Aku sudah katakan kepadamu perintahku adalah tugas pentingmu.”
Fio mengangguk dan berbalik menatap Xavier, Fio melihat tubuh Xavier dan melihat bibir bosnya, indah sekali. Sebuah mahakarya Tuhan yang indah. Tubuh yang indah dan kulit yang indah juga membuat Fio tahu keseluruhan tubuh bosnya itu.
“Tuan, Anda hebat,” kata Fio menyentuh d**a bosnya dan memainkan putting bosnya.
“Fio, jangan membangunkanku,” kata Xavier.
“Apa Tuan sudah kalah?” tanya Fio.
“Kalah? Aku tidak pernah kalah dalam hal ranjang. Kamu mau aku buktikan?” tanya Xavier. “Tapi sayangnya, aku belum siap.”
“Apa aku bantu bangun?” tanya Fio memandang bosnya nakal.
“Coba saja.”
Fio tersenyum simpul, asal dengan bosnya tidak masalah. Untungnya ia belum memberikan tubuhnya kepada Hoshi.
“Kenapa kamu melakukan ini? Apa Hoshi tidak memuaskanmu?” tanya Xavier memandang Fio.
“Bukankah Tuan merasakannya?” tanya Fio memandang bosnya yang masih baring di sampingnya, sementara itu tangan Fio memainkan junior bosnya.
“Ya. Aku merasakannya, kamu perawan,” jawab Xavier.
“Terus kenapa bertanya? Selama lima tahun aku menjaga diri dengan baik.”
“Lalu kenapa kamu memberikannya kepadaku? Bukankah untuk menjadikanku sebagai alat balas dendam?”
“Tuan suka juga, ‘kan?”
“Jadi, aku hanya menjadi alat balas dendammu?”
“Apa Tuan pikir aku melakukan ini karena aku suka pada Tuan?” tanya Fio membuat wajah Xavier memerah padam karena amarah yang membuncah hebat.
Xavier bangkit dari pembaringannya dan menghempaskan tangan Fio, lalu ia meraih jubah dan mengenakannya. Xavier menuju sofa dan duduk meraih rokoknya. Ia marah ketika mendengar apa yang Fio katakan. Apa yang sebenarnya Xavier inginkan? Kenapa ia tidak suka ketika Fio mengatakan hal itu?
Fio meraih pakaiannya dan mengenakannya. Ia duduk di sebelah bosnya dan berkata, “Tuan kenapa?”
“Pergi lah ke kamarmu,” usir Xavier.
“Apakah Tuan mengusirku? Bukankah tadi katanya—”
“Aku sudah tidak mood.” Xavier mengisap rokoknya dan membuang asapnya dari mulut. “Aku tidak suka wanita sepertimu.”
“Tuan tidak suka? Baiklah,” angguk Fio yang belum menyadari amarah bosnya. “Aku pergi dulu.”
Fio lalu melangkahkan kaki meninggalkan Xavier yang masih menikmati rokoknya. Fio menautkan alis dan menggeleng sesaat karena bingung dengan sikap bosnya.
“Mudah marah, mudah kesal,” geleng Fio.
“Apa yang kamu inginkan sebenarnya, Fio? Kenapa kamu membuatku seperti ini?” tanya Xavier pada dirinya sendiri. “Sudah aku katakan kepadamu. Jangan pernah bermain api jika kamu tidak mau terbakar.”
Xavier melempar gelas yang ada di depannya dan membuat pecahannya mengenai tangannya. Ia marah sekali, ia ingin sekali melampiaskan kemarahannya. Xavier bingung dan tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Xavier membutuhkan Fio, namun ia sudah mengusir Fio pergi.
Harusnya ia lebih bersabar menghadapi Fio karena ia tahu Fio melakukan ini karena semua hal yang sudah Fio pertahankan kini lepas begitu saja. Ia yang paling memahami bawahannya, begitu pun sebaliknya. Namun, ia malah marah karena hal ini.
Xavier mengelus leher belakangnya. Ia berusaha tenang dan melupakan kejadian ini. Karena Fio benar-benar membuatnya kesal dan Fio membuatnya sadar bahwa yang ia lakukan ini percuma.
Tak lama kemudian ponsel Xavier terdengar. Ia meraih ponselnya dan melihat nama seseorang yang berhasil membuat matanya membulat karena kaget.